Tiba-tiba
jendela kamarku didobrak dengan keras. Yang tidak kuduga, meloncatlah seorang
anak kecil seusia 5 tahun dari luar jendela . Siapa sangka yang kuat mendobrak
jendelaku dan hancur berkeping itu adalah anak kecil. Dengan berdiri kutanya
dia.
“Siapa
kamu?” tanyaku tajam setelah bangun dari menggelosorku di lantai entah sejak
kapan. Rokok masih menyala di asbak.
“Aku
anakmu. Baru datang dari langit.” Anak kecil itu matanya berkilat, bening.
Di
tangannya tergenggam pensil warna, di punggungnya tas ransel kecil. Ia
mengedarkan pandangnya. Melihat betapa semrawutnya kamarku ini.
“Bagaimana
kamu bisa turun?”
“Peniup
roh melihat ayah tak pernah mencukur kumis.”
“Sekedar
itu, seremeh itu?”
Aku
tertawa. Mimpi ini benar-benar aneh.
“Siapa
bilang mimpi?” Rupanya si kecil itu membaca pikiranku.
Ia
menarik kabel di pojok ruang. Mencabut stop kontak yang masih tertancap.
Menelusuri uluran kabel yang masih terpasang di sana sejak dia pergi.
Aku
terhenyak. Karena itu, dia ...
Ia
mengambil sesuatu dari dalam ranselnya. Mengganti kabel yang terkelupas dengan
kabel baru.
“Adik
harus lebih lama hidup.”
Lancang
benar anak kecil ini. Sudah mendobrak jendelaku yang terus tertutup sejak
beberapa hari ini. Membuang kabel-kabel mainan anakku. Lalu membaca pikiranku.
Dan, siapa bilang istriku sedang mengandung?
Ia
menyalakan lampu ruangan. Seketika semua terang-benar-benar terang. Menerangi
segala yang selama ini gelap. Menerangi betapa pengapnya ruang yang terus
tertutup ini.
Panjang
lebar ia kemudian berbicara bahwa ia tahu aku selalu tersenyum dan bertopeng
ketegaran hati. Padahal lampu terus dipadamkan dan jendela selalu ditutup. Anak
bermata bening itu tahu, setelah aku berbalik dari senyum-senyum di depan
banyak orang memperlihatkan topeng ketegaran hati, bulir-bulir bening mengalir
dan telunjukku mengusapnya. Tidak rela topeng ketegaran hati ini terlepas.
Aku
terduduk, tergugu dan tersedu. Ia melucuti seluruh yang kukenakan. Ia
melepaskan segala ketidakrelaan. Anak kecil itu, anak kecil yang gemuk, dengan
mata bening yang begitu bersih. Aku menjadi yakin ia anakku, yang turun dari
langit.
Anak
yang kembali kepada Penciptanya saat aku tidak bersamanya. Seharusnyakah aku
selalu menutup jendela dan mematikan lampu?
Dengan
mendobrak jendela kamarku, ia mencoba membuka segenap ketidakrelaanku yang
telah tertutup sejak maghrib dulu itu, saat anak kecil bermata bening itu
pulang kepada-Nya. Ia mencoba menerangiku yang segelap mendung saat senja itu
dengan menyalakan lampu kamar. Ia mencoba mengembalikanku pada pagi dengan
segala kicaunya. Melebarkan hatiku untuk terus melihat luasnya dunia.
Dan
ia mengepalkan tangan. “Ayah tak pernah selemah ini.”
Ia
lalu meniggalkan aroma yang begitu surgawi.
28 Maret 2016
:Kawan yang anaknya kembali kepada Sang Pemilik
pada Jum’at 22 Maret 2016
No comments:
Post a Comment