Sunday, November 29, 2015

SANG BUAH HATI

ARDHANARESWARI

"Ardhanareswari," jawabku ketika ada keluarga yang menanyakan nama putri kecil kami ketika itu hari Jum'at, 27 Mei 2011 jam 09.15 WIB.
***
Sembilan bulan sebelumnya, saat itu selepas maghrib, di dalam kamar kos kecil dengan kasur yang teramat tipis, istriku memberitahu kalau dia hamil. Jelas saja saya kaget, makanya saat itu saya hanya diam dengan berbagai pikiran berkecamuk di otakku, antara seneng dan terkejut. Seneng karena tak semua orang bisa mendapatkan anugerah yang sebesar ini, dan tak semua orang dipercaya Sang Raja Manusia dipercaya untuk memiliki buah hati. Terkejut karena tak menyangka akan secepat ini, 3 bulan setelah pernikahan kami.
Sejak saat itu kami rutin memeriksakan kehamilan ke dokter yang direkomendasikan teman istri saya di daerah Pasar Gede, Solo. Tiap 2 minggu sekitar jam 7 malam kami periksa dengan mengantri lewat telepon siang harinya, setelah periksa kami harus menebus obat dari resep dokter ke apotek di daerah Pasar Kembang, Solo.
Kami lihat perkembangan janin dari foto USG, dari kecil, tidak nampak, sampai terbentuk wujudnya dengan terlihat jari tangan, jari kaki dan bergerak menendang nampak diperut istriku. Kumpulan foto-foto USG itu kami kumpulkan dalam sebuah album foto untuk kenangan tentang anak pertama kami, Sekitar 6 / 7 bulan dokter mengatakan kalau anak kami kemungkinan lahir sebagai perempuan. Bahagia kami akan memiliki putri.
Ketika periksa tak seluruhnya lancar, banyak kendala, awal-awal periksakami belum mengetahui kalau periksa kebanyakan antri dulu dari telepon siang harinya, antara marah dan sebel kami datang paling awal sekitar jam 7, ada pasien datang lebih lambat dari kami malah dipanggil untuk periksa lebih dulu dari kami. Saya kasihan dengan istri saya yang harus menunggu lama dalam keadaan hamil, ternyata pasien itu sudah daftar duluan siang harinya. Setelah itu kami baru tahu kalau periksa, ambil nomer antrian dulu melalui telepon. Pernah juga kami periksa dalam keadaan hujan lebat. kami pulang periksa sekitar jam 10 malam, hujan dari jam 7 belum juga reda bahkan makin lebat, kami memutuskan nekat dengan mengenakan mantel hujan mengendarai motor. Saya harus menjalankan motor dengan teramat pelan, karena ada istri saya yang sedang hamil. Akhirnya kami sampai di kos dengan basah kuyup. Perjuangan menjaga calon putri pertama kami.
Pukulan keras, ketika hari-hari menjelang kelahiran kami diberitahu ketika periksa bahwa putri kami terlilit tali pusar. Sedih banget saat itu, tapi sang dokter menenangkan hati kami kalau ada kemungkinan bisa terlepas ketika akan melahirkan. 
Kami ingin kelahiran putri kami normal, seperti kebanyakan ibu yang lain, istri saya ingin melahirkan secara normal,maka ketika ada kabar seperti itu, kami sedih,kami tak berharap kelahiran cesar.
Sepuluh hari menjelang kelahiran, kami sekali lagi memeriksakan kandungan istri saya ke rumah sakit tempat dokter yang biasa tempat kami periksa. Ternyata masih terlilit tali pusar.
Sampai akhirnya istri saya mengambil cuti dari tempat kerjanya, cuti melahirkan. Kami pulang ke Desa, berhari-hari tanda-tanda akan melahirkan tidak ada sampai duahari menjelang Hari Perkiraan Lahir, kami periksakan kembali kandungan istri saya ke dokter di wilayah Ponorogo dengan diantar oleh ayah dan ibu saya. Lagi-lagi kondisi janin tidak berubah, berarti kelahiran harus dengan cara operasi.
Satu hari sebelum hari ulang tahun pernikahan kami, kami kembali ke Ponorogo untuk kelahiran calon putri kami diantar oleh keluarga saya lagi. Sedangkan biaya yang harus dikeluarkan melebihi tabungan kami yang rencananya hanya untuk kelahiran normal. Bingung, itu pasti, hanya berdoa kepada-Nya kami memohon untuk dilancarkan semuanya. Akhirnya ada bantuan dari orang tua kami.
Jelang kelahiran, istri saya masuk ruang operasi dengan sedikit ganjalan,perilaku para perawat di Rumah Bersalin itu layaknya ibu tiri yang sadis, kejam dan merampas hak para pasien.
"Gini aja berteriak kesakitan, apalagi kalau lahir normal!"bentak perawat itu dengan wajah yang kejam tanpa kelembutan sedikitpun.
Detik-detikkelahiran, sekitar jam 09.00 pagi saya disuruh menunggu diluar ruang operasi, padahal saya ingin menemani istri saya. Saya telepon ayah dan ibu mertua saya,memohon doa untuk kelancaran semuanya, tapi tidak tersambung. Setelah menunggu agaklama, akhirnya telepon saya diangkat oleh ibu, tetes air mata saya memohon doa pada ibu. Setelah disuruh menunggu diluar ruang,akhirnya saya hanya menunggu di luar ruang, dengan Al-Qur'an saku, saya membaca ayat-ayat suci sambil berdoa untuk keselamatan istri saya dan calon anak kami, masih belum ada kabar dari dalam ruang, saya memutuskan untuk sholat dhuha dimushola Rumah Bersalin itu, dua rakaat kemudian dzikir, istighfar, shalawat memohon kemurahanNya untuk kelancaran persalinan istri saya. Setelah itu saya kembali ke depan ruang operasi dan membaca Al-Qur'an lagi.


Tak lama berselang, perawat galak keluar menggendong bayi mungil dan memanggil nama saya. Itulan anak kami,perawat kejam itu membawa anak kami ke ruangan khusus, saya mengikutinya untuk mengadzani. di sana saya pertama kami melihat putri kami, saya kumandangkan adzan, matanya seakan menatap saya, bening, cantik. "Semoga kau menjadi wanitah sholihah, nak," ucapku dalam hati.
Kemudian saya kembali ke ruang operasi,membantu istri saya yang masih lemah untuk dipindahkan ke ruang lain, dari hidungnya masih terpasang selang oksigen, dia nampak tidak sadarkan diri. Setelah beberapa lama,dia merasa dingin, tangan dan kakinya bergetar kedinginan, saya pegang mencoba untuk menghangatkan, sambil terus saya ajak bicara, saya tidak mau dia tertidur.
Setelah semua tenang,hati kami berbinar bahagia mengucap Hamdalah berkali-kali, bersyukur atas karunianya Meski dengan ganjalan di hati atas perilaku perawat-perawat itu.
Telepon dari orang tua kami di Palembang menunjukkan kebahagiaan.
"Ardhanareswari," jawabku ketika ada keluarga yang menanyakan nama putri kecil kami ketika itu hari Jum'at, 27 Mei 2011 jam 09.15 WIB.
"Jadilah pribadi yang berbakti, cerdas dan berprestasi"

No comments: