Sunday, November 29, 2015

INFOGRAFIS

Akibat Virus Infografis

BERKARYA LAGI

Jum'at pagi 9/1/2015 saat sedang membaca sms dari seorang penulis yang tinggal di Solo, saya mendapat sms juga dari seorang teman yang isinya bahwa cerpen saya dimuat di Solopos.
Seperti merasakan orgasme untuk pertama kalinya, rasa senang memuncak karena tidak menyangka bahwa cerpen yang sederhana itu dimuat di koran.
Ini cerpen lama, namun baru berani mengirimkan ke koran saat semangat membuncah-buncah ketika ikut gabung di komunitas sastra "Sastra Alit" Surakarta.
Rasa syukur pada-Nya selalu tercurah atas segala nikmat dan rejeki yang sering datang tak terduga. Cerpen tersebut berjudul DILEMA AHZAN (Cerpen : Danang Febriansyah) (Bisa dibaca dengan klik link tersebut).
Semoga tetap bermanfaat meski sederhana.

AKU DAN FLP

Tahun 2005 saya sering melihat dan memiliki beberapa buku-buku karya FLP. Saya kemudian tertarik untuk masuk FLP tapi tidak tahu caranya. Sampai Desember 2005 saya melihat iklan kecil di koran Solopos bahwa FLP Solo mengadakan seminar di Fakultas Sastra UNS. "Ini kesempatan," batinku. Tujuan awal saya ingin bergabung di FLP adalah ingin bisa menulis cerita. Maka akhir Desember 2005, saya meluncur dengan motor dari Wonogiri ke UNS untuk acara itu, kurang lebih 2 jam perjalanan. Di situlah saya pertama kali mengenal FLP. Ada narasumber Habiburrahman Al Shirazy dan Prie GS. Di sana saya kemudian mendaftar jadi anggota FLP.
Pulangnya saya kecelakaan, motor menabrak mobil pejabat yang berhenti mendadak di tengah jalan waktu hujan, bekas jahitan luka saya sampai sekarang masih ada. Tapi itu tak menyurutkan jalan saya untuk gabung FLP. Awal Januari 2006, saat sore hari saya menghadiri launching Pelat Pulpen 3 di Goro Assalam dengan pembicara Langit Kresna Hariadi. Juga bermotor. Pulangnya hujan dari solo sampai rumah di Wonogiri sangat deras. Tak peduli, harus pulang petang itu, tak ada tempat menginap.
Setelah itu, mulai Januari sampai April, tiap minggu Pelat Pulpen 3 digelar di Pesantren Mahasiswa Arroyan, dekat UNS, peserta kalau nggak salah sekitar 60 orang. Setahu saya, hanya Ranu Muda saja yang sudah tahu tentang ilmu kepenulisan, lainnya setahu saya masih nol saat masuk FLP, termasuk saya.
Tiap minggu bermotor 2x2 jam perjalanan berangkat dan kembali pulang tetap terjadi, karena itu satu-satunya cara agar saya lulus menjadi anggota FLP. Padahal itu bulan-bulan hujan, saya tak peduli dan tidak trauma dengan kecelakaan saat awal mengenal FLP. Dari FLP bahan bacaan (buku) saya mulai bertambah. Dengan mentor Mbak Izzatul Jannah, Mbak Rian, Mas Furqon (ketua FLP Solo saat itu, juga salah satu pemeran dalam film Ayat-ayat Cinta), Mas Aris Adenata, Mbak Deasylawati (novelnya saat itu Quraisy Terakhir jadi juara di Tiga Serangkai), saya jadi tahu seperti apa menulis yang baik dan benar itu.
Dan April 2006, sertifikat lulus Pelat Pulpen 3 saya genggam, saya lulus jadi anggota FLP Solo. Kini peserta pelat pulpen 3 itu yang kadang masih berkomunikasi hanya Ranu, lainnya saya tidak tahu. Semoga makin sukses dan berkah. Perasaan meledak bahagia saat hasil dari pelat pulpen, yaitu tulisanku dimuat di Solopos untuk pertama kalinya pada Agustus 2006. Sayangnya (menurutku) follow up setelah itu kurang greget, karya peserta sebagian hanya dibahas saja. Tak ada yang coba dibukukan. Hanya satu tulisan saya yang diikutkan sayembara dan masuk di Antologi Cerpen Joglo 4. Setelah itu, tak tahu harus bagaimana lagi. Dan semakin lama, sayapun hilang kontak dengan FLP, sampai tahun 2012/2013 saya lihat FLP Solo di FB.
Pelat Pulpen Reformasi, yang saya lihat. Ternyata banyak sekali peserta yang telah mengenal dunia kepenulisan sebelumnya, bahkan memiliki karya yang sudah malang melintang di media massa. Lebih hebat lagi sudah memiliki buku. Ada yang antologi dan ada yang dengan nama pribadi. Dan ada yang mengelola web pemerintah. Dahsyat! Saya jadi minder dengan mereka, tulisan masih belum banyak, dimuat di media baru segelintir. Tapi saya ingin terus belajar pada siapapun hingga bisa bermanfaat. Seperti tagline FLP "Berbakti, Berkarya, Berarti."
Kecintaan pada dunia menulis semoga tetap istiqomah. Semoga follow up dari Pelat Pulpen reformasi ini lebih banyak memfasilitasi semua anggota, sehingga semangat anggota terus tumbuh hingga bisa mandirid dan berkarya lebih baik lagi.
Maaf jika ada kalimat yang kurang berkenan. Wallahu'alam bishowab.

SHOLAT PERTAMA RERI


Hari itu adalah pertengahan Ramadhan, sekitar bulan Agustus 2013. Usia buah hati kami saat itu 2 tahun lebih 3 bulan. Saya pernah mempunyai janji dalam hati suatu saat jika mempunyai rezeki sedikit lebih, akan membelikan mukena kecil untuk si kecil Reri. Dan janji itu terlaksana sore ini, pulang kerja di Wonogiri mampir ke sebuah toko untuk membelikan mukena, lengkap dengan sajadah kecil.
Dalam bayangan saya, Reri akan suka dengan hadiah kecil ini, apalagi sebentar lagi lebaran, mukena ini akan dipakainya untuk sholat id. Menjelang maghrib saya sudah sampai rumah di Solo. Dia menyambutku..
"Ayah dataang..." teriaknya membuat penat setelah perjalanan dua jam seketika hilang. senyumnya mengembang, menghambur dalam pelukanku. Langsung hadiah kecil ini saya serahkan kepada Reri, seperti dalam bayangan saya dia suka.
Saya membantu mengenakan mukena itu pada tubuh kecilnya yang imut. Lalu sebuah gerakan membuatku terkejut.
Dia melakukan gerakan takbir, kemudian rukuk dan sujud. Gerakannya lucu, tapi menunjukkan kalau itu adalah gerakan sholat. Sungguh sesuatu yang belum aku bayangkan. Memang dia sering melihat kami, ayah dan bundanya sholat. Tapi dia hanya bermain.. Langsung saja saya abadikan gerakan sholat pertamanya dengan mukena itu dalam foto.






