Friday, May 27, 2016

KERUMITAN YANG MENGHIPNOTIS




Dimuat di Koran Pantura, Jum'at, 27 Mei 2016

Judul               : AGAMA APA YANG PANTAS BAGI POHON-POHON?
Jenis Buku       : Fiksi
Penulis             : Eko Triono
ISBN               : 978-602-391-128-8
Tahun terbit     : April 2016
Tebal               : 260 Halaman
Penerbit           : DIVA Press Yogyakarta


Agama apa yang pantas bagi pohon-pohon? Adalah sebuah pertanyaan yang cukup menyentil yang digunakan sebagai sebuah judul kumpulan kisah-kisah pilihan yang ditulis oleh Eko Triono.
Kisah-kisah dengan gaya yang “nyastra” ini merupakan sekumpulan cerita pendek yang sebagian pernah dimuat di media massa nasional.
Membaca buku ini, kita disugihi oleh kegelisahan dan perenungan dengan kalimat-kalimat yang puitis dan penuh nilai filosofi. Seperti dalam Paradisa Apoda (halaman 61) ; Melamun bukan membuang waktu, melainkan menciptakan waktu; menciptakan jeda untuk memeriksa apa yang sudah kita miliki atau apa yang baru saja hilang, baru saja pergi.
Eko Triono meluaskan sudut pandang dari banyak hal, sehingga tampak bahwa ia seakan memberi nyawa dan kehidupan serta perasaan pada benda-benda yang kita anggap mati. Kau Adalah Gelas (halaman 184) adalah salah satu contohnya. Diberikannya rasa cinta pada sebuah gelas di sebuah kafe kepada pelanggan setianya.
Kalimat-kalimat yang terlihat rumit memberikan pembaca ruang untuk merenung dan memahami pesan yang dibawa sang penulis.
Dalam buku ini terlihat bahwa penulis memiliki wawasan yang cukup luas. Selain sudut pandang yang beragam, terdapat juga cerita rakyat yang digubah dengan begitu manis tanpa mengubah keasliannya dalam kisah Babi Mentah pada Batu Vinunung dan Sebagainya (halaman 196).
Selain itu penulis juga memaparkan tentang pendidikan bahwa lain tempat lain juga pola pendidikannya. Hal itu ditulis dengan setting Papua dalam Ikan Kaleng (halaman 234). Begitu juga kita dibawa berkeliling menuju tempat-tempat asing hingga dunia rekaan yang antah berantah dalam Ghibt, Marco Polo, dan Wabah Bisikan pasir (halaman 77).
Terdapat 31 cerita dalam buku ini, termasuk Agama Apa yang Pantas Bagi Pohon-pohon? (halaman 250) yang bertemakan pernikahan beda agama yang cukup menghipnotis dalam setiap kerumitan masalah. Meski ide dari cerpen ini sederhana, namun karena ditulis dengan pendalaman yang berbeda, jadilah cerpen ini begitu luar biasa. Sama halnya dengan Ernest Hemmingway dalam Lelaki Tua dan Laut, yang juga berangkat dari ide sederhana, namun karena ditulis dengan gaya yang berbeda, jadilah karya sastra itu menjadi sangat menarik.
Agama Apa yang Pantas Bagi Pohon-pohon juga memberikan ilustrasi karya seni rupa yang menarik dalam setiap cerpen-cerpen di dalamnya. Hal ini membuat pembaca semakin masuk ke dalam dunia yang dikendalikan Eko Triono. Meskipun begitu, tiap judul karya sastra ini tidaklah semua berbentuk cerpen. Ada yang lebih cocok disebut puisi, yaitu dalam Namamu (halaman 174).
Seperti yang disebut oleh Edgar Allan Poe bahwa Sastra itu menyenangkan, sebagian lainnya memberikan pelajaran. Karya Eko Triono ini cukup pantas  disebut menyenangkan dan memberikan pelajaran.
Dengan terbitnya buku ini serta buku-buku sejenis, bisa dibilang sebagai pembawa kabar gembira dalam dunia sastra yang terkesan tenggelam.

