Sunday, December 23, 2018

Publikasi Taman Baca di Jawa Pos

Taman baca Natural (Teras Baca Salon Reri) di Jawa Pos Radar Solo

Teras Baca Salon Reri

Aktivitas Teras Baca Salon Reri, Puhpelem, Wonogiri

Membangun Rumah Seorang Diri

Dimuat di Kolom "Terjadi Sungguh-Sungguh" Koran Merapi, Mei 2018

Biasanya jika seorang ingin membangun rumah, ia membutuhkan banyak tenaga dan tukang hingga rumah siap ditempati. Akan tetapi tidak bagi sepasang suami istri yang tinggal di Tenggar, Desa Bulurejo, Kec. Bulukerto, Kab. Wonogiri. Sang suami membangun sendiri rumah tembok untuk keluarga kecilnya secara bertahap.
            Mulai dari membuat batako, mengaduk semen, memasang batako hingga membuat kusen, hingga rumah tersebut siap ditempati keluarganya. Bahkan belum lama ini ia mulai menghaluskan lantai dengan semen seorang diri. Ia mengerjakan itu saat malam setelah siangnya ia bekerja di tempat lain.

Pengirim : DANANG FEBRIANSYAH, Bendo RT. 02/02, Ngaglik, Bulukerto, Wonogiri.

PROFIL TAMAN BACA NATURAL WONOGIRI




Nama Taman Baca      : Taman Baca Natural
Pengelola                     : Danang Febriansyah
Tahun Berdiri              : 2015
Alamat                         : Bendo RT. 02 RW. 02, Ds. Ngaglik, Kec. Bulukerto,
                                      Kab. Wonogiri, 57697. Jawa Tengah
HP                               : 085229297929

Pada awal tahun 2000-an adalah embrio Taman Baca Natural Wonogiri, meski belum terbentuk. Memulai membeli buku-buku satu demi satu dengan tujuan membuat perpustakaan pribadi. Karena memang saya suka membaca. Pada sekitar tahun 2005 saya mulai mengatakan pada teman-teman dan beberapa orang  jika ingin membaca buku bisa pinjam di tempat saya.
Akhirnya ada juga yang pinjam buku. Namun ternyata ada orang yang pinjam namun hingga sekarang buku tidak kembali. Ini membuat saya kecewa. Akhirnya hanya teman-teman saya saja yang boleh pinjam, dan bisa juga buku saya antar.
Pada 2010 saya mulai tinggal di Solo. Setelah bertemu dengan seorang penulis Gol A Gong di Solo bersama Forum Lingkar Pena Solo, ia berkata jika ingin buka taman baca harus siap buku hilang. Maka saya memiliki niat jika sudah kembali ke Wonogiri ingin memberanikan diri untuk lebih membuka taman baca untuk mempermudah akses baca masyarakat.
Ternyata jalan menuju hal itu saya menemui kendala yang menyedihkan. Selama tinggal di Solo, buku yang di rumah Wonogiri diserang rayap, sebab salah satunya tidak punya rak buku dan tidak ada yang merawat. Beberapa buku tak dapat lagi digunakan. Ini lebih menyedihkan daripada buku dipinjam tapi tidak kembali.
Teras Baca Salon Reri yang didirikan Taman Baca Natural dipublikasikan oleh Jawa Pos Radar Solo

Pada tahun 2015 ketika sudah kembali mudik ke Wonogiri, saya bulatkan niat untuk membuka taman baca dengan modal buku-buku koleksi pribadi. Sebagian kecil saya letakkan di salon yang dikelola istri agar ada pelanggannya yang mau membaca buku.
Sedangkan buku-buku yang lain masih di rumah dan masih belum memiliki rak buku. Dua tahun berselang pemerintah menggratiskan pengiriman buku tiap tanggal 17 setiap bulan. Beberapa kali taman baca yang saya kelola mendapatkan bantuan buku. Koleksi buku kian banyak bertambah, namun rak buku belum mampu saya miliki.

Kini Taman Baca Natural Wonogiri yang sudah berjalan selama 3 tahun sejak 2015 dan telah tergabung dalam donasi.buku kemdikbud dan tergabung juga dalam Forum Taman Baca Masyarakat, kab. Wonogiri.

PERJALANAN SANG WARTAWAN PENCIPTA LAGU KEBANGSAAN

Dimuat di Jawa Pos Radar Mojokerto, Minggu, 21 Oktober 2018


Judul               : SANG PENGGESEK BIOLA
Jenis Buku       : Fiksi
Penulis             : Yudhi Herwibowo
ISBN               : 978-602-7926-41-7
Tahun terbit     : Juni 2018
Tebal               : vi + 400 hal
Penerbit           : Penerbit Imania