Sebuah kebanggaan dapat melihat sendiri buah hati kami melakukan gerakan sholat... Bahagia? pasti.... sederhana, tapi sangat berarti...

TANGIS RERI DI RUANG UGD



Tangis Ardhanareswari, anakku yang biasa kami panggil Reri dari dalam ruang operasi minor di gedung UGD RS. Kasih Ibu Solo sampai bisa ku dengar dari tempat pendaftaran. Jantungku berdetak kian kencang ingin segera melihat keadaannya.
Pagi ini, 24 Februari 2014, tepat hari Senin, aku minta izin dari acara ulang tahun SMA Al-Muayyad, dimana aku menjadi staf di sana, juga ijin dari SMP tempatku honorer sekolah di Wonogiri untuk mengantar anakku, Reri ke rumah sakit bersama bundanya.
Kemarin, baru aku tahu ternyata anting yang menempel di telinga Reri (Jawa : Ceplik) melekat, hingga salah satu bagian yang kecil, yang biasanya di sematkan di belakang terlihat masuk ke dalam kulit telinga karena luka dan seperti mengering. Saat itu seharian aku selalu terpaut pada telinga Reri yang bagiku nampak "mengerikan", sebuah benda asing tertanam pada kulit telinganya. Bahkan tidurpun semalam tak nyenyak. Sebuah ujian bagi kami untuk menjadi lebih kuat lagi dalam menjalani hidup.
Semalam, istriku, bundanya Reri mencoba melepaskan ceplik itu, tapi gagal, Reri menangis keras, terlihat nampak kesakitan dan akhirnya muntah karena tangisnya itu, maka kami googling mencari tempat yang tepat untuk melepas anting/ceplik dan mengobati telinga Reri yang infeksi itu. Sementara itu bunda mencoba menghubungi dokter tempatnya bekerja, mencari tahu rumah sakit mana yang bisa mengatasi masalah yang kami hadapi atas apa yang diderita Reri. dokter teman istriku bilang, kalau di rumah sakit langsung masuk bagian UGD saja.
Maka, pagi ini istriku harus menukar jam masuk kerjanya ke shift siang, sementara aku juga harus ijin tidak masuk kerja. Kami putuskan ke rumah sakit Kasih Ibu yang terdekat dengan rumah kontrakan kami. Kami langsung membawa Reri yang selalu nampak ceria ke dalam UGD. Dokter dan pegawai di sana langsung menyambut kami, mengarahkan kami ke tempat pendaftaran. Sementara saya menulis identitas Reri, istriku dan Reri sudah masuk ruang operasi. Begitu cepat penanganan di rumah sakit ini, fikirku lega.
Ketika menulis form pendaftaran, terdengar tangis Reri dari dalam ruang operasi, terhenyak hatiku mendengarnya. sakit...
Setelah selesai di pendaftaran, saya langsung menuju ruang operasi. Di atas pintu tertulis ruang operasi minor, dari dalam ruang itu tangis Reri terdengar makin jelas, hatiku makin teriris dibuatnya. Pintu ruang operasi tertutup, aku hanya duduk di kursi depan ruang itu, sementara Reri dan bundanya beserta para dokter dan perawat menangani luka di telinga Reri.
Kemudian seorang perawat keluar dari ruang operasi, "masih kecil nggak usah dipasang ceplik.."
Aku mengangguk. Hanya doa yang kupanjatkan, "Kau Maha Tahu yang kami rasakan, maka kumohon mudahkan urusan kami ya Allah.."
Tak lama kemudian perawat lain keluar, diikuti Reri dalam gendongan bundanya. kemudian dokter menulis resep sambil berpesan, "biar, gak usah pakai anting, masih kecil gak apa-apa, nanti kalau sudah besar dan minta pasang anting, bawa aja lagi ke dokter, aman." Dokter yang lain bilang, "Kalau perbannya lepas, bisa dikasih betadin kemudian ditutup dengan tensoplast."
Dua pesan yang melegakan hati kami. Luka di telinga Reri tertutup kain kasa. Kulihat anting Reri yang tadi dilepas, nampak berkarat. Kami ke kasir, membayar dan mengambil obat. Reri kembali riang namun masih bermanja-manja dalam gendongan bundanya, senyum bundanya menyublim dalam hatiku untuk merasakan kelegaan serupa.
Harga sekitar 200ribu yang kami bayarkan tak membuat kami menyesal demi kesehatan Reri, bahkan hidupkupun siap kuberikan.
Obat harus diminum Reri adalah penghilang rasa sakit dan antibioti yang harus dihabiskan dalam waktu lima hari. Ini tantangan kami selanjutnya, karena obat ini terasa pahit, biasanya kalau minum obat (sirup) Reri tak pernah menolak, tapi ini puyer. Dua hari lagi Reri harus kontrol lukanya lagi ke rumah sakit yang sama.
Sekarang Reri sudah terlelap setelah minum obatnya. sementara bundanya bersiap untuk berangkat kerja, dan aku juga harus merantau lagi, ke Wonogiri.
Terima kasih Tuhan, terima kasih dokter, perawat dan RS. Kasih Ibu.. Semoga Reri kembali bebas dengan dunia masa kecilnya.