Penulis Resensi : Danang Febriansyah

Thursday, May 26, 2016

Sunday, May 22, 2016

SEJARAH PENERBITAN

Buku-buku yang di dalamnya ada namaku :
1. Antologi Cerpen Joglo 4 : Cerpenis Terpilih, Taman Budaya Jawa Tengah, 2007
2. Antologi Cerpen Love Never Fails #3, Nulisbuku.com, 2013
3. Antologi Cerpen Joglo 15 : Botol-botol Berisi Senja, Taman Budaya Jawa Tengah, 2014
4. Antologi Cerpen Temukan Warna Hijau, Elex Media Komputindo, 2014
5. Antologi Cerpen FLP Solo : Kereta Ricuh, 2015
6. Antologi Cerpen FLP Solo : Lelaki Fajar, 2015
7. Antologi Puisi Pendhapa 17 : Jendela dari Koloni, Taman Budaya Jawa Tengah, 2015
8. Antologi Puisi Luka-luka Bangsa, Pangaro Media Utama, 2015
9. Novellet Lot & Purple Hole, Elex Media Komputindo, 2015
10. Antologi Puisi #KampusFiksi 13 : Jika Saja Hidup Sesederhana Partikel Atom, #KampusFiksi 13, 2016

Saturday, May 21, 2016

Thursday, May 12, 2016

SALAH ARAH

Dimuat di Solopos, April 2016

            Siang itu Jon Koplo yang berprofesi sebagai seorang guru di sebuah sekolah di Purwantoro, daerah timur Wonogiri baru saja selesai dari seminar di sebuah hotel di Solo. Karena ia tidak membawa kendaraan sendiri, Jon Koplo harus menumpang bis yang menuju Wonogiri timur. Padahal saat menunggu bis di emperan toko, hujan sudah turun.
            Dengan wajah yang kuyu karena lelah mengikuti seminar sejak pagi, dan harus kena tempias hujan, Jon Koplo melamun membayangkan kalau saja ia punya mobil pribadi setelah melihat mobil-mobil yang berlalu lalang di depannya.
            “Wah enak tenan kalau punya mobil sendiri, hujan tidak kehujanan. Panas tidak kepanasan.” Jon Koplo menggumam sendirian.
            Lamunan indahnya itu segera lenyap saat bis datang. Buru-buru Jon Koplo naik ke dalam bis agar segera duduk dan tidak kehujanan lagi. Begitu ada kursi kosong, ia langsung saja menghempaskan pantatnya dengan helaan napas lega. Padahal tadi ia khawatir tidak dapat tempat duduk.
            Dan kelegaannya bertambah berlipat-lipat saat disadarinya ia ternyata satu tempat duduk dengan seorang perempuan yang dilihatnya begitu cantik.
            “Wah, pahala itu didapat sesuai amal perbuatannya,” pikirnya sambil mesam-mesem sendiri.
            Untungnya lagi, setelah bergelut dengan pikirannya tentang bagaimana cara mengawali obrolan dengan perempuan di sebelahnya itu, Jon Koplo akhirnya ia bisa berkenalan, sebut saja namanya Lady Cempluk.
            Jon Koplo sangat bahagia saat itu, lupa akan kesedihannya mengikuti seminar yang baginya membosankan dan harus menunggu bis di emperan toko diiringi tempias hujan.
            Obrolan pun mengalir diselingi tawa Koplo yang sebenarnya tidak enak di dengar. Bis yang sudah sampai kota Wonogiri pun tidak disadari oleh Koplo yang sedang asyik dengan kenalan barunya. Ia juga bercerita dengan bangga kalau ia adalah seorang guru yang sudah sertifikasi. Sementara Lady Cempluk menimpalinya dan membuat membumbung hati Jon Koplo.
            Obrolan Jon Koplo yang pada awalnya rikuh, menjadi cair sebab Lady Cempluk juga membuka hati untuk sebuah obrolan. Sampai pada akhirnya tema obrolan Jon Koplo habis, hanya diam diantara mereka. Tapi itu tak membuat sedih Jon Koplo karena bersebelahan dengan perempuan cantik.
            Bis pun melaju, sesekali kondektur bis berteriak-teriak, “Praci, Pracimantoro!”
            Jon Koplo pun kaget, bukannya apa-apa. Daerah Pracimantoro adalah daerah di Wonogiri sebelah selatan, dan seharusnya Jon Koplo naik bis jurusan Purwantoro, daerah Wonogiri sebelah timur.
            “Mbak, bukannya bis ini menuju Purwantoro?” tanya Jon Koplo dengan muka pucat pasi.
            Lady Cempluk yang ditanya senyum menahan tawa melihat muka bingung Jon Koplo, “Mas Jon tidak dengar sejak di Solo tadi, kondektur selalu teriak-teriak Pracimantoro?”
            Sontak Jon Koplo berdiri dan berlari menuju pintu keluar, “Pak, pak.. berhenti. Saya turun di sini!”
            Tom Gembus yang jadi kondektur bingung, “Lho, tadi bayarnya sampai Praci.”
            “Tidak pak, saya mau ke Purwantoro.”
            “Oh, duduk sama cewek cantik, jadi salah arah ya.” Tom Gembus tertawa sambil mempersilahkan Jon Koplo turun dari bis.
            Padahal bis, telah jauh menuju ke selatan.

