Monday, March 28, 2016

SALAH ARAH

Dimuat di Solopos, Senin Pahing, 28 Maret 2016


MESKI KEMATIAN PUNCAK DARI DUKA

                Tiba-tiba jendela kamarku didobrak dengan keras. Yang tidak kuduga, meloncatlah seorang anak kecil seusia 5 tahun dari luar jendela . Siapa sangka yang kuat mendobrak jendelaku dan hancur berkeping itu adalah anak kecil. Dengan berdiri kutanya dia.
                “Siapa kamu?” tanyaku tajam setelah bangun dari menggelosorku di lantai entah sejak kapan. Rokok masih menyala di asbak.
                “Aku anakmu. Baru datang dari langit.” Anak kecil itu matanya berkilat, bening.
                Di tangannya tergenggam pensil warna, di punggungnya tas ransel kecil. Ia mengedarkan pandangnya. Melihat betapa semrawutnya kamarku ini.
                “Bagaimana kamu bisa turun?”
                “Peniup roh melihat ayah tak pernah mencukur kumis.”
                “Sekedar itu, seremeh itu?”
                Aku tertawa. Mimpi ini benar-benar aneh.
                “Siapa bilang mimpi?” Rupanya si kecil itu membaca pikiranku.
                Ia menarik kabel di pojok ruang. Mencabut stop kontak yang masih tertancap. Menelusuri uluran kabel yang masih terpasang di sana sejak dia pergi.
                Aku terhenyak. Karena itu, dia ...
                Ia mengambil sesuatu dari dalam ranselnya. Mengganti kabel yang terkelupas dengan kabel baru.
                “Adik harus lebih lama hidup.”
                Lancang benar anak kecil ini. Sudah mendobrak jendelaku yang terus tertutup sejak beberapa hari ini. Membuang kabel-kabel mainan anakku. Lalu membaca pikiranku. Dan, siapa bilang istriku sedang mengandung?
                Ia menyalakan lampu ruangan. Seketika semua terang-benar-benar terang. Menerangi segala yang selama ini gelap. Menerangi betapa pengapnya ruang yang terus tertutup ini.
                Panjang lebar ia kemudian berbicara bahwa ia tahu aku selalu tersenyum dan bertopeng ketegaran hati. Padahal lampu terus dipadamkan dan jendela selalu ditutup. Anak bermata bening itu tahu, setelah aku berbalik dari senyum-senyum di depan banyak orang memperlihatkan topeng ketegaran hati, bulir-bulir bening mengalir dan telunjukku mengusapnya. Tidak rela topeng ketegaran hati ini terlepas.
                Aku terduduk, tergugu dan tersedu. Ia melucuti seluruh yang kukenakan. Ia melepaskan segala ketidakrelaan. Anak kecil itu, anak kecil yang gemuk, dengan mata bening yang begitu bersih. Aku menjadi yakin ia anakku, yang turun dari langit.
                Anak yang kembali kepada Penciptanya saat aku tidak bersamanya. Seharusnyakah aku selalu menutup jendela dan mematikan lampu?
                Dengan mendobrak jendela kamarku, ia mencoba membuka segenap ketidakrelaanku yang telah tertutup sejak maghrib dulu itu, saat anak kecil bermata bening itu pulang kepada-Nya. Ia mencoba menerangiku yang segelap mendung saat senja itu dengan menyalakan lampu kamar. Ia mencoba mengembalikanku pada pagi dengan segala kicaunya. Melebarkan hatiku untuk terus melihat luasnya dunia.
                Dan ia mengepalkan tangan. “Ayah tak pernah selemah ini.”
                Ia lalu meniggalkan aroma yang begitu surgawi.

