Wednesday, September 26, 2018

MAKAM CAHAYA



http://floressastra.com/2018/09/25/makam-cahaya-cerpen-danang-febriansyah/

Julung belum pernah tahu bahwa di sana ada sebuah makam yang telah tertutup rimbun rumput berduri. Bukan hanya tidak terlihat, tapi makam itu adalah makam yang berbeda.

***
Semua penduduk harus menyerah saat ini. Karena kalau tidak, dialah yang harus menyerah nantinya. Makanya mulai dari sekarang, dia harus menyiapkan bukti kuat apabila di waktu kemudian terjadi sengketa dengan dari penduduk.

“Katakan pada mereka bahwa harga yang kita tawarkan jauh lebih baik daripada penghasilan mereka setahun ini!” seru Julung pada seseorang yang mengenakan peci agak miring yang duduk di depannya, mungkin itu bawahannya.

“Bukankah akan lebih baik kita membiarkan wilayah itu sebagai tempat yang tak tersentuh?” sanggah si peci miring.

“Wilayah itu menjorok ke lahan yang akan aku gunakan. Itu mengganggu. Lagipula, siapa yang mau membeli rumah yang bersebelahan dengan komplek kuburan?” Julung tersenyum sinis sambil menggaruk tompel di lehernya.

“Lalu?”

“Seperti yang kukatakan tadi, aku beli sekalian tanah kuburan itu. Dan pada saatnya nanti, lupakan bahwa tanah itu bekas kuburan.”

“Aku ada ide lain.”

“Kalau idemu menjadikan kuburan-kuburan sebagai tempat wisata religi, itu ide yang konyol. Atau jika idemu dengan memindahkan tulang-belulang ke tempat lain dimana tempat lain itu aku juga yang menyediakan, lupakan idemu itu. Aku tak mau mengeluarkan dana tambahan.”

Si Peci Miring terdiam. Majikannya itu seakan membaca ide yang akan disampaikannya. Padahal baginya ide itu yang paling realistis, tidak menyakiti semua pihak.

“Ka…kalau warga me…nolak?” Si Peci Miring tidak yakin, bicaranya tergagap.

“Kau tak dengar! Berikan harga yang tinggi!” Julung berdiri dan membentak, tidak sabar menghadapi bawahannya itu.

Si Peci Miring tersentak, tapi segera berusaha menguasai diri agar wibawanya masih terlihat. Kemudian menarik napas panjang, melonggarkan paru-parunya untuk menyiapkan diri mengungkapkan isi hatinya.

“Makam, bagi penduduk di sini artinya lebih dari sekedar daerah kematian. Makam memiliki arti lebih dari itu dan menjadi tempat peristirahatan keluarga mereka. Wilayah itu sama halnya dengan harga diri mereka. Siapapun yang mengusiknya, mereka akan bersatu untuk melawan.” Si Peci Miring menarik napas lagi. “Melunaklah sedikit,” sambungnya.

“Aku capek bicara sama kamu. Kamu kubayar mahal demi meyakinkan mereka, tapi kamu malah menyerah dari mereka.” Julung kembali duduk dan menyandarkan punggungnya di kursi putar.

“Tapi…” sahut Si Peci Miring.

Dia mencondongkan tubuhnya ke depan lalu melotot dengan tajam membuat Si Peci Miring gentar. “Upahmu kutambah jika kamu mampu mewujudkan mauku ini. 3x lipat!” serunya menuntaskan kesabaran.

“Aku tidak menyerah,” sahut si Peci miring dengan suara yang tercekat. “Aku pastikan warga akan segera setuju,” lanjutnya setelah merasa tertantang dengan tawaran majikannya itu.

“Kuserahkan padamu dan pastikan warga menyetujuinya.” Julung kemudian bersandar lagi. “Bagaimanapun caranya!”

Baginya, masalah ini jangan sampai berlarut-larut. Kalau sampai tidak diselesaikan sekarang juga, dia khawatir kabar seperti ini menyebar kemana-mana dan proyek yang telah dibiayai dengan mahal ini tidak laku karena sudah banyak yang tahu latar belakangnya.

Proyek ini adalah salah satu ambisinya, impiannya dan tidak boleh gagal, kalau sampai gagal, maka dialah yang menyerah. Ini sudah terlanjur setengah jalan.

Ada rasa geram, berbagai pertanyan menggumpal di hatinya. Kenapa tanah kuburan itu ada di pinggir jalan? Kenapa bisa tanah kuburan letaknya strategis macam itu? kenapa juga persawahan yang dibelinya terdapat kuburan yang mengakibatkan bentuk batasnya tidak simetris? Sampai pada pertanyaan kenapa dia tidak membeli tanah yang lain saja?

