Sunday, April 24, 2016

JIKA SAJA HIDUP SESEDERHANA PARTIKEL ATOM

Ini buku Kumpulan Cerpen saya bersama keluarga #KampusFiksi13 yang terbit di bulan April 2016 ini. Tema dalam buku ini adalah Cinta.

Friday, April 22, 2016

BISA MAKA BISALAH


Cerpen : Danang Febriansyah

Dimuat di MERAH PUTIH POS, Minggu, 10 April 2016

            Mandhasia tidak peduli pada lingkungan yang baru dimasukinya. Dia meyakini bahwa apa pun keadaannya, sesungguhnya semua orang mampu berbuat lebih baik.  Meski begitu dia sadar bahwa apa yang akan dilakukan mempunyai dua akibat, tetap tunduk pada kebiasaan selama ini atau mereka akan mau berubah, setidaknya bersedia belajar dan menjalani kebiasaan baru.
            “Justru bisa jadi kamulah yang akan hanyut pada kebiasaan di sini.” Jiet Gwee menambahkan satu kemungkinan lagi yang mungkin tak tepikirkan Mandhasia.
            “Tapi harapanku, mereka ikut kebiasaanku, membaca,” sahut Mandhasia tetap yakin pada pendiriannya.
            “Kalau begitu, kamu salah tempat berjualan. Ini bukan jiwa mereka. Di pasar ini, mereka hanya membeli kebutuhan sandang dan pangan. Dan kamu yang akan kalah,” kata Jiet Gwee merendahkan keyakinan Mandhasia.
            Tapi Mandhasia bergeming. Dia terpaku pada pendiriannya, tidak mempedulikan kawannya yang berkulit kuning itu. Dan kini ingatannya mundur beberapa waktu, saat pertama dia memasuki lingkungan yang tak ramah dengan Buku, barang yang dijualnya.
            “Kau melamun?” Jiet Gwee, lelaki setengah baya itu membuyarkan ingatannya. Mandhasia sedikit tersentak lalu menatap mata sipit kawannya yang seperti ingin selalu menyelidik apa yang sedang dipikikannya.
            “Melihatmu, tiba-tiba aku ingat apa yang disabdakan nabiku, ‘tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China. Negeri leluhurmu itu.” Mandhasia tersenyum.
            “Kau bisa belajar padaku saja, tak perlu sampa ke sana.” Jiet Gwee terdengar sombong, namun bisa dipahami Mandhasia, “Jangan mimpi terlalu tinggi, bukumu tak akan laku di pasar tradisional ini,” imbuhnya.
            “Tapi aku sudah di sini berikut daganganku.” Mandhasia bersikukuh sembari menunjuk buku-buku dagangannya.
            “Apa yang kau dapat, kawan?” tanya Jiet Gwee. "Hingga jam sembilan ini, kulihat buku-bukumu belum laku juga,” sambungnya.
            “Tunggu saja nanti,” sahut Mandhasia menghibur diri. Pada kenyataannya dari jam enam pagi hingga sekarang memang belum ada satu pun orang yang membeli bukunya.
            “Sampai pasar ini bubar? Di sini tempatnya urusan perut. Kau tahu, kenapa kiosku itu selalu ramai?” tanya Jiet Gwee memberi jeda. “Karena aku tahu apa yang mereka mau,” kata Jiet Gwee seperti meniru slogan sebuah iklan.
            Kios Jiet Gwee yang dijaga istri dan anaknya memang selalu penuh pembeli. Sedangkan buku-bukunya masih berjajar rapi tak tersentuh pembeli. Ucapan Jiet Gwee sedikit menggoyahkan keyakinannya. Lalu dia teringat istrinya di rumah. Ia berjualanitu untuk istrinya. Untuk meyakinkan mertuanya kalau dia bekerja. Nyata benar-benar bekerja.
            Lima bulan yang lalu, Mandhasia melamar Shinta, anak gadis Marakeh, tokoh desa seberang, Pada awalnya Marakeh menanyakan pekerjaan Mandhasia. Saat pemuda itu menjawab apa pekerjaannya, Shinta yang justru terkesima, matanya membelalak dan hatinya makin berdegup bangga. Pekerjaan yang tidak biasa bagi seorang pemuda desa. Tapi tidak bagi Marakeh. Lelaki yang rambut dan jenggotnya sudah memutih itu tidak paham pekerjaan Mandhasia. Tidak masuk akal jika hanya di rumah saja lalu dapat uang.
            “Kamu piara tuyul?” tanya Marakeh menusuk.
            “Tidak,” jawab Mandhasia cepat. “Memang begitulah pekerjaan saya, hasilnya ditransfer melalui Bank.”
            “Tidak mungkin. Kamu pasti ngalap berkah. Bisa jadi istri dan anakmu kelak kamu jadikan tumbal.”
            “Saya tidak pernah punya pikiran seperti itu. Saya masih waras, Pak. Saya ini pemikir, bukan pengkhayal.” Mandhasia sedikit tersinggung dengan tuduhan calon mertuanya. “Saya akan nafkahi keluarga dengan hasil yang halal.”
            “Saya tetap tidak terima. Saya tidak mau jika anak saya diberi nafkah dari hasil yang tidak jelas!” kata Marakeh seperti sebuah keputusan.
            Shinta yang semula membumbung akan dinikahi Mandhasia langsung jatuh mendengar keputusan bapaknya. Melihat kekecewaan Shinta, Mandhasia tertantang untuk terus meyakinkan Marakeh.
            “Baiklah, jika Bapak belum paham pekerjaan saya ini, tapi akan saya buktikan dalam waktu tiga bulan, saya akan bekerja yang nyata, yang terlihat oleh bapak,” ucap Mandhasia berapi-api.