Seperti novel Halaman Terakhir, dalam Sang Penggesek Biola, Yudhi Herwibowo juga menulis tentang sosok yang berjasa untuk Indonesia. Halaman Terakhir mengupas tentang Jenderal Polisi Hoegeng dan sisi lainnya, sedangkan Sang Penggesek Biola menguak sisi-sisi lain yang jarang diketahui publik tentang pahlawan perjuangan kemerdekaan Indonesia, Sang Wartawan dan Sang Pencipta lagu-lagu perjuangan, Wage Rudolf Supratman yang juga dikenal sebagai pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya
Siap sangka nama Rudolf adalah nama tambahan ketika ia dimasukkan oleh kakak iparnya yang bekerja sebagai serdadu KNIL di sekolah terbaik khusus orang-orang Belanda, ELS (Europeesche Lagere school) di Makassar? Meskipun mbakyunya ragu adiknya dimasukkan dalam sekolah khusus itu, namun suami mbakyunya itu tenang saja dengan menambahkan nama Belanda ‘Rudolf” di tengah nama Wage Supratman. (Hal. 16).
Meskipun akhirnya Supratman keluar dari sekolah itu, namun bakat bermusiknya juga tumbuh di kota ini. Bersama kakak iparnya, ia bergabung dalam sebuah kelompok musik jazz “Black dan White Jazz Band” sebagai penggesek biola.
Ketika pindah ke Batavia, W.R Supratman bekerja di beberapa surat kabar. Dan terakhir ia menjadi wartawan di surat kabar Sin Po, yaitu surat kabar untuk orang Tionghoa, namun belakangan juga mengabarkan tentang perkembangan politik di Hindia Belanda.
Di koran Sin Po ini juga, Supratman menemukan cintanya pada seorang karyawati toko roti, bernama Mujenah. Namun ternyata Mujenah telah memiliki tunangan. Dalam keadaan patah hati, Supratman kemudian menemukan penggantinya pada diri Salamah, hingga menikah. Akan tetapi, hubungannya dengan Salamah tidak direstui kakaknya. Karena masalah ini juga yang menjadi salah satu alasan rumah tangga Supratman dan Salamah berpisah.
Sebelum menciptakan lagu Indonesia Raya, sebelumnya Supratman telah menciptakan lagu “Dari Sabang Sampai Merauke” yang lirik awalanya berbunyi, “Dari barat sampai ke timur berjajar pulau-pulau” sebelum lirik yang kita kenal sekarang, “Dari Sabang sampai Merauke ...”.
Proses penciptaan lagu Indonesia Raya pun tidak langsung jadi. Sebelumnya ia merasa tertantang dengan kata-kata salah satu tokoh PPPI, Mas Sugondo yang berkata, “Ciptakanlah lagu-lagu kebangsaan, aku yakin, kami semua pasti akan menunggunya.”
Namun yang paling mempengaruhi penciptaan lagu tersebut saat ia membaca satu kalimat di Majalah Timbul yang baginya begitu menantang. Sebuah artikel berbunyi; “Kapan toh ada komponis kita yang bisa mencipta lagu kebangsaan yang bisa mengelorakan semangat rakyat?” (Hal. 225)
Lagu Indonesia Raya tersebut dibawakan Supratman dengan biolanya pada akhir acara Kongres Pemuda Indonesia Kedua pada tahun 1928. Pada kongres tersebut juga dibacakan keputusan yang kini kita sebut dengan Sumpah Pemuda. Pada rapat keputusan disertai debat sengit tentang bunyi butir ketiga, antara bahasa Melayu atau bahasa Indonesia. Sampai akhirnya diputuskan bahwa bahasa persatuan adalah Bahasa Indonesia.
Lagu Indonesia Raya begitu fenomenal, hingga menggelorakan semangat rakyat. Ir. Soekarno memutuskan dalam setiap acara PNI selalu menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan sikap berdiri dan hormat. Ir. Soekarno berkata bahwa lagu itu sudah menimbulkan rasa takut bagi pemerintah Hindia Belanda.
Koran Sin Po mencetak partitur lagu Indonesia Raya sebanyak 4.000 eks dengan harga jual 20 sen pada edisi Sabtu, 10 November 1928. Cetakan itu habis terjual dan dicetak lagi sebanyak 10.000 eks. Namun pada cetakan kedua sebanyak 10.00 eks ini disita oleh pemerintah Hindia Belanda. Dan W.R Supratman terus diawasi pergerakannya oleh agen PID (dinas intelijen pemerintah Hindia Belanda).
Sebuah perusahaan rekaman juga mencoba merekam lagu Indonesia Raya dalam piringan hitam, akan tetapi pemerintah Hindia Belanda dengan sigap memusnahkan piringan hitam tersebut. Tidak sampai di situ, beberapa kali Supratman ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Dalam penjara ia selalu disiksa atas hasil ciptaannya yang dianggap sebuah kejahatan menghasut rakyat. Tidak sampai di situ, lagu Indonesia Raya yang terlanjur tersebar dituduh sebagai hasil plagiat (jiplakan) dari sebuah lagu dari Belanda meski itu tidak terbukti.
Hingga pada tanggal 17 Agustus 1938, Wage Rudolf Supratman meninggal dunia karena sakit paru-paru yang dideritanya. Kemudian pada tanggal 28 Oktober 1953, Presiden Soekarno menetapkan lagu Indonesia Raya bukan saja lagu perjuangan, tapi menjadi lagu kebangsaan. Bukan saja lagu kebangsaan, tetap pula menjadi lagu negara kita. (hal. 388)
Penggabungan antara reportase, biografi dan novel dalam Sang Penggesek Biola menjadikan pembaca larut dalam roman sang wartawan dan juga seorang komponis sambil membuka sejarah yang tak terungkap.


Penulis Resensi :
Danang Febriansyah, tergabung dalam FLP Wonogiri, mengenal banyak karya sastra di Sastra Alit Solo dan belajar menulis lebih jauh di #KampusFiksi Jogja. Beberapa karyanya berupa cerpen, puisi, non fiksi dan resensi pernah dibukukan dalam beberapa buku antologi dan media massa.
Buku kumpulan puisinya “Hujan Turun di Desa” terbit pada Agustus 2018. Kini bergerilya untuk Membudayakan Membaca dengan membuka taman baca di Bulukerto, Wonogiri dan bergabung bersama Forum Taman Baca Masyarakat (Forum TBM) Wonogiri.