Tanah kuburan yang tak seberapa besarnya, namun cukup mengganggu jika dibiarkan ada di sana. Maka daerah itu harus dilenyapkan. Dia tak mau gagal hanya gara-gara tanah itu. Kalau dia tidak mau menyerah, maka penduduklah yang harus menyerah. Menorehkan tanda tangan mereka pada kertas bermaterai yang telah dia siapkan.

***
Sesepuh desa akhirnya didatangi Si Peci Miring di rumahnya. Bagi Si Peci Miring, orang tua berambut keperakan itu harus diluluhkan lebih dulu. Jika sudah luluh, maka para penduduk seperti anjing penjaga. Setiap tindakan dan perkataan orang sepuh itu bagaikan sabda yang akan dipatuhi.

“Kita sudah tahu, dia bukan orang jauh, meski mayoritas penduduk tidak tahu. Maka saya mohon, katakan pada warga bahwa kuburan akan dibeli oleh pengusaha properti yang sudah maju. Harganya tinggi, bisa untuk beli rumah dan membeli tanah kuburan lain.” Si Peci Miring melobi dengan berapi-api.

Si Rambut Perak tersenyum manggut-manggut, mengisap rokok kelobotnya hingga pipi keriputnya mengempot lebih dalam.

“Orang yang sudah mati itu juga merasakan sakit. Bahkan lebih sakit daripada apa yang kita rasakan di sini. Apa kamu rela jasad bapakmu diotak-atik dan dipindahkan begitu saja?”

Si Peci Miring diam saja. Dia merasakan ketidakrelaannya saat harus memindahkan jasad bapaknya yang juga dikubur di tanah pemakaman desa itu. Tapi saat mengingat upah yang didapatnya untuk mendapatkan tanda tangan warga, juga upah atas ganti rugi tanah makam bapaknya yang cukup besar. Dia mengabaikan perasaan tidak relanya.

“Ini demi kemajuan desa kita. Akan banyak pengusaha-pengusaha properti yang masuk desa kita setelah ini, membeli tanah-tanah kita dan kita bisa mendapatkan uang yang melimpah. Mungkin bisa untuk beli mobil. Atau mungkin untuk membeli tanah di daerah lain. Bukankah itu akan membuat tingkat ekonomi penduduk lebih baik?”

“Pikiranmu seperti makanan jaman sekarang, cepat saji.” Si Rambut Perak tenang saja menjawab. “Begini saja, kamu datangi para warga dulu, baru yang terakhir aku. Kalau penduduk mau menyetujui hal yang kau iming-imingi itu, aku mengalah. Aku ikut mereka.”

“Tapi mana mungkin mereka mau, kalau sesepuh desanya belum tanda tangan?”

“Kalau tidak mau juga. Kembalilah pada bosmu itu. Suruh dia datang padaku, aku akan ajak dia jalan-jalan dan aku akan bicara padanya. Setelah itu baru aku akan tanda tangani kalau dia yang memintaku secara langsung. Lalu aku menjamin penduduk yang lain akan mengikuti.”

“Kalau dia tidak mau?”

“Katakan saja aku sebenarnya tahu siapa dia.”

Si Peci Miring gagal merayu sesepuh desa. Orang paling dituakan karena memang yang paling tua di desa itu. Usianya nyaris menyentuh satu abad. Dua kali lipat umur Julung atau majikan Si Peci Miring. Selama hampir seabad umurnya, orang tua itu tahu banyak tentang sejarah desa yang ditinggalinya ini. Termasuk sejak kapan jalan desa di aspal, dan siapa penghuni makam desa pertama kalinya. Makam desa yang ada sejak 50 tahun yang lalu.

Meski gagal, namun Si Peci Miring mendapatkan secercah harapan, bahwa keinginan majikannya tak akan lama lagi terwujud. Sesuai keinginan sesepuh desa yang juga menjabat ketua RW, Si Peci Miring kembali ke tempat majikannya untuk mengutarakan hal yang didengarnya.

“Bagaimana? Berhasil?” tanya Julung ketika Si Peci Miring datang. “Oh, wajahmu menunjukkan wajah yang gagal,” lanjutnya setelah membaca raut wajah Si Peci Miring.
“Aku memang gagal mendapatkan tanda tangan penduduk. Tapi aku mendapatkan kepastian dari sesepuh desa.” Si Peci Miring menjawab dengan wajah yang datar.

“Kepastian seperti apa?”

“Orang tua itu ingin anda temui. Dia akan mengajak anda bicara. Katanya, dia tahu siapa anda. Setelah itu dia akan menandatangi surat ini,” jawab Si Peci Miring sambil meletakkan kertas-kertas yang sudah ditempeli materai.

“Begitukah? Aku akan datang padanya.” Ada desir di hatinya ketika mendengar bahwa sesepuh desa tahu siapa dia, ini akan menjawab rasa penasarannya.

“Lalu upahku?”

“Kau berhasil hanya dalam beberapa bagian. Upahmu juga hanya sebagian saja.”