SISI ROMANTISKU DITAGIH GADIS BULAN SABIT



Sejak sebulan yang lalu, gadis bulan sabitku meminta cokelat.
"Tidak, kalau itu berhubungan dengan hari plentin (valentine, maksudku)," Jawabku agak ketus. Aku memang gak suka kasih sayang diungkapkan di hari valentine, kata orang, bagiku valentine tak ubahnya sampah.
"Nggak, nggak ada hubungannya dengan itu," Katanya merajuk, meluluhkan hatiku seketika. Senyumnya membuatku sibuk dengan cintaku padanya.
Maka aku berjanji akan memberinya, berjanji juga dalam hati akan membelikannya dan meletakkan di tangan lembutnya suatu saat agar bisa memberi kejutan yang semoga indah baginya. Maka aku tak memberinya saat itu juga, tapi suatu saat ketika dia sudah lupa dengan permintaannya.
Tapi beberapa hari lalu dia menyindir lagi dengan mengucapkan kata cokelat ketika melihati iklan di TV, aku tersenyum, "pasti, sayang. Pasti," ungkapku dalam hati yang tertuang melalui senyuman. Di sini aku sadar, bahwa sisi keromantisanku mungkin hilang atau mungkin terbagi sejak hadirnya buah hati kami hampir tiga tahun silam, meski aku tak sadar dengan itu tapi mungkin dalam pandangan gadis bulan sabitku, dia merasa kehilangan masa pacaran kita setelah menikah dulu. Ya, pacaran kami memang setelah nikah (masbuloh?). Kami menikmati sekali masa pacaran kami, bahkan teman-teman kerjanya mungkin ingin seperti keromantisan kami bersama pasangannya masing-masing. Dan sindiran paling telak adalah ketika dia membeli sendiri cokelat yang diinginkannya ketika aku belum berniat memberinya, dan dia memberi beberapa suapan cokelat yang dibelinya padaku, saat itu janjiku semakin dan semakin harus diwujudkan, demi dia.
Istriku meminta cokelat, Gadis Bulan Sabitku memohon cokelat
Cokelat kesukaannya, cokelat biasa tanpa topping apa-apa, cokelat dalam iklan TV yang original, bukan ditambah rasa yang lain. Dan aku pasti membelikannya, mungkin hari ini atau lusa, aku tak tahu.
Tapi karena keromantisanku yang ditagih gadis bulan sabitku ini, maka adrenalin menulisku kembali tumbuh setelah sekian lama mengalami erosi. Makanya aku kembali belajar tentang kepenulisan dan melatih menulis lagi, bahkan membuat buku, meski self publishing.
Karenanya aku akan memberikannya cokelat, mungkin sebagai ungkapan sayang, cinta, pengertian dan ungkapan terima kasih.
Karena cintaku padanya sederhana, meski kecil tapi akan terus tumbuh meneduhi hidup kami...

CITA-CITA RERI




              
Sambil duduk bercengkerama bersama Reri yang belum genap tiga tahun, tiba-tiba kutemukan sebuah pertanyaan yang berkelebat di pikiranku, waktu itu di siang hari.
                “Kamu punya cita-cita jadi apa, nak?”
                Pertanyaan itu meski datang secara tiba-tiba, tapi sudah melalui endapan beberapa hari, karena pernah saya dengar, Reri, putri kecilku itu berkata suatu saat ketika sudah besar ingin menjadi dokter.
                Maka kuulang pertanyaan yang mengendap itu hari ini, dia masih diam sambil bermain dengan mainannya. Ku bertanya lagi dengan pertanyaan serupa.
                Dia melihatku, matanya bening, khas anak dibawah tiga tahun.
                “Jadi Bunda.”
                Saya seperti berhenti bernapas.  Perkataan itupun mengejutkanku, karena dia belum genap tiga tahun dan jawabannya di luar dugaanku.
                “Pingin jadi apa?” Kuulang lagi pertanyaanku karena seperti tak menyangka jawabannya. Sebelumnya saya menyangka jawabannya pingin jadi dokter, seperti beberapa hari yang lalu.
                “Jadi bunda.”
                Seakan dia menegaskan jawabannya lagi.
                Jawaban yang sederhana dan penuh makna, menurutku.
                Ya, saya tahu dia masih anak-anak, bahkan belum genap tiga tahun. Jawabannyapun bisa saja berubah lagi, seperti anak-anak yang lain.
                Tapi beberapa hari kemudian, ku ulang lagi pertanyaanku, jawabannya tetap sama. “Jadi bunda.”
                Dia memanggil ibunya dengan sebutan Bunda, memang. Apa dia mengidolakan bundanya sebagai tokoh panutannya? Kalaupun iya, itu tidak mengkhawatirkanku karena itu jauh lebih baik daripada mengidolakan para penipu berkedok alim di televisi. Ataupun mereka yang berteriak histeris mengidolakan orang-orang sedang joget di TV karena tampangnya.
                Bunda atau ibu, sebuah cita-cita? Bisa jadi tidak kalau itu berlaku untuk beberapa waktu yang lalu, karena bagaimanapun waktu itu perempuan otomatis akan jadi seorang ibu. Dan menjadi seorang ibu adalah sebuah kebanggaan karena merasa jadi wanita yang sempurna.
Tapi, mungkin benar menjadi ibu adalah sebuah cita-cita yang mulia kalau itu di saat seperti sekarang ini, karena di jaman sekarang ini, banyak yang tidak ingin jadi ibu karena memilih mendewakan kariernya sehingga mengesampingkan pernikahan sebagai jalan penyempurna separuh agama, yang itu jalan menjadi seorang ibu yang akan melahirkan anak-anaknya dengan cara yang baik dan halal.
                Tapi jawaban anak sekecil itu menampar perasaan dan otakku.  Menjadi bunda atau ibu itu sungguh teramat mulia. Karenanya dipundaknyalah pendidikan seorang anak bermula. Dihatinyalah, gelombang amarah keluarga bisa diredam.
                Karena, di bawah telapak kakiya, surga berada.

Sabtu, 10 Mei 2014          13.58 WIB

MIMPI YANG TERPENDAM

SEBUAH MIMPI YANG TERPENDAM

Sketsa Gedung Perpustakaan "PustakaDan"
Saat cinta sudah berlabuh, maka nyaris semua akan dilakukan selagi kemampuan masih bisa dimaksimalkan.
Sebuah harapan bisa terwujud apabila tak hanya diingat dalam angan, tapi juga dilukis dan dituliskan agar bisa dijadikan motivasi.
Untuk itulah atas dasar kecintaan pada buku, membaca dan menulis, dan atas nama harapan untuk kemajuan desa, maka sebuah harapan muncul dari hatiku untuk membangun sebuah perpustakaan.
Tak hanya perpustakaan yang seperti umumnya, tapi harus punya kelebihan. Dan bentuk bangunan harus menarik minat seseorang untuk memasukinya, maka saya impikan bangunan berbentuk buku yang tertumpuk tiga. Bangunan tiga lantai ini adalah harapan indah untukku. Harus yakin terwujud.
Sketsa kasar di atas adalah sebuah harapn.
(Sumber gambar taman : diunduh dari internet)

TRAGEDI SORE

Saat tiba kehancuran ini

Melihat tenang yang terbujuk

Melangkah kecil, pergi

Untuk kemudian aku juga menjauh

Dalam sujud ada petir

Tangis mendobrak dan mengiris

“Tenanglah, Nak.