Wednesday, September 26, 2018

MAKAM CAHAYA



http://floressastra.com/2018/09/25/makam-cahaya-cerpen-danang-febriansyah/

Julung belum pernah tahu bahwa di sana ada sebuah makam yang telah tertutup rimbun rumput berduri. Bukan hanya tidak terlihat, tapi makam itu adalah makam yang berbeda.

***
Semua penduduk harus menyerah saat ini. Karena kalau tidak, dialah yang harus menyerah nantinya. Makanya mulai dari sekarang, dia harus menyiapkan bukti kuat apabila di waktu kemudian terjadi sengketa dengan dari penduduk.

“Katakan pada mereka bahwa harga yang kita tawarkan jauh lebih baik daripada penghasilan mereka setahun ini!” seru Julung pada seseorang yang mengenakan peci agak miring yang duduk di depannya, mungkin itu bawahannya.

“Bukankah akan lebih baik kita membiarkan wilayah itu sebagai tempat yang tak tersentuh?” sanggah si peci miring.

“Wilayah itu menjorok ke lahan yang akan aku gunakan. Itu mengganggu. Lagipula, siapa yang mau membeli rumah yang bersebelahan dengan komplek kuburan?” Julung tersenyum sinis sambil menggaruk tompel di lehernya.

“Lalu?”

“Seperti yang kukatakan tadi, aku beli sekalian tanah kuburan itu. Dan pada saatnya nanti, lupakan bahwa tanah itu bekas kuburan.”

“Aku ada ide lain.”

“Kalau idemu menjadikan kuburan-kuburan sebagai tempat wisata religi, itu ide yang konyol. Atau jika idemu dengan memindahkan tulang-belulang ke tempat lain dimana tempat lain itu aku juga yang menyediakan, lupakan idemu itu. Aku tak mau mengeluarkan dana tambahan.”

Si Peci Miring terdiam. Majikannya itu seakan membaca ide yang akan disampaikannya. Padahal baginya ide itu yang paling realistis, tidak menyakiti semua pihak.

“Ka…kalau warga me…nolak?” Si Peci Miring tidak yakin, bicaranya tergagap.

“Kau tak dengar! Berikan harga yang tinggi!” Julung berdiri dan membentak, tidak sabar menghadapi bawahannya itu.

Si Peci Miring tersentak, tapi segera berusaha menguasai diri agar wibawanya masih terlihat. Kemudian menarik napas panjang, melonggarkan paru-parunya untuk menyiapkan diri mengungkapkan isi hatinya.

“Makam, bagi penduduk di sini artinya lebih dari sekedar daerah kematian. Makam memiliki arti lebih dari itu dan menjadi tempat peristirahatan keluarga mereka. Wilayah itu sama halnya dengan harga diri mereka. Siapapun yang mengusiknya, mereka akan bersatu untuk melawan.” Si Peci Miring menarik napas lagi. “Melunaklah sedikit,” sambungnya.

“Aku capek bicara sama kamu. Kamu kubayar mahal demi meyakinkan mereka, tapi kamu malah menyerah dari mereka.” Julung kembali duduk dan menyandarkan punggungnya di kursi putar.

“Tapi…” sahut Si Peci Miring.

Dia mencondongkan tubuhnya ke depan lalu melotot dengan tajam membuat Si Peci Miring gentar. “Upahmu kutambah jika kamu mampu mewujudkan mauku ini. 3x lipat!” serunya menuntaskan kesabaran.

“Aku tidak menyerah,” sahut si Peci miring dengan suara yang tercekat. “Aku pastikan warga akan segera setuju,” lanjutnya setelah merasa tertantang dengan tawaran majikannya itu.

“Kuserahkan padamu dan pastikan warga menyetujuinya.” Julung kemudian bersandar lagi. “Bagaimanapun caranya!”

Baginya, masalah ini jangan sampai berlarut-larut. Kalau sampai tidak diselesaikan sekarang juga, dia khawatir kabar seperti ini menyebar kemana-mana dan proyek yang telah dibiayai dengan mahal ini tidak laku karena sudah banyak yang tahu latar belakangnya.

Proyek ini adalah salah satu ambisinya, impiannya dan tidak boleh gagal, kalau sampai gagal, maka dialah yang menyerah. Ini sudah terlanjur setengah jalan.

Ada rasa geram, berbagai pertanyan menggumpal di hatinya. Kenapa tanah kuburan itu ada di pinggir jalan? Kenapa bisa tanah kuburan letaknya strategis macam itu? kenapa juga persawahan yang dibelinya terdapat kuburan yang mengakibatkan bentuk batasnya tidak simetris? Sampai pada pertanyaan kenapa dia tidak membeli tanah yang lain saja?

Tanah kuburan yang tak seberapa besarnya, namun cukup mengganggu jika dibiarkan ada di sana. Maka daerah itu harus dilenyapkan. Dia tak mau gagal hanya gara-gara tanah itu. Kalau dia tidak mau menyerah, maka penduduklah yang harus menyerah. Menorehkan tanda tangan mereka pada kertas bermaterai yang telah dia siapkan.

***
Sesepuh desa akhirnya didatangi Si Peci Miring di rumahnya. Bagi Si Peci Miring, orang tua berambut keperakan itu harus diluluhkan lebih dulu. Jika sudah luluh, maka para penduduk seperti anjing penjaga. Setiap tindakan dan perkataan orang sepuh itu bagaikan sabda yang akan dipatuhi.