28 Maret 2016

:Kawan yang anaknya kembali kepada Sang Pemilik pada Jum’at 22 Maret 2016

Thursday, March 3, 2016

BACALAH, DENGAN NAMA TUHANMU YANG MENCIPTAKAN

Sumber gambar : slideshare.net

                 Membaca, adalah seharusnya menjadi kebutuhan manusia. Sebab dengan membaca, manusia mampu menjelajah banyak tempat dimana dompet kita kadang tak mampu menjangkau satu tempat saja :-D
                Bahkan membaca adalah sebuah perintah awal Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya Muhammad dalam surat Al-‘Alaq ayat pertama “Iqro’ bismirobbikal ladzii kholaq” – Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan”. Nah, jelas sudah seharusnya bagi yang tidak atheis bahwa membaca itu penting.
                Sayang, begitu banyak manusia yang masih suka lalai dalam melakukan hal indah ini. Dimanapun tempatnya entah di kota, apalagi di desa. Sedang pemerintah rupanya abai terhadap hal membaca yang mungkin dianggapnya remeh ini. Lalu buku-buku yang terbit makin banyak, dan makin banyak juga yang hanya mampir sejenak di toko buku sebelum akhirnya pindah rak yang “terkucil” sampai pindah masuk dalam gudang. Masih untung kalau masuk ke buku-buku obral.
                Ini bukan salah penulisnya, bukan salah bukunya yang berkualitas buruk dan penerbit tidak bisa disalahkan atas sekejapnya buku beredar di toko buku. Dan buku masuk harga obral itu tidak lantas menurunkan kualitas buku tersebut. Tidak menurunkan kualitas penulis yang rela 3 – 4 bulan menuliskan ide-idenya demi menjadi sebuah buku yang kelak beredar di banyak tempat dengan harapan banyak masyarakat yang membaca.
Ini bukankah salah satu sebabnya adalah minat baca masyarakat Indonesia yang masih lemah? Sementara banyak para pejabat pemerintah asyik bergumul dengan kemewahannya – beberapa dengan harta hasil korupsinya tanpa peduli kualitas masyarakatnya. Para penerbit dan orang-orang yang peduli dengan buku dan membaca bergerilya membudayakan membaca.
                Ada Penerbit Diva Press Jogja yang memberikan buku-buku gratis yang sampai kini sudah lebih dari jutaan buku yang digratiskan. Juga Asma Nadia Publishing House yang banyak mendirikan perpustakaan di banyak tempat. Juga beberapa komunitas, seperti FLP yang sudah memiliki banyak sekali anggota dan pelatihan menulis. Sastra Pawon yang sering mengadakan bincang sastra di Solopos FM dan Balai Soedjatmoko, Solo. Komunitas Sastra Alit yang kontinue dengan bahas karyanya meski beranggotakan tak lebih dari selusin orang-orang yang peduli.
                Cukupkah usaha segelintir orang ini untuk mencerdaskan bangsa dengan membaca?
                Belum!
                Butuh banyak tangan-tangan yang terulur, butuh hati yang peka dan butuh kerja nyata orang-orang yang peduli seperti mereka – Abaikan saja para pejabat yang menganggap dirinya terhormat itu.
                Kita tahu minat baca Indonesia berapa di peringkat bawah di banding negara-negara lain. Sementara banyak negara lain yang menjadikan buku sebagai kebutuhan primer, kita yang di Indonesia ini masih menjadikan buku sebagai daftar belanjaan yang kesekian.
                Saya telah membuktikannya tentang hal ini.
                Berusaha memasyarakatkan buku dan membudayakan membaca di desa melalui taman baca dan kios/los buku di sebuah pasar tradisional, saya berjalan perlahan. Mempersilahkan orang yang datang untuk membaca, memberikan sebuah buku secara cuma-cuma pada pelanggan yang masuk dalam kategori mendapatkan buku gratis adalah salah satu usaha yang saya coba. Remeh, kecil, tak seberapa memang, tapi kalau tidak saya lakukan, saya akan makin malas untuk bersedekah.
                Suatu ketika datanglah seorang anak kecil yang menarik tangan ibunya mendekat ke kios buku saya – yang saya kasih brand Losbuku. Ia, anak kecil itu meminta dibelikan buku belajar membaca pada ibunya. Begitu gigih anak itu ingin membaca terlihat dari raut mukanya yang serius membuka buku belajar membaca itu.
                Datar saja muka ibunya melihat keinginan baik sang anak bahkan nampak judes, tak suka dengan kelakuan anaknya. Sang ibu yang memiliki surga di telapak kakinya ini memandang remeh sebuah buku yang ditunjuk si anak, beliau cuek dengan minat anaknya.
                “Bu, aku mau buku ini,” ujar sang anak.
                “Nggak usah, buat apa buku mewarnai!” tegas ibunya menolak.
                Ada keganjilan dari kalimat yang diucapkan ibu itu. Pertama, buat apa buku. Ibu ini rupanya belum dapat hidayah betapa pentingnya sebuah buku bagi kehidupan. Beliau perlu dirukyah. Halah :-D
                Keganjilan yang kedua, ibu ini entah buka huruf atau gimana, jelas bahwa yang diinginkan sang anak adalah buku belajar membaca, sebab dilihat dari usianya anak itu memang saatnya belajar untuk membaca. Namun sang ibu mengatakan bahwa itu buku mewarnai. Semoga Allah membuka hati sang ibu ini J
                Rengekan sang anak tidak dipedulikan sang ibu. Saya ingin sekali memberikan secara cuma-cuma pada anak ini buku yang dimaksudkan. Harganya tak seberapa, tapi ini penting buat anak itu. Namun sang ibu dengan cepat menarik tangan anaknya itu, pergi dari Losbuku.
                “Sudah nggak usah buku. Ayo jajan saja!” kata sang ibu sambil berjalan menarik tangan anaknya dengan cepat.
                Kalimat terakhir sang ibu ini yang membuat saya tertegun, buku masih kalah dengan sekedar jajan. Hingga lupa pada niat saya untuk memberikan buku gratis pada anak itu. Ah, sayang.. maafkan...
                Nah, dari kejadian itu keinginan saya untuk memasyarakatkan buku dan membudayakan membaca di desa semakin naik level.
                Bahwa perintah membaca dalam Al Qur’an itu belum masuk ke sanubari banyak orang. Bahwa kebutuhan buku – meski berharga murah, belum dipedulikan.
                Ada mimpi yang menyembul tidak dalam tidur saya : Mendirikan perpustakaan atau taman baca di desa. Itu.

               

                Wonogiri, 4 – 3 – 2016                 05.30 AM