Dari sini sekuntum cinta akan selalu kami berikan.”

03092014

Puisi di atas saya beri judul "Tragedi Sore" yang saya tulis dalam perjalanan sesaat setelah pergi meninggalkan Reri untuk bekerja.
Ada rasa sedih ketika seorang ayah harus pergi meninggalkan anaknya yang baru berusia 3 tahun di rumah kakeknya. Sementara sang bunda belum bisa pulang, karena kami, ayah dan bundanya harus bekerja ke kota.
Sebenarnya sudah kami sudah berjanji pada pengasuhnya untuk merawat anak kami selama kami bekerja. Namun kakeknya ingin juga merawat sang cucu. Makanya selain ingin memberi pekerjaan pada pengasuhnya, kami ingin ada yang fokus untuk menjaganya saja.
Bagi kami, bukannya tidak suka anak kami diasuh kakek-neneknya. Hanya saja mereka sudah merawat cucunya yang lain dengan usia yang sama dengan Reri. Bukankah itu akan sangat merepotkan?
Sesaat sebelum saya kembali bekerja, Reri dibujuk kakeknya untuk diajak jalan-jalan. Reri sebelumnya berkali-kali mengatakan, "ikut ayah."
Mendengar ucapannya itu, hati saya terharu. Tapi setelah sekian lama, saya tak mendengar suaranya. Saya berlari keluar rumah dan ternyata dari kejauhan Reri berjalan kecil terbujuk oleh ajakan kakeknya.
Dalam sholat asar, tak terasa butir-buti air menetes di ujung mata saya mengingat Reri. Seakan ada rasa dipisahkan dengan anak.
Saya kuatkan hati, untuk kemudian juga pergi ke kota membawa keperihan terbujuknya Reri. Dan kemudian sebuah janji terucap,“Tenanglah, Nak. Dari sini sekuntum cinta akan selalu kami berikan.”

Apa yang saya rasakan mungkin tidak terjadi pada semua ayah di seluruh dunia, tapi pergi meninggalkan anak tanpa pamit (atau dalam bahasa jawa : nilapke) merupakan sebuah tragedi, sebab saya tak setuju dengan perbuatan itu. Seakan-akan memberi pelajaran berbohong pada anak. Hal itu tentu akan selalu diingat sang anak. Lebih baik pamit biarpun anak nangis daripada memberi pelajaran kebohongan.
Itu pendapat saya.

SIAPAPUN BISA SUKSES

INSPIRASI PAGI


Solo, 18/04/2014
Baru saja di kantor kedatangan teman yang dulu sempat jadi teman kerja. Saat masih satu kantor di SMA ini, dia bertugas menjaga kebersihan dan konsumsi. Karena kemampuannya di bidang elektronik, dia sering diminta memperbaiki kipas angin, pompa air atau lampu. Dia sering mengantar printer atau komputer kantor yang rusak ke tempat servis dan pernah seorang guru memintanya memperbaiki mobil remot mainan anaknya untuk diperbaiki, semua berhasil diperbaikinya. 
Kemudian beberapa bulan yang lalu dia keluar dan kabarnya pindah kerja di pabrik. Namun saat dia datang hari ini, saya tanyakan kegiatannya sekarang, diapun menjawab bahwa dia sekarang bekerja di Bandara Adisumarmo Solo sebagai bagian dari karyawan yang bertugas memperbaiki elemen pesawat terbang yang rusak. Diapun sering melanglang nusantara, dari bandara satu ke bandara yang lain. 
Luar biasanya dia tidak melamar kerja, tapi diminta untuk kerja disana.Pendidikannya pun sama dengan saya, tidak tinggi, namun Dia mampu memaksimalkan kemampuanya dalam bidang elektronik. Satu pelajaran yang bisa saya ambil, apapun pendidikan kita, jika kita mampu mengembangkan potensi yang ada pada diri kita secara maksimal dan ikhlas, kita akan mampu mendapatkan hasilnya, bahkan mungkin kita mampu menggenggam dunia!

SPG JUGA MANUSIA

Solo (September 2014)

Di sebuah mall di Solo ketika waktu sudah menapaki malam. Seorang wanita cantik berdiri di depan sebuah stand pakaian. Jelas dia adalah seorang SPG. Tak ada yang aneh memang. Sebagian orang mungkin akan memandang sebelah mata padanya, dan sebagian lagi memandang dengan mata penuh, mungkin karena apa yang dipakainya.
Dan saya melihat dari sudut pandang yang lain. Karena sebuah sebab. Dia wanita dan tentunya calon ibu, bisa jelas terlihat dari keadaannya yang hamil, perutnya membesar dibalut pakaian ketatnya.
Apa yang bisa diambil darinya? Sekali lagi kita lihat dari sudut pandang yang lain. Dengan keadaan seperti itu, dia tetap bekerja, berdiri sepanjang jam dengan beban di perutnya. Bekerja tak kenal waktu demi mendapatkan uang untuk persalinannya kelak. Ini demi siapa? Demi calon bayinya. Tak usah bertanya kemana suaminya. Lagi-lagi kita lihat dari jendela lain yang terbuka.
Ada sisi yang hancur dari sebuah kemanusiaan ketika melihat itu. Mungkin ada yang menghujat dan memicingkan mata padanya. Tapi mereka memberi solusi apa? Mereka memberi makan dia? Ah jangan harap. Semoga ada pelajaran yang bisa diambil dari semangatnya dan tahan ujinya seorang SPG.