“Kita sudah tahu, dia bukan orang jauh, meski mayoritas penduduk tidak tahu. Maka saya mohon, katakan pada warga bahwa kuburan akan dibeli oleh pengusaha properti yang sudah maju. Harganya tinggi, bisa untuk beli rumah dan membeli tanah kuburan lain.” Si Peci Miring melobi dengan berapi-api.

Si Rambut Perak tersenyum manggut-manggut, mengisap rokok kelobotnya hingga pipi keriputnya mengempot lebih dalam.

“Orang yang sudah mati itu juga merasakan sakit. Bahkan lebih sakit daripada apa yang kita rasakan di sini. Apa kamu rela jasad bapakmu diotak-atik dan dipindahkan begitu saja?”

Si Peci Miring diam saja. Dia merasakan ketidakrelaannya saat harus memindahkan jasad bapaknya yang juga dikubur di tanah pemakaman desa itu. Tapi saat mengingat upah yang didapatnya untuk mendapatkan tanda tangan warga, juga upah atas ganti rugi tanah makam bapaknya yang cukup besar. Dia mengabaikan perasaan tidak relanya.

“Ini demi kemajuan desa kita. Akan banyak pengusaha-pengusaha properti yang masuk desa kita setelah ini, membeli tanah-tanah kita dan kita bisa mendapatkan uang yang melimpah. Mungkin bisa untuk beli mobil. Atau mungkin untuk membeli tanah di daerah lain. Bukankah itu akan membuat tingkat ekonomi penduduk lebih baik?”

“Pikiranmu seperti makanan jaman sekarang, cepat saji.” Si Rambut Perak tenang saja menjawab. “Begini saja, kamu datangi para warga dulu, baru yang terakhir aku. Kalau penduduk mau menyetujui hal yang kau iming-imingi itu, aku mengalah. Aku ikut mereka.”

“Tapi mana mungkin mereka mau, kalau sesepuh desanya belum tanda tangan?”

“Kalau tidak mau juga. Kembalilah pada bosmu itu. Suruh dia datang padaku, aku akan ajak dia jalan-jalan dan aku akan bicara padanya. Setelah itu baru aku akan tanda tangani kalau dia yang memintaku secara langsung. Lalu aku menjamin penduduk yang lain akan mengikuti.”

“Kalau dia tidak mau?”

“Katakan saja aku sebenarnya tahu siapa dia.”

Si Peci Miring gagal merayu sesepuh desa. Orang paling dituakan karena memang yang paling tua di desa itu. Usianya nyaris menyentuh satu abad. Dua kali lipat umur Julung atau majikan Si Peci Miring. Selama hampir seabad umurnya, orang tua itu tahu banyak tentang sejarah desa yang ditinggalinya ini. Termasuk sejak kapan jalan desa di aspal, dan siapa penghuni makam desa pertama kalinya. Makam desa yang ada sejak 50 tahun yang lalu.

Meski gagal, namun Si Peci Miring mendapatkan secercah harapan, bahwa keinginan majikannya tak akan lama lagi terwujud. Sesuai keinginan sesepuh desa yang juga menjabat ketua RW, Si Peci Miring kembali ke tempat majikannya untuk mengutarakan hal yang didengarnya.

“Bagaimana? Berhasil?” tanya Julung ketika Si Peci Miring datang. “Oh, wajahmu menunjukkan wajah yang gagal,” lanjutnya setelah membaca raut wajah Si Peci Miring.
“Aku memang gagal mendapatkan tanda tangan penduduk. Tapi aku mendapatkan kepastian dari sesepuh desa.” Si Peci Miring menjawab dengan wajah yang datar.

“Kepastian seperti apa?”

“Orang tua itu ingin anda temui. Dia akan mengajak anda bicara. Katanya, dia tahu siapa anda. Setelah itu dia akan menandatangi surat ini,” jawab Si Peci Miring sambil meletakkan kertas-kertas yang sudah ditempeli materai.

“Begitukah? Aku akan datang padanya.” Ada desir di hatinya ketika mendengar bahwa sesepuh desa tahu siapa dia, ini akan menjawab rasa penasarannya.

“Lalu upahku?”

“Kau berhasil hanya dalam beberapa bagian. Upahmu juga hanya sebagian saja.”

***
Julung mengikuti langkah sesepuh desa dengan perlahan, menyesuaikan dengan langkah orang tua yang lambat. Berjalan menuju tanah pemakaman desa.

Mereka masuk ke komplek kuburan, makin masuk ke dalam lalu berhenti di rimbunan rumput berduri. Sesepuh desa menyerahkan sabit yang dibawanya kepada Julung.

“Coba bersihkan rumput-rumput ini.” Sesepuh desa memberikan perintah.

Majikan Si Peci Miring menuruti saja. Apalagi ada harapan tersembul akan keberhasilannya menguasai tanah makam ini. Dibersihkannya rumput-rumput itu, tak jarang duri menggores tangan yang membuatnya gatal dan perih.

Sesepuh desa hanya sekali-sekali membantu membuang rumput-rumput berduri. Si Peci Miring melihat kegiatan itu dari balik sebuah pohon. Setelah sekitar setengah jam Julung berkutat dengan rumput-rumput itu, terlihatlah di balik rumput berduri yang dibersihkan ada sebuah kuburan dengan nisan batu yang dipenuhi lumut.

Majikan Si Peci Miring menyeka dahinya dari keringat yang membanjir. Dia melihat kuburan dengan nisan berlumut di depannya. Dia memandang sesepuh desa dengan wajah bertanya-tanya.