            “Aku tunggu janjimu. Dalam tiga bulan kamu tidak bekerja dan masih menganggur seperti ini ...”
            “Pak, saya bukan pengangguran.” Mandhasia memotong.
            “Berdiam diri di rumah saja, itu nganggur.” Marakeh tidak suka kalimatnya dipotong.
            Mandhasia mengangguk. Tidak ada gunanya membantah atau Shinta akan selamanya lepas.
            “Kamu mau bekerja apa?” Suara Marakeh melunak.
            “Jual buku di pasar,” jawab Mandhasia, lepas begitu saja. Tidak terpikirkan sebelumnya.
            Jawaban itu membuat Marakeh tersenyum sinis. “Siapa yang mau beli? Buat apa buku? Buat bungkus tempe?” Marakeh kemudian tergelak.
            Mendidih darah muda Mandhasia, tapi ditahan demi Shinta. “Pak, ini janjiku. Setelah aku bekerja, tolong restuilah aku menikahi Shinta.” Mandhasia terdengar memohon.
            “Silakan.” Marakeh berlalu. Mungkin orang tua itu sebenarnya suka dengan janji Mandhasia yang terlihat sungguh-sungguh. Dan karena itulah dia memberi kesempatan pada Mandhasia untuk membuktikan janjinya.
            “Maafkan bapakku. Dia tidak tahu kalau kau mendapatkan penghasilan dari pekerjaanmu itu.” Shinta merasa bersalah dengan sikap bapaknya.
            “Aku tahu. Maka aku tidak lagi membantah. Aku yakin suatu saat beliau akan paham. Dan aku akan membuktikan janjiku. Berjualan buku di pasar.” Mandhasia meyakinkan calon istrinya.
            “Aku percaya kamu.”
            Sekarang adalah lima bulan dari peristiwa perdebatan itu. Akhirnya sejak dua bulan yang lalu Mandhasia benar-benar memenuhi janjinya, berdagang buku-buku di pasar ini. Dan telah sebulan yang lalu ia berhasil  menikahi Shinta.
            Di depannya berdiri Jiet Gwee, lelaki Tionghoa, pedagang sembako yang memiliki kios di seberang kios buku Mandhasia. Lalu lalang pengunjung pasar seperti tidak memperhatikan dagangannya. Riuh orang-orang saling tawar dengan penjual. Mandhasia melihat mereka dalam diam. Jiet Gwee berbalik dan kembali menuju kiosnya untuk membantu istri dan anaknya melayani pembeli.
            Meski sudah dua bulan berdagang buku dan hanya segelintir orang yang datang membelinya, namun Shinta tetap bersyukur atas penghasilan Mandhasia. Setidaknya itu telah membuktikan pada bapaknya bahwa pekerjaan suaminya nyata.
            Mandhasia melihat judul salah satu buku, “Bisa! Maka Bisalah!” Buku yang tadi sempat ditunjuk oleh Jiet Gwee.
            Optimis sekali. Modal awal untuk melangkah. Yakin bisa!” kata Jiet Gwee saat mengambil salah satu buku dagangan itu. Entah maksud Jiet Gwee tadi, tapi buku ini termasuk salah satu buku yang di jual di toko buku besar. Tapi di pasar ini tidak mendapat respon dalam pasar tradisional ini. Buku itu, buku yang ditulisnya.
            Mandhasia kembali membaca judul buku itu. Lalu teringat senyum sinis Jiet Gwee yang meremehkannya. Saat membaca judul buku itu Mandhasia kembali yakin bahwa dia akan berhasil dengan usaha itu sembari memasyarakatkan buku.
            Tak lama berselang, sekelompok anak muda yang masih berseragam sekolah berhenti di depan kiosnya. Melihat-lihat buku. Ada yang bertanya buku-buku pelajaran sekolah. Namun sayang, Mandhasia kebetulan belum mendapat stok buku-buku yang dimaksud.
            Seorang dari mereka mengambil sebuah buku “Bisa! Maka Bisalah!” Membaca punggung buku dan membukanya kemudian membacanya. Dia kini dia sudah di halaman pertama, halaman kedua.
            Anak muda itu bergumam, “wow! Buku bagus. Berapa harganya?” tanyanya pada Mandhasia.
            “75 ribu,” jawab Mandhasia. “Kalau di toko buku.”
            “Mahal banget.”
            “Kalau di sini saya diskon 15 ribu, jadi 60 ribu.”
            Masih mahal. Pikir anak muda itu, uang sakunya tidak cukup. Teman-temannya kemudian ikut melihat buku itu. Membuka halaman terakhir lalu bergantian menatap Mandhasia dan kembali ke halaman terakhir buku itu.
            “Kau, penulis?” tanya salah seorang di antara mereka terdengar ragu-ragu.
            Belum sempat Mandhasia menjawab, seorang yang lain menyela. “Tak bisa dipercaya. Kios ini dimiliki penulis hebat.”
            Mandhasia tersenyum kaku.
Di seberang kiosnya, Jiet Gwee melihat kerumunan anak muda di depan kios buku Mandhasia heran.
“Nasehatku langsung dijalankan Mandhasia.” Jiet Gwee bicara pada istrinya. Baru kali ini kiosnya dikerumuni pembeli.”
Di dalam kiosnya, Mandhasia melayani anak-anak muda itu meminta tanda tangannya, di buku tulis, tas dan ujung baju seragam sekolah mereka.
            “Terima kasih tanda tangannya.” Mereka menjabat tangan Mandhasia sebelum berpamitan pergi dari sana.
            “Bukunya nggak dibeli?”
            Mereka tersenyum. Senyum yang membuat getir hati Mandhasia.