SANG BIDADARI SURGA

TUTI ANGGRAINI

Kehidupan itu akan terus berjalan dan meninggalkan peristiwa masa lalu yang ditinggalkan. Kehidupan itu akan terus berubah sesuai dengan perubahan yang kita inginkan. Satu-satunya yang tetap adalah perubahan itu sendiri.
Aku, merasa perubahanku yang mengubah segala sikap berontakku dimulai tahun 2009. Perubahan yang bercabang menjadi dua sisi, hitam dan putih. Sisi hitam yang kini ingin kuputihkan lagi adalah berhentinya aku menulis. Sedangkan sisi putihnya adalah aku mencoba meniti kehidupan yang harus baru, meniti jalan untuk menikah.
Aku mengenalnya sebagai wanita kota yang sederhana, seorang yang hidup di kota tapi ternyata berasal dari tetangga desa dimana saya tinggal.
“Miracle..” ya, sebuah keajaiban karena pertemuan kami, karena meski berharap bertemu, tapi jarak yang membuatku ragu akan pertemuan itu. Dia di Jakarta dan rumahnya di Palembang, sementara saya di ujung timur Jawa Tengah.
Tapi keajaiban itu terwujud di bulan September 2009 menjelang Hari Raya Idul Adha, saat orang-orang membuat kabar saya ditingggal menikah kekasih. Haha, saya tertawa mengingat kabar burung itu, saya tahu Desa saya, dan saya tak peduli kabar tak benar itu.
Maka saya tetap melangkah menuju tempat pertemuan dengan perempuan sederhana yang telah dijanjikan di rumah neneknya tepat di sebelah timur desa saya. Dia ditemani pamannya yang sedang bekerja diteras rumah neneknya.
Pertama melihat, jauh dari apa yang saya bayangkan sebagai perempuan kota, jauh bagaikan lagit dan bumi. Selama ini gadis-gadis kota yang saya lihat adalah seperti dalam televisi dengan pakaian ketat dan polesan make up di sekujur tubuhnya. Tapi ini jauh sekali dari itu, dia sangat sederhana, dengan rambut panjang yang diikat sederhana, dengan rok panjang mendekat telapak kaki. Wow, amazing...
Ada pertemuan pertama, ada juga pertemuan kedua. Sehari setelahnya dia datang ke rumahku diantar pamannya yang ternyata telah berteman lama dengan bapakku. Dan kalau diurutkan ke atas, dia ternyata masih ada hubungan keluarga dengan nenek buyutku. Pertemuan di senja itu adalah juga perpisahan, setidaknya untuk sementara waktu, karena esoknya setelah sholat idul adha, dia kembali ke Jakarta, tempatnya bekerja.
Harapan untuk bertemu lagi tentu saja sangat sulit, sampai kakak babpkku mengenalkan aku pada seorang gadis yang berprofesi sebagai guru di Jawa Timur. Sayapun tak menolak untuk dikenalkan, apa salahnya berkenalan?
Beberapa kali pertemuan, yang membuat saya ada di dua pilihan, wanita sederhana itu atau wanita yang sebagai guru?
Tapi memang pertanyaan ada jawabnya. Guru itu menentukan pilihan pada anggota TNI yang bertugas di Jawa Barat. Maka telah terjawablah pertanyaanku. Kemudian akhir tahun 2009, gadis yang kukenal sebagai Tuti Anggraini itu berkunjung kembali ke rumah neneknya bersama seluruh keluarganya di palembang, lengkap dengan ayah dan ibunya. Sayapun memberanikan diri untuk bertemu, berkenalan dengan keluarga besarnya.
Gugup, keringat dingin, deg-degan campur aduk yang saya rasakan, apalagi saya duduk tepat di samping ayahnya. Obrolan-obrolan kecil muncul. Dalam pertemuan itu setidaknya mereka tahu bahwa saya berani untuk bertatap muka dengan mereka.
Lagi-lagi tanpa diduga, awal Januari 2010 orang tua saya memberitahu saya bahwa mereka akan melamar gadis Palembang itu untuk menikah dengan saya. Lamaran itu dilakukan melalui budhe saya yang tinggal di Palembang.
Tak bisa saya jawab. Saat itu saya antara yakin dan tidak dengan pernikahan saya. Segala bimbang muncul bertubi-tubi sehingga membuat saya nampak seperti remaja yang teramat labil.
Benar saja, budhe saya mengabarkan telah melamar dan diterima. Pernikahan dilaksanakan lima bulan lagi, itu berarti Mei 2010.
Kelabilan saya yang membuat calon istri saya sering menangis karena saya. Saya masih ragu dengan pernikahan, dengan calon saya, dengan jarak yang teramat jauh, dengan kehidupan setelah nikah, dengan semuanya.
Sayapun sempat terjerumus dalam jalan yang salah, minuman keras. Dunia terasa hitam semuanya, menghibur diri dengan berbagai kesenangan asal bisa tertawa..
Sampai akhirnya saya membaca sebuah hadits kalau mengkonsumsi minuman keras, maka empat puluh hari sholatnya tidak diterima. Saya sempat berfikir, bagaimana dalam jarak empat puluh hari itu saya mati? Mati dalam keadaan sholat yang tidak diterma...
Mencoba sadar, mengucap istighfar. Tapi saya tetap sholat, biarlah tidak diterima, tapi saya mencoba meminta maaf pada-Nya. Mungkin setelah empat puluh hari saya terbangun dari tidur di malam hari, saya melakukan sholat tahajud, kemudian sholat hajat dilanjutkan sholat istikharoh. Agar saya dikuatkan hati saya, kalau memang dia adalah jodoh yang telah ditakdirkan untuk menikah dengan saya, saya mohon dihilangkan keraguan saya, diyakinkan lebih pada hati saya.
Pagi harinya saya menonton TV, acara yang diperlihatkan liputan tentang Palembang. Biasa saja, yang menjadi tidak biasa adalah dalam sehari itu tiap kali melihat TV acaranya selalu berhubungan dengan Palembang, entah jembatan Ampera, entah sejarah Palembang, entang kuliner Palembang, selalu ada.
Hari berikutnya, meski tak sesering kemarin, berita tentang palembang tetap ada. Kemudian saya berfikir, apakah ini jawaban dari istikharoh saya kalau jodoh saya adalah gadis Palembang itu? Mungkinkah jawabannya melalui televisi, tak adakah jawaban yang lebih dalam lagi?
Saya tetap bimbang, tetap membuat calon istri saya menangis, tetap membuat sakit hati calon istri saya, sikap yang kini kusesali. Tapi saya ingat, tiap kali saya menghadapi masalah saya selalu ingin bercerita melalui telepon pada calon istri saya, selalu. Antara Januari sampai Mei 2010. Mungkin itu sebuah jawaban dari istikharoh saya lagi.
Sampai akhirnya bulanpun memasuki bulan Mei. Tanggal 23 Mei, saya harus menuju Palembang, untuk menikah pada 28 Mei 2010.
Bersama nenek dan paman calon istri saya, bersama budhe saya yang tinggal di Ponorogo, saya naik bis dan menyeberangi selat Sunda menuju Palembang. Ada kejadian yang bagi sebagian orang dianggap berhubungan dengan mistis.
Kejadiannya dalah mogoknya bis yang saya tumpangi berkali-kali padahal kata sopirnya bis itu bis yang baru, mogok pertama di Salatiga, karena kabel AC putus, mogok kedua di Semarang, kemudian mogok ketiga di Jawa Barat, mungkin Ciamis atau daerah lain, saya lupa. Tiap mogok waktu yang dibutuhkan untuk kembali jalan cukup lama. Sayapun sampai bosan makan bekal saya, keripik tahu. Kemudian masuk ke kapal, di dalam kapal kembali bis bermasalah dengan AC, setelah menyeberang, bis mogok lagi di Lampung. Di sini rumor beredar, ternyata di dalam bis selain saya yang akan menikah, ternyata ada tiga calon mempelai lagi yang akan menikah menumpang bis itu. Inilah yang menjadi mitos, bis tidak kuat dengan aura calon pengantin. Senyum kecil saya mendengarnya. Rumor yang berdar yang lain adalah kenek bis membawa jimat berupa keris. Percaya?
Sampaidi pull bis di Lampung, kami penumpang oper bis. Akhirnya sampai di Palembang Molor satu hari, rencana sampai Palembang tanggal 25 pagi, harus ditempuh sampai tanggal 26 Sore. Padahal besoknya saya harus akad nikah. Saya dan budhe saya menginap di rumah budhe Palembang. Masalah selesai? Tidak, ternyata setelah saya cek perlengkapan saya, baju yang akan saya kenakan untuk akad nikah ketinggalan di rumah, di Wonogiri, sementara saya hanya membawa satu baju ganti yang sangat tidak pantas untuk dikenakan melaksanakan akad nikah. Akhirnya saya minta tolong pada kakak sepupu saya untuk membelikan baju berwarna hijau muda sesuai dengan baju yang ketinggalan.
Selesai? Masih belum, saya tidak membawa peci atau kopiah. Tepatnya tidak punya dan tidak memiliki niat untuk beli untuk akad nikah, saya berniat akad nikah tidak memakai peci, biar beda. Ternyata salah, karena kebiasaan di Palembang, akad nikah adatnya memakai kopiah. Untungnya suami budhe saya memiliki banyak koleksi kopiah, padahal keluarga budhe saya bukan muslim, salut saya. Pluralisme Indonesia harus terus dijaga. Sayapun diberi satu yang pas saya kenakan.          
Setelah itu saya dikasih tahu cara mengucap akad nikah. Paginya jam sembilan saya berangkat ke tempat akad nikah di rumah calon istri saya. Antara lupa dan ingat dengan wajah calon saya, rasa bimbang masih ada meski sedikit demi sedikit mulai terhapus. Harus dijalani, harus, mantapkan hati.
28 Mei 2010, jam 08.00 WIB di Bukit Sangkal, Kalidoni, Palembang