“Aku masih ingat lima puluh tahun yang lalu di desa ini setelah 40 hari bapakmu meninggal dunia. Ibumu pamit pergi ke kota untuk bekerja dengan membawamu yang masih bayi. Tiga bulan kemudian, dia mengirim surat bahwa dia akan pergi ke negara tetangga untuk bekerja sebagai pengasuh bayi dan meninggalkanmu di panti asuhan, juga meninggalkan alamat rumahnya di sini pada pengelola panti asuhan. Dalam surat itu, dia berpesan, jika dia tidak kembali dan kamu sudah besar lalu pulang ke desa ini, ibumu ingin kamu mengurus makam bapakmu ini.” Sesepuh desa sepertinya tidak kuat berdiri, lalu duduk di sebuah batu.

Dia serius mendengarkan. Ada pintu yang terbuka dari pertanyaan yang terkunci selama ini. Namun masih ada keraguan akan cerita orang tua itu. Bagaimana dia seolah tahu masa lalunya.

“Sepertinya ibumu memang tak kembali, kabarpun tak pernah ada hingga sekarang. Bapakmu meninggal karena kecelakaan kerja saat jadi buruh. Saat itu desa ini belum punya kuburan. Kalau ada yang meninggal, harus berjalan jauh ke desa lain. Maka diputuskan tanah ini digunakan untuk tanah pemakaman desa. Dan jasad bapakmu ini yang pertama kali menempatiya.” Sesepuh desa mengatur napasnya.

Julung termenung. Dia mengatupkan mulut. Si Peci Miring mendekat. Meski dia tahu silsilah para penduduk, tapi Si Peci Miring itu baru tahu sejarah tanah kuburan desa ini.

“Mungkin kamu bertanya bagaimana aku bisa tahu bahwa kamu ini bayi yang dulu dititipkan di panti asuhan ‘kan?” Sesepuh desa tersenyum, seakan tahu Julung akan bertanya. “Tanda lahir di leher kamu itu jawabannya.”

Julung menggaruk tompel di lehernya, Si Peci Miring mengamati tompel itu.

“Sekarang terserah kamu. Aku sudah lega menyampaikan wasiat ibumu agar kamu mengurus baik-baik kuburan bapakmu ini. Semoga kau baik-baik juga dalam memutuskan sesuatu. Karena bagaimanapun juga kita akan mati.”

Sang Majikan merasa lulutnya lunglai, lalu tak sadar bersimpuh di tanah kuburan itu. Pertanyaan dalam hidupnya tentang silsilah keluarganya terjawab hari ini. Dia seakan mendapatkan cahaya dari kalimat sesepuh desa. Tangis di hatinya berderai-derai, ada penyesalan di hati.

“Ketika tanah kuburan di kota sudah dikontrakkan dan dijual. Di sini masih luas dan gratis,” lanjut sesepuh desa. “Aku tak ingin kuburan-kuburan menjadi urusan bisnis.”

“Lupakan tanda tangan warga.” Bergetar suara Julung memerintahkan pada Si Peci Miring, tapi yang diperintah hanya diam seperti tak mendengar.

“Kamu dengar perintahnya, Pak Lurah?” tanya sesepuh desa pada Si Peci Miring.

Si Peci Miring tergagap, “iya, iya.”

Sesepuh desa kemudian pergi meninggalkan Julung dan Pak Lurah dengan senyum puas. Julung membersihkan lumut yang menutupi batu nisan. Lalu terbacalah sebuah nama di batu nisan itu.

Danang Febriansyahtergabung dalam Forum TBM Wonogiri. Belajar menulis dan makin kenal banyak karya sastra di Komunitas Sastra Alit Solo

Friday, August 24, 2018

Kakek dan Kenangan yang tak Juga Hilang

Kakek dan Kenangan yang tak Juga Hilang. (Lukisan "My Grandfather", by Treasured Whiskey. Foto: Art Cellar Gallery)