Wonogiri, 30 Juli 2015            18.31 WIB

DANANG FEBRIANSYAH, belajar di Komunitas Sastra ALIT Solo, anggota FLP Solo Raya. Tinggal di Wonogiri

KISAH GETIR PEREMPUAN





Judul Buku                  : Makan Malam Bersama Dewi Gandari
Penulis                         : Indah Darmastuti
Penerbit                       : BukuKatta
Tahun Terbit                : Januari 2016
Jumlah Halaman          : i-ix + 127 Halaman
Cover                          : Soft Cover
ISBN                           : 978-602-0947-29-7

            Begitu banyak kisah-kisah kegetiran perempuan dan kemanusiaan yang berawal dari sebuah pertemuan. Sebuah pertemuan bisa saja menggurita menguak masa lalu dan mungkin saja memutus masa depan. Pertemuan-pertemuan seperti itu dapat dirasakan dalam Makan Malam Bersama Dewi Gandari, buku kumpulan cerita yang ditulis Indah Darmastuti.
            Kisah pertemuan dibuka oleh Laki-laki dari Langit (hal. 1) yang mengisahkan pertemuan perempuan yang bekerja dengan mencium daun teh – sebuah profesi unik dengan gaji yang besar – dengan laki-laki yang sering melihat bintang. Dari pertemuan itu terkuak bahwa laki-laki tersebut pernah menikah dan memiliki seorang anak. Pertemuan di kebun teh itu membawa akhir yang cukup membuat geregetan pembaca. Kisah ini merupakan awal yang bagus untuk kisah-kisah yang lain dari buku ini.
            Kisah cinta juga dikemas oleh Indah Darmastuti dalam Di Jantung Batavia (hal. 9). Kisah penantian yang terbuang dengan setting di jaman penjajahan ini terjadi antara perempuan yang disebut Putri Solo dengan lelaki Eropa, Karel. Lelaki Eropa meninggalkan Putri Solo untuk menyelesaikan studinya, namun tanpa kabar sehingga membuat sang putri tidak tahan untuk bertahan. Putri Solo telah memilih lelaki lain. Kembalinya Karel ke Batavia, meskipun masih menyisakan getar di hati Putri Solo, namun kehidupan harus terus berlanjut.
            Kegetiran yang menguras emosi kemanusiaan dan perempuan sepertinya memuncak pada Getir Pesisir (hal. 19). Pertemuan dengan sahabat tidak selamanya indah. Seorang sahabat telah menjerumuskan Gita dalam dunia pelacuran di pesisir. Kisah Gita sama halnya dengan Nia, keinginan untuk keluar dari tempat itu dihadang oleh penjaga mereka. Kisah perdagangan manusia ini diceritakan oleh “Aku” yang juga korban dan karena ia tidak pandai melayani tamu, ia dijadikan tukang sapu dan tukang cuci.
            Dunia pelacuran tersebut berkebalikan dengan Di Pusat Lampu Merah (hal. 26). Dengan sukarela seorang perempuan menjadi pelacur, meski kekasihnya tahu dan bersabar menunggu sang perempuan melayani tamunya, bahkan lelaki tersebut sampai meninggal dunia demi menanti kekasihnya untuk sekedar bersama. Meski sang lelaki setia dengan cintanya, tapi dia dianggap mati sebagai gelandangan.