“Saya terima nikahnya Tuti Anggraini binti Slamet dengan maskawin tersebut dibayar tunai.”
Setelah sempat molor satu jam, dengan mahar uang tunai sebesar duaratus delapanpuluh ribu lima ratus sepuluh rupiah, akad nikah berjalan lancar, saya tidak mengulangi kalimat akad nikah. Sebuah prestasi, karena kata penghulunya tidak semua orang yang pernah dinikahkannya lancar mengucap akad nikah, meski Cuma sedikit, meski dengan membaca.
Istri saya keluar dari kamar untuk menandatangi buku nikah, saya pegang tangannya untuk memasukkan cincin kawin yang terukir nama saya, sayapun memiliki cincin kawin yang terukir namanya.
Pernikahan hari Jum’at, 28 Mei 2010 itu hari dimana saya sudah benar-beran yakin bahwa dia adalah istri saya, pendamping hidup saya, sahabat sejati saya, dan bidadari surga saya.
“Demi Allah, saya mencintaimu, istriku.” Kata yang terucap dalam hati saya..
Dan saya sholat jum’at bersama ayah mertua saya.

SANG BUAH HATI

ARDHANARESWARI

"Ardhanareswari," jawabku ketika ada keluarga yang menanyakan nama putri kecil kami ketika itu hari Jum'at, 27 Mei 2011 jam 09.15 WIB.
***
Sembilan bulan sebelumnya, saat itu selepas maghrib, di dalam kamar kos kecil dengan kasur yang teramat tipis, istriku memberitahu kalau dia hamil. Jelas saja saya kaget, makanya saat itu saya hanya diam dengan berbagai pikiran berkecamuk di otakku, antara seneng dan terkejut. Seneng karena tak semua orang bisa mendapatkan anugerah yang sebesar ini, dan tak semua orang dipercaya Sang Raja Manusia dipercaya untuk memiliki buah hati. Terkejut karena tak menyangka akan secepat ini, 3 bulan setelah pernikahan kami.
Sejak saat itu kami rutin memeriksakan kehamilan ke dokter yang direkomendasikan teman istri saya di daerah Pasar Gede, Solo. Tiap 2 minggu sekitar jam 7 malam kami periksa dengan mengantri lewat telepon siang harinya, setelah periksa kami harus menebus obat dari resep dokter ke apotek di daerah Pasar Kembang, Solo.
Kami lihat perkembangan janin dari foto USG, dari kecil, tidak nampak, sampai terbentuk wujudnya dengan terlihat jari tangan, jari kaki dan bergerak menendang nampak diperut istriku. Kumpulan foto-foto USG itu kami kumpulkan dalam sebuah album foto untuk kenangan tentang anak pertama kami, Sekitar 6 / 7 bulan dokter mengatakan kalau anak kami kemungkinan lahir sebagai perempuan. Bahagia kami akan memiliki putri.
Ketika periksa tak seluruhnya lancar, banyak kendala, awal-awal periksakami belum mengetahui kalau periksa kebanyakan antri dulu dari telepon siang harinya, antara marah dan sebel kami datang paling awal sekitar jam 7, ada pasien datang lebih lambat dari kami malah dipanggil untuk periksa lebih dulu dari kami. Saya kasihan dengan istri saya yang harus menunggu lama dalam keadaan hamil, ternyata pasien itu sudah daftar duluan siang harinya. Setelah itu kami baru tahu kalau periksa, ambil nomer antrian dulu melalui telepon. Pernah juga kami periksa dalam keadaan hujan lebat. kami pulang periksa sekitar jam 10 malam, hujan dari jam 7 belum juga reda bahkan makin lebat, kami memutuskan nekat dengan mengenakan mantel hujan mengendarai motor. Saya harus menjalankan motor dengan teramat pelan, karena ada istri saya yang sedang hamil. Akhirnya kami sampai di kos dengan basah kuyup. Perjuangan menjaga calon putri pertama kami.
Pukulan keras, ketika hari-hari menjelang kelahiran kami diberitahu ketika periksa bahwa putri kami terlilit tali pusar. Sedih banget saat itu, tapi sang dokter menenangkan hati kami kalau ada kemungkinan bisa terlepas ketika akan melahirkan. 
Kami ingin kelahiran putri kami normal, seperti kebanyakan ibu yang lain, istri saya ingin melahirkan secara normal,maka ketika ada kabar seperti itu, kami sedih,kami tak berharap kelahiran cesar.
Sepuluh hari menjelang kelahiran, kami sekali lagi memeriksakan kandungan istri saya ke rumah sakit tempat dokter yang biasa tempat kami periksa. Ternyata masih terlilit tali pusar.
Sampai akhirnya istri saya mengambil cuti dari tempat kerjanya, cuti melahirkan. Kami pulang ke Desa, berhari-hari tanda-tanda akan melahirkan tidak ada sampai duahari menjelang Hari Perkiraan Lahir, kami periksakan kembali kandungan istri saya ke dokter di wilayah Ponorogo dengan diantar oleh ayah dan ibu saya. Lagi-lagi kondisi janin tidak berubah, berarti kelahiran harus dengan cara operasi.
Satu hari sebelum hari ulang tahun pernikahan kami, kami kembali ke Ponorogo untuk kelahiran calon putri kami diantar oleh keluarga saya lagi. Sedangkan biaya yang harus dikeluarkan melebihi tabungan kami yang rencananya hanya untuk kelahiran normal. Bingung, itu pasti, hanya berdoa kepada-Nya kami memohon untuk dilancarkan semuanya. Akhirnya ada bantuan dari orang tua kami.
Jelang kelahiran, istri saya masuk ruang operasi dengan sedikit ganjalan,perilaku para perawat di Rumah Bersalin itu layaknya ibu tiri yang sadis, kejam dan merampas hak para pasien.
"Gini aja berteriak kesakitan, apalagi kalau lahir normal!"bentak perawat itu dengan wajah yang kejam tanpa kelembutan sedikitpun.
Detik-detikkelahiran, sekitar jam 09.00 pagi saya disuruh menunggu diluar ruang operasi, padahal saya ingin menemani istri saya. Saya telepon ayah dan ibu mertua saya,memohon doa untuk kelancaran semuanya, tapi tidak tersambung. Setelah menunggu agaklama, akhirnya telepon saya diangkat oleh ibu, tetes air mata saya memohon doa pada ibu. Setelah disuruh menunggu diluar ruang,akhirnya saya hanya menunggu di luar ruang, dengan Al-Qur'an saku, saya membaca ayat-ayat suci sambil berdoa untuk keselamatan istri saya dan calon anak kami, masih belum ada kabar dari dalam ruang, saya memutuskan untuk sholat dhuha dimushola Rumah Bersalin itu, dua rakaat kemudian dzikir, istighfar, shalawat memohon kemurahanNya untuk kelancaran persalinan istri saya. Setelah itu saya kembali ke depan ruang operasi dan membaca Al-Qur'an lagi.