***
Julung mengikuti langkah sesepuh desa dengan perlahan, menyesuaikan dengan langkah orang tua yang lambat. Berjalan menuju tanah pemakaman desa.

Mereka masuk ke komplek kuburan, makin masuk ke dalam lalu berhenti di rimbunan rumput berduri. Sesepuh desa menyerahkan sabit yang dibawanya kepada Julung.

“Coba bersihkan rumput-rumput ini.” Sesepuh desa memberikan perintah.

Majikan Si Peci Miring menuruti saja. Apalagi ada harapan tersembul akan keberhasilannya menguasai tanah makam ini. Dibersihkannya rumput-rumput itu, tak jarang duri menggores tangan yang membuatnya gatal dan perih.

Sesepuh desa hanya sekali-sekali membantu membuang rumput-rumput berduri. Si Peci Miring melihat kegiatan itu dari balik sebuah pohon. Setelah sekitar setengah jam Julung berkutat dengan rumput-rumput itu, terlihatlah di balik rumput berduri yang dibersihkan ada sebuah kuburan dengan nisan batu yang dipenuhi lumut.

Majikan Si Peci Miring menyeka dahinya dari keringat yang membanjir. Dia melihat kuburan dengan nisan berlumut di depannya. Dia memandang sesepuh desa dengan wajah bertanya-tanya.

“Aku masih ingat lima puluh tahun yang lalu di desa ini setelah 40 hari bapakmu meninggal dunia. Ibumu pamit pergi ke kota untuk bekerja dengan membawamu yang masih bayi. Tiga bulan kemudian, dia mengirim surat bahwa dia akan pergi ke negara tetangga untuk bekerja sebagai pengasuh bayi dan meninggalkanmu di panti asuhan, juga meninggalkan alamat rumahnya di sini pada pengelola panti asuhan. Dalam surat itu, dia berpesan, jika dia tidak kembali dan kamu sudah besar lalu pulang ke desa ini, ibumu ingin kamu mengurus makam bapakmu ini.” Sesepuh desa sepertinya tidak kuat berdiri, lalu duduk di sebuah batu.

Dia serius mendengarkan. Ada pintu yang terbuka dari pertanyaan yang terkunci selama ini. Namun masih ada keraguan akan cerita orang tua itu. Bagaimana dia seolah tahu masa lalunya.

“Sepertinya ibumu memang tak kembali, kabarpun tak pernah ada hingga sekarang. Bapakmu meninggal karena kecelakaan kerja saat jadi buruh. Saat itu desa ini belum punya kuburan. Kalau ada yang meninggal, harus berjalan jauh ke desa lain. Maka diputuskan tanah ini digunakan untuk tanah pemakaman desa. Dan jasad bapakmu ini yang pertama kali menempatiya.” Sesepuh desa mengatur napasnya.

Julung termenung. Dia mengatupkan mulut. Si Peci Miring mendekat. Meski dia tahu silsilah para penduduk, tapi Si Peci Miring itu baru tahu sejarah tanah kuburan desa ini.

“Mungkin kamu bertanya bagaimana aku bisa tahu bahwa kamu ini bayi yang dulu dititipkan di panti asuhan ‘kan?” Sesepuh desa tersenyum, seakan tahu Julung akan bertanya. “Tanda lahir di leher kamu itu jawabannya.”

Julung menggaruk tompel di lehernya, Si Peci Miring mengamati tompel itu.

“Sekarang terserah kamu. Aku sudah lega menyampaikan wasiat ibumu agar kamu mengurus baik-baik kuburan bapakmu ini. Semoga kau baik-baik juga dalam memutuskan sesuatu. Karena bagaimanapun juga kita akan mati.”

Sang Majikan merasa lulutnya lunglai, lalu tak sadar bersimpuh di tanah kuburan itu. Pertanyaan dalam hidupnya tentang silsilah keluarganya terjawab hari ini. Dia seakan mendapatkan cahaya dari kalimat sesepuh desa. Tangis di hatinya berderai-derai, ada penyesalan di hati.

“Ketika tanah kuburan di kota sudah dikontrakkan dan dijual. Di sini masih luas dan gratis,” lanjut sesepuh desa. “Aku tak ingin kuburan-kuburan menjadi urusan bisnis.”

“Lupakan tanda tangan warga.” Bergetar suara Julung memerintahkan pada Si Peci Miring, tapi yang diperintah hanya diam seperti tak mendengar.

“Kamu dengar perintahnya, Pak Lurah?” tanya sesepuh desa pada Si Peci Miring.

Si Peci Miring tergagap, “iya, iya.”

Sesepuh desa kemudian pergi meninggalkan Julung dan Pak Lurah dengan senyum puas. Julung membersihkan lumut yang menutupi batu nisan. Lalu terbacalah sebuah nama di batu nisan itu.

Danang Febriansyahtergabung dalam Forum TBM Wonogiri. Belajar menulis dan makin kenal banyak karya sastra di Komunitas Sastra Alit Solo