            Kembali Sang Penulis mengeksplor kisah getir kemanusiaan dan perempuan, itu terurai dalam Raisha dan Sekotak Tanah (hal. 34). Dimana pertemuan seorang gadis kecil dengan perempuan dewasa. Gadis kecil Raisha yang kehilangan ibunya itu hidup bersama nenek dan ayahnya yang seorang pekerja. Sedangkan perempuan itu juga kehilangan anak. Sama-sama kehilangan itu rupanya mendekatkan keduanya, sehingga sang perempuan ingin menjadi tanah sebagai ibarat tanah adalah ibu. Kata-kata perempuan tentang tanah dimasukkan dalam hati oleh Raisha yang membawa tanah dalam kotak mainannya.
            Sebuah kritik juga dilontarkan Indah Darmastuti pada adat Jawa dalam cerpen Pelangkah (hal. 43). Sebagaimana banyak yang kita tahu bahwa seorang adik yang ingin menikah harus menjalani ritual pelangkah dengan memberikan sesuatu pada kakaknya yang masih lajang. Namun Sang Penulis juga menjelaskan bahwa pelangkah bukan sebuah barang sebagai penanda untuk mendapat ijin mendahului kakaknya untuk menikah. Tetapi hanya ungkapan permohonan restu dari kakak (hal. 49).
            Kisah kegetiran masih berlanjut dalam Perahu Rongsok (hal.51). Perahu Rongsok adalah pengecualian dari kisah lain dari karya penulis asal Solo ini. Kisah ini melihat dari sudut pandang mercusuar. Mercusuar mampu melihat banyak hal di lautan, kapal-kapal dan perahu-perahu juga kisah tim penyelamat. Semuanya terasa getir. Kemanusiaan rupanya juga tercermin dalam cerpen ini, meski tidak menokohkan manusia.
            Pertemuan dua perempuan yang seakan berlomba mana yang lebih dalam berduka terdapat dalam Makan Malam Bersama Dewi Gandari (hal. 57). Kisah berlatar Mahabharata ini merupakan dialog saat makan malam yang diadakan Gandari dengan mengundang Kunti. Dua orang ibu dari anak-anak yang bertikai. Gandari membincangkan anak-anaknya yang tumpas di perang Baratayudha yang menganggap itu adalah puncak kesedihan seorang ibu. Ia rupanya mengabaikan duka-duka Kunti yang diakibatkan oleh 100 anak Gandari. Dimana anak-anaknya harus dibuang dalam pengasingan juga saat menantunya dipermalukan di istana.
            Kumpulan cerita ini ditutup sebuah novellet Ashima, Titip Rindu untuk Calcutta (hal. 64). Kisah ini berlatar tiga negara, Indonesia, Inggris dan India, lengkap dengan kulinernya yang menjadi bumbu penyedap dalam konflik yang berjalan pelan ini. Kisah ini rupanya Sang Penulis seakan memberi pelajaran untuk memahami wanita. Menghadapi perempuan tak perlu dikekang-kekang, tak perlu dilawan. Cukup diberi ruang dan pilihan, niscaya ia akan bermurah hati karena memang pada dasarnya perempuan itu pemurah (hal. 71). Menggapai puncak konflik ini cukup lama sebab ini bukan cerpen. Puncak konflik bisa dikatakan saat Ashima hilang diculik akibat kegiatannya sebagai aktivis perempuan. Seperti kisah cinta yang diungkap dalam kisah lain di buku ini, Penulis seperti mengajak pembaca untuk mengolah emosinya.
            Sebagaimana cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu yang juga berkutat pada perempuan, kegetiran dan kemanusiaan, Indah Darmastuti pun juga mengolah hal itu yang menjadi benang merah dari tulisan-tulisan mereka. Meski apa yang ditulis Indah Darmastuti dikupas dengan lebih lembut.