Wonogiri, 6 Maret 2016          17.15 WIB

DANANG FEBRIANSYAH

Bendo RT. 002 RW. 002, Ds. Ngaglik, Kec. Bulukerto, Kab. Wonogiri, 57697

SOBLAH


Cerpen : Danang Febriansyah
Dimuat di Koran Pantura, Kamis, 12 Mei 2016

            Tepat tiga hari suaminya pergi. Padahal janji suaminya saat itu hari ini pulang. Namun sampai maghrib tiba seperti ini dan disertai hujan, belum juga nampak kepulangan sang suami. Dami belum menutup pintu rumah, berharap mendengar dengan jelas truk yang dikendarai suaminya datang.
            Tapi deru truk yang diharapkannya belum terdengar. Hanya gemericik suara hujan yang masuk ke telinganya. Hawa dingin masuk melalui pintu yang belum ditutup. Dami bangkit dan melongok keluar. Masih belum tampak Kenci – suaminya – akan pulang. Pintu ditutup, angin dingin rupanya membuat Dami menutup pintu dan menyalakan televisi.
            Televisi itu, Dami mengingat benda yang dibeli suaminya saat awal menikah lima tahun yang lalu. Itu dibeli karena dirinya merasa kesepian jika ditinggal Kenci mengantar pasir sejak pagi hari.
            Untuk menghibur Dami, Kenci selalu pulang sebelum maghrib. Tapi saat siang datang Dami kembali diliputi kesepian. Maka dari hasilnya menjadi sopir truk pengangkut pasir, Kenci membelikannya televisi untuk Dami.
            Meski televisi sudah dibeli, Kenci terus berusaha pulang sebelum maghrib. Padahal sebelum menikahi Dami, Kenci selalu pulang ke rumahnya paling tidak saat isya’ datang. Kadang lebih dari itu.
            Ah, mengingat usaha keras Kenci demi dirinya, Dami menghargainya dengan selalu menyambut kepulangannya dengan senyum. Dami juga ingat saat hasil yang didapatkan Kenci digunakan sebagai modal usaha berdagang beras, yang kemudian dijalankan Dami. Meski sampai tiga tahun pernikahan mereka belum dikaruniai seorang anak, namun Dami terus merasa terhibur dengan kejutan-kejutan yang diberikan suaminya : televisi, pulang sebelum maghrib, hingga modal usaha dan warung beras. Dami merasa dirinya sangat dicintai Kenci.
            Perlahan, usaha warung beras itu makin lancar dan bisa dibilang sukses. Itu hiburan yang jauh lebih baik daripada sekedar televisi. Dami keteteran menjalankan usaha itu. Dan saat melihat Dami kewalahan menjalankan warung beras mereka, Kenci kembali membuat kejutan untuk istrinya, berhenti menjadi sopir truk dan menemani Dami menjalankan warung beras bersama.
            Petir menyambar membuat lamunan Dami buyar. Ia kembali membuka pintu berharap Kenci telah berdiri di teras dengan basah kuyup, sehingga Dami dengan suka cita menghanduki suaminya, menyiapkan pakaian ganti, menyediakan kopi panas dan sebungkus kretek serta sepiring mie instan panas.
            Namun harapan itu musnah seketika saat pintu dibuka, hanya kilat yang sedetik membuat malam menjadi terang saja yang ia lihat.
            Ah, hujan di malam ini, dengan udara yang membuat Dami menggigil. Ia berangan malam ini berdempetan dengan suaminya di depan televisi dan lengan kekar Kenci menggamitnya.
            Melamun tentang kemesraan itu, melemparkan angan Dami pada berita-berita yang diembuskan tetangganya. Kenci sedang dipinjam Sothil, janda satu RT dengannya, pemilik warung beras juga.
            Berita itu beredar bahwa Kenci menjadi soblah Sothil. Ya, demi melancarkan usaha dagang berasnya, Sothil mencari jalan pintas. Janda itu mencari penglaris yang tidak memakan tumbal jiwa. Dia memilih soblah, sebuah jalan pesugihan dengan mengajak lelaki yang dianggapnya berhasil dan punya uang lebih untuk bermain cinta, seperti Kenci.
            Dengan begitu, harta kekayaan Kenci bisa terserap secara misterius kepadanya melalui persetubuhan tanpa ikatan itu. Bukankah itu menarik? Pikir para pembawa berita, Sothil tak punya anak untuk dijadikan tumbal pesugihan, orang tuanya juga sudah meninggal. Hanya soblah pilihannya.
            Kabar itu sudah lama beredar dan sampai di telinga Dami. Awalnya Dami tidak peduli, bukankah Kenci tidak pernah meredupkan perhatian kepadanya? Kejutan-kejutan menyenangkan juga selalu didapatnya?
