Wednesday, September 2, 2015

#KAMPUSFIKSI 13 (2) : Fil Ma’had #KampusFiksi


Waktu terus berlalu meninggalkan aroma gudeg di Stasiun Tugu. Aku telah duduk di pesantren/boarding school/ma’had #KampusFiksi menikmati sedapnya cita rasa nasi goreng dengan porsi mblenger bersama peserta lain.
Saat itu telah hadir lebih dulu, Maulida Azizah dari Kalimantan, Khusnul Khotimah dari Lombok, NTB, Ginanjar Teguh Iman, Shasmita yang datang diantar ayahnya yang supel dari Malang, juga Iken Widya dari Salatiga yang seorang bankir dan Hidayatur Riyana (mungkin Rihana penyanyi internasional itu nama panjangnya juga Hidayatur Rihana. #Dipaspasin). Mereka, beberapa diantaranya adalah seorang penulis yang telah memiliki karya.
Lalu seiring waktu berjalan, satu persatu peserta lain menyusul hadir, dari Madura Aswari dan si mungil Nur 1 / Mila, serta dari beberapa daerah lain yang masih kuliah di Jogja seperti Patrio dari Toraja (kelak kami tahu budaya Toraja yang wow dan misterius darinya). Juga Bening Ika (aku sudah kenal sebelumnya karena sama-sama anggota FLP Solo) dan Amin Sahri seorang pedagang buku online (makanya dia wawasannya luas) dari Cilacap. Riza Chanifa yang datang bersama suaminya dari Mojokerto, ibu guru Rialita dari Jombang. Serta Munawir, Devy, Farihatun Nafiah, Nur 2 dan Nur 3 (ternyata dia –anggaplah tetangga desaku – berasal dari Sampung Ponorogo. Perbatasan desanya adalah desaku). Sampai genaplah 25 peserta (sebenarnya 24, peserta dari Tangerang mengundurkan diri). Mereka datang tepat sebelum batas waktu yang ditentukan.
Lalu betapa riuhnya 25 orang disatukan dalam sebuah gedung yang tidak terlalu besar namun bersih dan nyaman ditambah beberapa panitia (dan sehari setelahnya datanglah puluhan alumni #KampusFiksi yang telah sukses). Saling bercerita tentang daerahnya atau sekedar sharing tentang kepenulisan, atau hanya ngerumpi tentang K-Pop atau artis.

Tentang Keangkeran Old Trafford di #Kampus Fiksi
Nah, sampai di sinilah aku makin tahun bahwa Rektor #KampusFiksi adalah seorang Manchunian akut. Seperti halnya aku (tapi aku biasa aja, tidak parah-parah banget menggilai Manchester United). Pak Edi, sang rektor itu membuat gedung #KampusFiksi bak stadion Old Trafford, kandang MU yang angker bagi tim lawan, khususnya Liverpool. Keangkeran “Old Trafford” ini terbukti bagi Liverpool saat salah seorang peserta penggemar Liverpool tidak berani mengenakan jersey kesayangannya di gedung ini, hanya berani mengeluarkan handuknya yang bergambar logo Liverpool. Handuk yang dijemur itu berkali-kali jatuh dari jemuran Stadion ini.
Kedua, saat H-1 pelaksanaan #KampusFiksi ini terjadi pertandingan MU vs Swansea dan MU kalah 1-2, fans Liverpool dan Chelsea yang akan bertanding kemudian akan berteriak, “Sukurin!” Maka karma akan segera terjadi tidak lama lagi, dari gedung ini doa Manchunian terkabul. Chelsea kalah 1-2 melawan Crystal Palace dan Liverpool lebih telak lagi, dihajar Westham 0-3.
Nah, betapa angkernya Old Trafford van Bantul ini? Ini tempat yang mustajab (?)

Budaya Indonesia yang Luar Biasa
Salah satu yang menarik di #KampusFiksi adalah cerita-cerita lokalitas pesertanya. Salah satunya tentang adat di Toraja dalam upacara kematian/pemakaman. Memang, sering diberitakan di TV akan kekayaan adat di Toraja, tapi feel-nya baru terasa ketika yang bercerita adalah penduduk Toraja asli, yaitu kawan kami, Patrio Tandiangga. Untuk melakukan upacara pemakaman, warga Toraja asli (belum tersentuh peradaban modern) akan menghabiskan dana lebih dari 100 juta. Kenapa? Karena harus menggunakan kerbau belang + 100 kerbau lain. Harga 1 kerbau belang adalah 100 juta, belum kerbau yang lain. Fantastis!
Toraja makin misterius dengan hidupnya moyang mereka yang telah meninggal dunia. Jenazah-jenazah yang telah dimakamkan dalam goa-goa di gunung (seperti yang diinformasikan di TV) sewaktu-waktu bisa berjalan dengan sendirinya dengan rambut dan kuku yang masih terus tumbuh. (Ah nggak berani nerusin cerita ini. Ngeri).
Pindah pulau ke Lombok, ini yang ringan-ringan saja. Setiap bertemu dengan orang, penduduk di sana memiliki sapaan yang khas, “Mari makan.” Lha bukannya menyapa apa kabar atau yang lain, malah ngajakin makan. Itulah budaya, itulah adat, nggak perlu diperdebatkan. Kita itu kaya, jangan merasa lebih baik dari yang lain. (Halah, ngomong apa ini?).
Oh ya, tentang Lombok ini, selama ini aku telah disesatkan dan penuh bid'ah dari pemikiranku sendiri. Bahwa kata Lombok itu berasal dari cabe yang pedas itu, ternyata bukan. Lomok berasal dari lombo yang berarti lurus. Nah, so pesan moralnya, jangan suka menafsirkan seenakmu sendiri, apapun itu.
Terbang ke Madura (berlayar aja ding), Sumenep tepatnya. Sapaan yang sama juga terjadi di Madura, namun di Madura lebih tragis lagi, setiap tamu yang datang dan, misalnya bilang, “buah kelapamu banyak ya?” Maka sang pemilik rumah akan segera memetik kelapa buat tamunya. Padahal tamu itu tidak minta, hanya karena kekaguman akan tanaman yang banyak buahnya itu. Orang Madura yang senang menjamu tamu, mereka akan menghidangkan makanan, mereka akan mencari makanan demi menyenangkan si tamu. Lalu ketika tawaran makan ditolak si tamu, hati mereka akan sedih, mereka berpikir makanan yang mereka hidangkan tidak enak. Pesan moralnya adalah : Seperti halnya mereka telah menghormatimu, maka hargailah juga orang lain.
Demikian juga tentang Banjar, Kalimantan yang memiliki adat gelang perdamaian/persahabatan. Ah yang ini aku kurang begitu jelas mendengarnya. Lain kali tanya lagi kalau ada waktu ketemu Maulida Azizah.
Kaya ya Indonesia itu?


2 comments:

ercehauliyasari.blogspot.com said...

Ihh... Mas Danang... Handuk Liverpool itu punyakuu... 😭😭
Tapi, keren nih, tulisannya. 👍

DF said...

Iya? Hehe... entahlah, mitos itu... :-)