Sunday, April 3, 2016

ANGKOT HANTU

Dimuat di Solopos, Selasa, 4 Maret 2014

Kisah ini dialami oleh Lady Cempluk yang pulang kemalaman dari Solo ke Wonogiri. Turun dari bus, hari sudah gelap. Setelah celingak-celinguk tak ada ojek atau angkot, dia duduk sebentar di terminal.
Dari kejauhan dilihatnya sebuah angkot terlihat sudah tua, tampak sedang menunggu penumpang. Dihampirinya angkot itu dan langsung masuk lalu duduk di dalamnya. “Kok njanur gunung ta, sepi banget,” katanya dalam hati diliputi rasa takut.
Jon Koplo, sang sopir, rupanya juga tak sabar karena penumpang tak juga datang. Ketika dilihatnya hanya ada satu penumpang di dalam angkotnya, maka langsung dijalankannya angkot tua itu.
Karena kecapekan setelah perjalanan jauh yang baru saja dilakoninya, maka Cempluk tertidur di dalam angkot. Selang beberapa lama, angkot berjalan melambat, Lady Cempluk terbangun dari tidurnya, dalam keadaan yang masih ngantuk dilihatnya kiri dan kanan, tampak begitu gelap. Lalu dilihatnya ke depan, di ruang kemudi, badala…! Sopir angkot itu tidak ada, tapi mobil berjalan terus! Padahal di terminal tadi jelas-jelas mobil ini dikemudikan sopir.
Cempluk ngewel ketakutan, ingin rasanya melompat keluar, tapi rasa takut jatuh melebihi ketakutan akan misteri yang dialaminya. Maka dengan sisa-sisa tenaganya Lady Cemplukmbengok sak kayange sambil mengeluarkan kepalanya dari jendela angkot yang berjalan sendirian itu. “Toloooong…! Tolooong…!!!” teriaknya.
Tapi  tiba-tiba ada suara dari belakang, “Aja bengak-bengok Ndhuk. Rewangana nyurung iki lho, angkote mogok!” suara Jon Koplo ngos-ngosan mendorong angkot yang mogok.
“Oh, tak kira angkot hantu je,” batin Cempluk sambil pringisan sendiri.
---
http://www.solopos.com/2014/03/04/jon-koplo-angkot-hantu-493755

FLP SOLO DENGAN PENERBIT SELAKSA

Koordinasi FLP Soloraya dengan Editor Penerbit Selaksa Solo, Ibu Rahmi di Taman Balekambang Solo

MENTORING MAHASISWA UNS BERSAMA FLP

Briefing sebelum mentoring mahasiswa UNS

Briefing sebelum mentoring mahasiswa UNS

Makan bersama panitia setelah mentoring mahasiswa UNS

BERSAMA SASTRA ALIT

Bedah karya bersama SASTRA ALIT di Taman Balekambang Solo

Bedah karya bersama SASTRA ALIT di Taman Balekambang Solo

Bedah karya bersama SASTRA ALIT di Taman Balekambang Solo