Ketukan drum yang rancak dan tepukan tangan yang berirama memastikan tiap orang yang mendengarnya akan ikut bergoyang, setidaknya mengangguk-anggukkan kepalanya atau sekedar menghentak-hentakkan kaki.
You, doin’ that thing you do.
Breaking my heart into a million pieces
Like you always do …
Irama musik That Thing You Do begitu rancak. Rock and Roll yang di terbangkan The Beatles mendapatkan pesaing hebat. The Wonders!
Aku memulai cerita pada teman-temanku.
***
“Jadi kakek benar-benar hebat.” Aku begitu terpesona dengan apa yang dikatakan ayah dari ayahku.
“Kau orang yang kesekian juta kali yang berkata demikian. Namun satu dari dua orang yang istimewa yang mengatakannya,” sahut kakek bersemangat.
“Siapa lagi?”
“Nenekmu.”
Aku benar-benar terpana. Meskipun baru beranjak memasuki SMP, tapi lagu yang kakek putarkan itu benar-benar menghipnotisku.
Lagu rock and roll yang diputar kakek dari piringan hitamnya yang masih bisa dipakai itu mengetuk gendang telingaku.
 … And you, don’t mean to be cruel
You never even knew about the heartache
I’ve been going through …
Lirik itu membuatku membayangkan betapa banyak orang yang memuja kakek saat itu. Aku meliriknya, ia menyesap cokelat panas yang kubuatkan tadi. Sebagai imbalannya, aku diceritakan masa mudanya yang menggelora itu. Menumbuhkan semangatku.
“Saat itu kakekmu ini berumur 20 dan menjaga toko musik. Ya ampun, cita-cita kakekmu ini menjadi musisi jazz pupus saat harus bekerja di toko musik itu. Namun ada pemuda-pemuda gila yang mengajakku bermain band. Gila! Band mereka band balada, jelas itu berbeda dengan jazz, bagaimana bisa menyatu? Tapi James Mattingly atau Jimmy, Leonard Haise yang biasa kami panggil Lenny dan bassisnya sukses mengajak kakekmu ini untuk bergabung menabuh drum.
Kalau ada yang lain, mereka tentu tidak mengajakku. Jiwa kakekmu ini benar-benar jazz. Drummer jazz. Tapi ini mendesak, setelah drummer mereka terdahulu kecelakaan yang akhirnya mereka kehilangan seorang drummer. Mereka sangat membutuhkan drummer untuk ajang pencarian bakat saat itu. Dan jadilah aku bersama mereka. Jimmy sebagai vokalis dan pemain gitar, Lenny sebagai backing vokal dan pemain gitar, seorang pemain bass yang bercita-cita menjadi marinir dan aku, drummer.”
 … Well, I try to forget you, girl
But it’s just so hard to do
Every time you do that thing you do …
Lagu itu, gebukan drum kakek saat itu benar-benar eksotis. Tak ada sehebat dia. Aku makin terobsesi mendirikan sebuah band, dan aku drummernya, seperti kakek.
“Lalu apa nama band kakek?”
“The Oneders.”
“Nama yang sudah diucapkan.”
“Itu nama diberikan oleh Faye, pacarnya Jimmy. Gadis cantik yang pertama kali membuat kakekmu ini terpesona. Jimmy telah salah mengajakku bergabung dalam bandnya. Sebab Gadis itu telah mengikat hati kakekmu ini. Tapi aku belum berani terang-terangan.”
“Kakek gila juga ya?”
Kakekku itu malah terkekeh. Tertawa bangga mengenang masa lalunya. Cokelat panas kembali disesapnya.
“Tidak. Tidak. Meski kakek menyukai Faye, tapi kakek tidak sejahat itu. Faye kami jadikan penata kostum.”
… I know all the games you play
And I’m gonna find a way to let you know
That you’ll mine someday …
“Kek, aku tidak tertarik dengan cerita cinta kakek. Aku ingin dengar band kakek The One … The Wan … The Won …” Aku garuk-garuk kepala mengeja nama band kakek itu.
“The Oneders.” Kakek memotong cepat.
“Tuh kan susah diejanya.”
Hanya dijawab tawa kakek.
“Kau tahu, penampilan pertama itu, kakeklah yang paling berjasa melambungkan nama The Oneders. Gara-gara kakekmu ini grogi tampil di atas panggung pertama kali, irama That Thing You Do yang balada itu malah jadinya Rock and Roll. Makanya ketukan drum jadi cepat, menghentak, yang pasti bikin pendengar jingkrak-jingkrak.”
“Respon teman-teman kakek?”
“Masak sih di atas panggung mereka akan protes? Memang Jimmy, Lenny langsung menoleh ke belakang, di balik drum kakek asyik sendiri dengan tabuhan drum. Tapi si pemain bass, entah lupa namanya kakekmu ini mengikuti irama drum. Jadi mau tak mau Jimmy dan Lenny mengikuti juga irama lagu yang jadi rock and roll itu.”
“Wah kakek hebat, kakek orang yang berpengaruh.”
“Ya, salah satu ciri pemimpin adalah bisa mempengaruhi orang lain.” Kakek kembali terkekeh.
Lalu mengambil minuman cokelatnya. Tapi rupanya cangkir itu sudah tandas. Dia melirikku, mengacungkan cangkir itu padaku agar membuatkan cokelat lagi. Aku merajuk. Ceritanya belum usai.
“Aku tak akan melanjutkan kisah itu kalau tak ada secangkir cokelat panas di sini.”
Aku luluh, aku terima cangkir itu dan berlalu membuatkan cokelat permintaan kakek. Kakek memang pandai mempengaruhi.
… ‘Cause we could be happy, can’t you see?
If you’d only let me be the one to hold you
And keep you here with me …
Aku kembali dengan secangkir cokelat panas untuk kakek, piringan hitam kembali mengulang lagu kebanggaan kakek, That Thing You Do.
Kakek menikmati cokelat itu, sampai lupa melanjutkan cerita. Aku masih menunggu. Kakek meletakkan cangkir. Pandangannya lalu menerawang ke langit-langit rumah.
“Pennsylvania…” gumamnya nyaris tak terdengar.