Tak lama berselang, perawat galak keluar menggendong bayi mungil dan memanggil nama saya. Itulan anak kami,perawat kejam itu membawa anak kami ke ruangan khusus, saya mengikutinya untuk mengadzani. di sana saya pertama kami melihat putri kami, saya kumandangkan adzan, matanya seakan menatap saya, bening, cantik. "Semoga kau menjadi wanitah sholihah, nak," ucapku dalam hati.
Kemudian saya kembali ke ruang operasi,membantu istri saya yang masih lemah untuk dipindahkan ke ruang lain, dari hidungnya masih terpasang selang oksigen, dia nampak tidak sadarkan diri. Setelah beberapa lama,dia merasa dingin, tangan dan kakinya bergetar kedinginan, saya pegang mencoba untuk menghangatkan, sambil terus saya ajak bicara, saya tidak mau dia tertidur.
Setelah semua tenang,hati kami berbinar bahagia mengucap Hamdalah berkali-kali, bersyukur atas karunianya Meski dengan ganjalan di hati atas perilaku perawat-perawat itu.
Telepon dari orang tua kami di Palembang menunjukkan kebahagiaan.
"Ardhanareswari," jawabku ketika ada keluarga yang menanyakan nama putri kecil kami ketika itu hari Jum'at, 27 Mei 2011 jam 09.15 WIB.
"Jadilah pribadi yang berbakti, cerdas dan berprestasi"