Aku masih menunggu kelanjutannya. Pemain band. Itu cita-citaku yang rupanya telah dilakukan oleh kakek. Tak salah kakek tiba-tiba menjadi idolaku saat meceritakan kisah masa lalunya itu. Tentu masa lalu yang dipenuhi pertanyaan olehku.
“Di kota itu semua gemerlap yang mengubah hidupku berawal.”
Aku tidak berminat mengganggu kakek mengenang masa lalunya, aku hanya diam bersabar menunggu apa yang akan dikatakannya. Tapi rasa penasaranku mengalahkan semuanya.
“Kenapa kakek bisa sampai kota itu?”
“Beasiswa, cucuku. Kakek dapat beasiswa untuk sekolah di sana, di Amerika. Makanya kamu sekolah yang pinter, biar dapet beasiswa dan sekolah di luar negeri juga.”
Aku mengangguk saja. Lalu menunggu kakek memperdengarkan kisah masa lalunya.
 … ‘Cause I try and try to forget you, girl
But it’s just so hard to do
Every time you do that thing you do …
Lagu yang diputar seperti menjadi backsound dari cerita kekek.
“Hal yang kulakukan… adalah menjadi diriku sendiri. Pada akhirnya aku duduk di belakang perangkat drum yang disediakan panitia pencari bakat.” Kakek menghela napas. “Wow … stik drum sudah kugenggam. Ini panggungku. Aku memulai dengan ketukan stik drum, menandai dimulainya lagu kami. That Thing You Do…”
Kakek kemudian tertawa. Aku hanya senyum saja. Menghargai tawa kakek, meski aku tak tahu apa yang ditertawakannya.
“Kau tahu apa yang dilakukan Jimmy, Lenny dan pemain bass kami saat drum aku gebuk dengan irama Rock and Roll?” Kakek tertawa lagi. “Mereka melihat kakek dengan tatapan bingung, ‘ini lagu Balada, ketukan drum kamu salah’ mungkin begitu dalam pikirannya. Tapi apa boleh buat, drum sudah kugebuk, mereka mau tidak mau harus mengikuti.”
Kakek tertawa lagi, lalu mengambil cangkir cokelat di depannya, menyesapnya lagi.
“Dan kau tahu, dari balik panggung, pacar Jimmy tersenyum melihat ulah kakekmu ini. Itu menyenangkan sekali.”
Aku tidak tertarik kisah pacar Jimmy itu. Aku ingin jadi pemain band, jadi aku lebih tertarik kisah kakek tentang band-nya. Biar teman-temanku merasa iri denganku, mereka akan memberi aplaus saat kuceritakan kisah hebat ini.
… I don’t ask a lot, girl
But I know one thing’s for sure
It’s the love I haven’t got girl
And I just can’t take it anymore …
Lagu That Thing You Do berputar ulang dari piringan hitam kakek. Larik demi larik cukup memikat di telingaku. Meski aku baru beranjak remaja, tapi lagu itu cukup menarik perhatianku, ditambah cerita hebat kakek sebagai seorang musisi.
“Dan That Thing You Do memukau juri dan para penonton. Tak tanggung-tanggung The Oneders menjadi juara, berkat Rock and Roll. Saat itu musik Rock and Roll ditolak para pemuka agama di sana. Kata rohaniawan itu musik setan.” Kakek tertawa lagi, mencibir olok-olok sebagai musik setan. “Hadiah seratus dolar ada di tangan kami. Ini kemenangan yang sensasional, karena kecelakaan ketukan drum.” Air mata kakek sampai menetes saat tertawa mengenang kemenangannya itu.
“Ada kelanjutannya setelah kemenangan itu?”
“Tentu. Pintu The Oneders terbuka lebar. Cafe dan restauran mengantri agar kami bisa manggung di tempat mereka. Dan kebanggaan bagi kami saat stasiun radio lokal mulai memutar That Thing You Do. Kau juga akan bangga jika saat itu kau merasakan lagu kami sangat sering diputar. Akibatnya label rekaman besar A & R sampai rela menyuruh manajer handal mereka menemui kami. Mr. White, manajer itu menawarkan kepada kami untuk bergabung dalam anak perusahaan A & R, Play Tone Records. Kau bisa baca di sampul piringan hitam itu.
Dan kau yang susah mengeja nama The Oneders, cucuku, kini tak lagi kesusahan. Mr White mengubah nama The Oneders menjadi The Wonders. Rupanya Mr. White juga kekusahan mengeja nama itu, nama yang tidak menjual katanya.
Mr White punya pikiran ke depan, maklum dia sangat berpengalaman menangani band-band baru seperti kami. Dia memerlukan manajer tour buat kami, dia tahu apa yang kami butuhkan, bahkan kami tidak berpikiran sejauh itu. Lalu Faye, pacar Jimmy si vokalis itu yang jadi manajer tour kami.”
Pikiranku berkelana ke tahun 1964, ketika band kakek berjaya.
“Kau lihat kaca mata hitam itu?” Kakek menunjuk sebuah kaca mata hitam klasik yang tergeletak di meja baca kakek. “Itu kacamata pemberian Mr. White pada kakek, dan sejak saat itulah kacamata hitam adalah ciri khas kakek. Jauh sebelum band Indonesia, Radja lahir.” Kakek tertawa lagi, kakek tahu juga band idola ayahku, aku tersenyum.
… ‘Cause we could be happy, can’t you see?
If you’d only let me be the one to hold you
And keep you here with me …
Lagu yang terus terngiang dan cerita kakek ini membakar semangatku agar keinginanku mendirikan sebuah band cepat terwujud.
“Kami pun membuat album, bukan cuma single seperti band-band sekarang, cuma bisa bikin lagu sebiji saja merasa besar, legend dan menjadi sombong. Tidak, kami bikin album. Lagu andalan tentu That Thing You Do, dan sebuah lagu lain Little Wild One yang juga menjadi andalan. Meski kehebohan That Thing You Do susah tertandingi.