MENULIS ADALAH HASRATKU

Ya, menulis sejak tahun 1997 ketika saya masih sangat remaja sekali, ketika orang lain menyebut masa SMA adalah sebagai masa yang indah karena dapat bebas meluapkan masa remajanya, yang kebanyakan dilepaskan dengan lepas kendali. Tapi saya tidak bisa, saya menjalani masa SMA di sebuah pesantren dengan pengawasan yang ketat dan disiplin yang tinggi, jadi apa yang harus kuluapkan? Apalagi dengan lepas kendali?
Maka saya menulis. Pertama saya menulis adalah resensi film yang pernah saya tonton, menulis dengan buku tulis dan pulpen. Tulisan keduaku adalah novel, saat itu sedang booming novel dan film laga. Dan akupun menulis tanpa bantuan komputer, hanya buku tulis dan pulpen aku mulai novel pertamaku dengan tema laga, dengan jagoan bersenjata golok.
Tulisan keduaku masih berupa novel, kali ini bersetting padang pasir, mungkin di Afrika atau Timur Tengah. Kisahnya tentang rombongan Antropolog yang menjelajahi padang pasir untuk sebuah penelitian. Dan  karena suatu sebab, rombongan ilmuwan itu tersesat karena kendaraan yang ditumpanginya mengalami kecelakaan. Satu persatu para ilmuwan itu tak dapat bertahan di ganasnya padang pasir dan meninggal di situ. Dan menyisakan satu orang ilmuwan yang masih berusaha bertahan hidup di padang pasir dengan segala keterbatasannya. Hingga beberapa minggu kemudian ada kecelakaan pesawat kecil yang jatuh di padang pasir itu. Ada korban selamat dan akhirnya berteman dengan ilmuwan itu. Endingnya mereka berdua diselamatkan oleh sebuah pencarian. Yang aku merasa suka dengan novel ini, ternyata setelahnya ada film yang ceritanya mirip dengan novel keduaku itu dan filme itu mendapatkan piala Oscar.
Tulisan ketiga masih berupa novel dengan buku tulis. Bercerita tentang sekawanan anak SMP yang berkemah di alas roban, kemudian tanpa sengaja mendapati sebuah rumah di tengah hutan yang dijadikan markas oleh para gembong narkoba. Sekawanan anak SMP itu berusaha membongkar pelanggaran hukum para gembong narkoba itu dan rela berkorban apapu, disekap oleh mereka. Sampai akhirnya salah seorang remaja itu bisa keluar hutan dan melaporkan apa yang dilihat kepada polisi. Kemudian sekawanan anak SMP ini menyatakan diri sebagai kelompok detektif kecil.
Tulisan keempat adalah sekuel dari detektif cilik. Karena jasanya membongkar gembong narkoba, mereka mendapat beasiswa sekolah ke Australia. Di sana mereka juga membongkar kasus pembunuhan yang sangat berbelit-belit. Tapi novel ini tidak selesai...
Yang menjadi penyesalan adalah saya kehilangan semua tulisan-tulisan pertama saya itu.
Tulisan kelima berupa novel berjudul Hidup. Tulisan ini yang pertama kali dipublikasikan. Cerpen ini dimuat di buletin Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta “Ayyada.”
            Tahun 2000 aku mulai menulis beberapa cerpen dan tahun 2004 aku mengikuti kursus jurnalistik jarak jauh di LPWI (Lembaga Pendidikan Wartawan Indonesia) Ummul Quro, Purwodadi. Saya lulus dan mendapat kesempatan magang sebagai wartawan di sebuah koran mingguan di Jawa Timur. Saya dibekali ID Card Pers yang berlaku selama enam bulan. Tapi kesempatan magang itu tidak saya ambil mengingat jarak yang jauh dari tempat tinggal saya.
            Sayapun masih aktif dengan tulisan cerpen-cerpen, kemudian awal tahun 2005 saya bergabung dengan FLP (Forum Lingkar Pena) Soloraya dengan mengikuti pelatihan yang diadakan FLP, saya mengambil kelas menulis Fiksi. Beberapa cerpen saya masuk nominasi untuk dibahas dalam forum bahas karya FLP. Sebuah kebanggaan...
            Agustus tahun 2006 Cerpen saya dimuat di Harian Solo Pos, bangga dan sangat bahagia sekali. Cerpen remaja yang mengangkat tema kebijakan Ujian Nasional yang dirasa tidak adil. Kurang lebih sebuan kemudian honor cerpen turun. Inilah yang saya maksud menikmati proses mengesampingkan hasil. Saya menikmati proses menulis saya tanpa bermimpi untuk apa tulisan saya.
            Sebulan kemudian cerpen kedua saya kembali dimuat di Solo Pos, cerpen berjudul Edan. Dan serasa gila juga karena dalam satu dua bulan sebagai penulis pemula dua cerpen masuk media massa.
            Kemudian tahun 2007, saya dihubungi ketua FLP Solo untuk mengirimkan beberapa cerpen saya untuk diikutkan dalam lomba menulis cerpen.
            Alhamdulillah, cerpen saya masuk 10 besar dan berhak dimuat dalam buku Antologi Cerpen 10 Cerpenis Jawa Tengah. Sesuatu tak terduga, sama tak terduganya ketika launching buku itu saya ditunjuk maju ke depan untuk membacakan cerpen saya. Karena saya tak menduga dan teramat sangat gugup, akhirnya saya meminta diwakilkan oleh salah seorang mentor saya di FLP, salah sata inspirator saya di FLP, seorang kartunis, cerpenis NasSirun Purwokartun atau biasa kami panggil Kang NasS.
            Setelah itu tidak tahu mengapa, saya vakum menulis, entah karena punya kesibukan lain, membantu orang tua di usaha percetakannya, masuk menjadi honorer sebagai staf Tata Usaha di sebuah SMP, atau karena yang lain? Entahlah, tapi masa vakum menulis itu yang tidak saya suka, tapi saya jalani.
            Dan 2013, saya kembali menulis. Saya mengirimkan tcerpen lama saya ke Majalah Serambi Al-Muayyad dan dimuat pada bulan Agustus 2013.
Tapi tulisan pertama saya setelah vakum sekian lama adalah terinspirasi dari istri dan anak perempuan kami yang masih dua tahun dengan seorang ibu pemulung dengan dua anak balitanya yang memulung dimalam hari. Yang mengais sampah di tempat sampah warga.. Pengalaman inspiratif ini saya tulis dalam sebuah cerpen berjudul “Lebaran Reri” yang dimuat di Majalah Hadila September 2013.
Kemudian saya mencoba mengumpulkan cerpen-cerpen saya juga satu novel saya untuk saya terbitkan sendiri, self publisher melalui www.nulisbuku.com.
Semoga Februari 2014 ini buku-buku saya itu bisa terbit. Sekarang saya kembali memulai menulis dan menikmati proses menulis novel saya.
Semoga bisa bermanfaat, selayaknya cahaya bulan sabit, tetap bercahaya meski tak purnama.

REUNI AL-MUAYYAD '98

PADA SEBUAH REUNI KECIL

Solo (31/01/2014) Malam Khataman dan Haul pendiri pondok pesantren Al-Muayyad pasti akan dihadiri banyak orang. Termasuk para alumninya. Di acara itu, digunakan juga sebagai ajang reuni. Karena jika bukan di sana, sangat sulit mengadakan reuni pada waktu yang dibuat sendiri.
Seperti alumni lulusan SMA/MA Al-Muayyad 1998, biasanya bertempat di rumah salah satu alumni, Hamid Kusnanto yangletak rumahnya di sebelah timur pondok. Sebagai transit, pemilik rumah sangat wellcome dan para teman-teman sangat terbantu dengan tempat tinggal Hamid yang ada di sana.
Pada khataman tahun ini alumni yang hadir di sana, selain Hamid ada Nurdi, Zamroni, Huda, Arif, Fajar dan satu lagi Adi Saman rela hadir hanya untuk khataman itu dari Bengkulu. Zamroni juga jauh-jauh dari Pekalongan. Salut untuk semangat mereka.
Mendengar teman-teman cewek, seperti Fitri yang ternyata anaknya sudah SMP dan juga bersekolah di Al-Muayyad, juga Leina. Tak terasa, ternyata sudah 16 tahun saya lulus dari sana. Usia memang terus berjalan. Dan masih saja masa muda kembali ketika bertemu dengan teman-teman seangkatan.
Sayangnya saya tidak bisa melepas rindu pada teman-teman hingga akhir babak karena sesuatu hal yang membuatku harus pulang, padahal masih seru. Mohon maaf untuk hal tersebut.
Ada kecewa dan sedih yang saya rasakan karena pertemuan setahun sekali ini harus terpenggal. Ada sebuah harap dimana suatu saat ada waktu yang sama lagi.
Semoga...

LIRIK PUISI DAN CHORD

PUISI UNTUK RERI

Puisi yang saya tulis untuk putri kecil saya RERI di bikin lagu oleh seorang teman yang juga penulis Yuditeha. Gambar di atas adalah kunci gitar untuk melantunkannya.