Tak hanya di situ, cucuku. The Wonders meroket, sibuk. Tak ada waktu buat istirahat. That Thing You Do menjadi pemuncak dalam tangga lagu Billboard. Kami dipuncak karier dalam waktu yang cukup cepat. Kami pernah menjadi band pembuka band The Supremes, band yang cukup legendaris saat itu. Namun karena That Thing You Do juga, status sebagai band pembuka itu hanya seperti iklan dalam TV, singkat. Karena kami melesat sebagai bintang di Amerika. Yang saat itu dijejali oleh The Beatles yang menjadi fenomena dalam dunia musik. Tak pelak, kami lalu digadang-gadang oleh pengamat musik sebagai pesaing berat The Beatles.
… ‘Cause it hurts me so just to see you go
Around wit someone new
And if I know you, you’re doin’ that thing
Everyday just doin’ that thing
I cant’ take you doing that thing you do …
Aku membiarkan kakek bersenandung lagunya. Kakek sangat bersemangat dalam bercerita. Mungkin karena mengenang masa lalu menjadi seorang idola atau karena aku setia mendengarkannya dengan baik.
Ia melanjutkan cerita mudanya setelah menandaskan minuman cokelat dalam cangkir porselennya.
“Kami benar-benar sibuk. Bayangkan, tour keliling Amerika. Bukankah itu luar biasa bagi band pemula seperti kami. Dielu-elukan banyak orang, tak pelak, pipi kakek memerah karena banyak yang mencubitnya. Kacamata hitam kakek bahkan pernah direbut penggemar, tapi segera diambil kembali oleh petugas keamanan. Saat itu, kacamata pemberian Mr. White tak lagi kupakai, aku mengenakan duplikatnya saja. Benar-benar capek menjadi idola itu.
Dampak lain dari terkenal adalah tawaran bermain dalam sebuah film. Seingat kakek, itu film bertema pantai, Weekend at Party Pier kalau nggak salah judulnya. Namun di sinilah The Wonders memulai keretakannya. Pemain bass kami yang memang bercita-cita menjadi marinir, bertemu para marinir di pantai. Dia pun menghilang tanpa kami ketahui kabarnya, mungkin melanjutkan cita-citanya sebagai marinir.
Padahal saat itu kami juga harus datang di acara talkshow secara live. Kau tahu, itu acara talkshow yang sangat diimpikan oleh banyak selebritis. Kami sangat beruntung diundang dalam acara itu. The Hollywood Television Showcase nama talkshow paling populer saat itu.
Tapi apa kata dunia saat kami kehilangan pemain bass? Namun, ah rupanya talkshow tetap berlangsung dengan baik meski kami baru saja merekrut bassis yang baru.
Kelegaan setelah mendapatkan pengganti bassis ternyata hanya sekejap mata. Mencapai puncak dalam waktu cepat rupanya juga berlaku sebaliknya, bahkan menukik lebih cepat. Kami jatuh berdebam. BAM!” Kakek setengah berteriak membuatku terlonjak.
“Perpecahan yang lebih besar terjadi. Ego kami yang masih muda-muda ini tidak bisa ditolerir. Ditambah kisah cinta Jimmy dan Faye yang juga mengalami keretakan. Meski bagiku itu sebuah anugerah. Jimmy menjalin cinta dengan sekretaris di A & R. Faye pun yang sebelumnya dalam kesibukan kami jarang mendapat perhatian Jimmy, kini makin putus asa. Kakekmu ini dengan sok pahlawan menjadi pengobat sakit hati Faye. Sampai kini, nenekmu Faye masih bersama kakek.
Perpecahan itu semakin dimantapkan oleh Mr. White, sebagai manajer, dia sudah tak mampu lagi menjalani peran secara maksimal.
Dan selesai. Sekali naik dengan cepat, turunpun juga tak kalah cepat. 1 album 1 fenonema, bukankah itu ajaib? Sesuai dengan nama band kami, The Wonders.” Kakek menghela napas, merapikan rambut berubannya dengan kedua tangan.
“Lalu setelah The Wonders bubar, kemana para personelnya?” tanyaku penasaran.
“Jimmy kembali ke jiwanya, meneruskan karier sebagai penulis lagu-lagu balada. Aku meneruskan langkahku yang terhenti sebagai musisi jazz, bermain dari satu band ke band lain dan menjadi guru musik untuk melanjutkan hidup di sana.”
Aku menatap wajah kakek yang memang masih menyisakan ketampanan. Kakek telah membuatku bangga.
***
Teman-temanku di sekolah yang kuceritakan kisah hebat kakek semua terkagum-kagum. Aku bangga, hingga salah seorang teman menyeletuk.
“Bukankah nama kakekmu itu Giyo?”
Aku mengangguk, masih merasa bangga dengan cerita yang baru kuperdengarkan.
“Setahuku, drummer The Wonders itu bukan Giyo, tapi Guy Petterson.”
Aku menelan ludah.
“Dan, The Wonders itu, ‘kan?”
Pandangan teman-teman yang lain tajam padaku.
-selesai-

Danang Febriansyah, belajar menulis di FLP Soloraya dan Komunitas Sastra Alit Solo. Mengelola taman baca dan tergabung dalam Forum Taman Bacaan Masyarakat (Forum TBM) Wonogiri. Karya-karya tersiar di sejumlah media seperti Radar Mojokerto, Joglosemar, Solopos, Koran Muria, Koran Pantura, Majalah Hadila, Majalah Serambi Al-Muayyad, Merah Putih Pos 2016. Juga termaktub dalam besejumlah antologi Antologi Cerpen “Joglo 4 : Cerpenis Terpilih” (TBJT 2007), Antologi Cerpen “Love Never Fails #3” (nulisbuku.com, 2014), Antologi Cerpen “Joglo 15 : Botol-botol Berisi Senja” (Taman Budaya Jawa Tengah, 2007) Antologi Cerpen “Temukan Warna Hijau” (Elex Media Komputindo, 2014), Antologi Puisi “Jendela dari Koloni” (Taman Budaya jawa Tengah, 2015), Antologi Puisi “Luka-luka Bangsa” (Pangaro Media Utama, 2015) dan Novellet “Lot & Purple Hole” (Elex Media Komputindo, Agustus 2015).