Tapi lama kelamaan kabar yang membuat panas telinga itu membuatnya jengah. Dan kepada siapa lagi Dami mencari kebenaran dengan sejelas-jelasnya kalau tidak dari mulut suaminya sendiri.
            “Benar, Mas?” tanya Dami saat itu.
            “Benar apanya?” Kenci santai menyeruput kopi dan mengisap kreteknya.
            “Itu ...” Dami masih ragu. “Kabar tetangga-tetangga tentang Mas Kenci.”
            “Soblahnya Sothil?”
            Lega, itu yang mau dikatakan Dami. “Iya. Jadi benar itu, Mas?”
            “Kamu tahu, berbuat baik itu pangkal kaya.”
            “Maksudmu, Mas begituan dengan Sothil itu berbuat baik?”
            “Hanya sebentar.” Enteng saja Kenci menjawab.
            Padahal mendengar dengan jelas pengakuan itu, Dami merasa diiris-iris pisau seperti mengiris bawang. Pedih.
            “Jangan bilang itu berbuat baik, Mas. Itu dosa besar.” Dami mencoba menahan agar air matanya tidak keluar.
            “Sothil butuh. Dan membantu itu tidak buruk, bukan?”
            “Membantu?” Dami merasa mual membayangkan Sothil dan Kenci. Seperti sedang mengiris bawang, air mata itu tak dapat ditahan. Tumpah sudah. Dan Kenci merasa perlu menenangkan istrinya.
            “Tenang saja, kamu yang tetap di hatiku. Aku melakukan itu bukan dari hati. Aku tidak menikmatinya. Tenanglah, aku tetap suamimu.”
            Dikiranya kalimat itu membuat Dami tenang. Padahal bagi Dami, itu telah merobek harga dirinya sebagai istri. Itu sebuah bentuk pengkhianatan. Dami geram. Ia merasa darahnya menjadi bensin dan pengakuan Kenci itulah apinya. Terbakar sudah harga dirinya sebagai istri. Sebagai perempuan. Mukanya merah menahan marah. Kenci tidak lagi bisa menjaga diri sebagai suami.
            Pertanyaan dari Dami itu terjadi saat warung berasnya makin sepi pembeli setelah warung beras milik Sothil berdiri dan semakin hari semakin laris. Menyerap pelanggan Dami. Pada awalnya Dami tidak begitu peduli dengan itu. Sebab dengan harga beras dan kualitas yang sama, beras milik Dami lebih murah. Dami selalu berpikiran baik, mungkin pelayanan Sothil lebih baik.
            Akan tetapi pengakuan Kenci di sore itu seakan telah membuka tabir yang dianggapnya tidak ada.
            “Kamu tidak kehilangan apapun. Aku masih dan tetap suamimu. Aku juga terus memperlakukanmu seperti dulu, sebagai istri. Tidak berubah.” Kenci terus berusaha menenangkan istrinya dengan bicara begitu ringan, seakan tidak ada beban sama sekali.
            Sebagai perempuan, Dami hanya bisa menangis mendengar pengakuan tersebut. Dami bertahan dengan sesak di dada. Dan benar saja, semakin ramai warung beras Sothil, warung beras Dami bangkrut dan tutup.
            Hal itu tidak membuat Kenci berhenti bertanggungjawab. Kenci tidak mengeluh kalau warung beras mereka tutup. Ia kemudian kembali menjadi sopir truk pengangkut pasir. Ia masih tetap memberi nafkah istrinya, lahir maupun batin. Namun nafkah yang terakhir, tidak bisa diterima Dami dengan ketulusan. Hampa dan datar.
            Lalu malam ini, tiga hari Kenci belum pulang juga. Tiga hari yang lalu Kenci pamit pergi mengangkut pasir dari Merapi. Berjarak 300 kilometer dari desanya. Ia bilang pada Dami tiga hari akan pulang.
Jam 7 malam telah lewat, hujan sudah berhenti. Namun Kenci belum juga pulang. Dami gelisah.
            Pak RT lewat depan rumah Dami. Melihat istri Kenci berdiri di depan pintu, Pak RT menyapanya.
            “Sothil masih menginginkan suamimu. Kiranya hasil dari Merapi diserapnya malam ini. Sothil belum puas meski warung berasmu sudah habis. Kalau kau jemput sekarang Kenci di rumah Sothil, mungkin belum terlambat.” Pak RT tidak lagi menutup-nutupi kelakuan suaminya dan Sothil.
            Dami termangu. Dada serasa penuh. Seakan bukan suara Pak RT yang didengarnya, tapi suara pecahan harga dirinya yang jatuh berkeping. Keakuannya sebagai istri seperti tak lagi ada.
            Dia biarkan warungnya sepi dan tutup. Dia biarkan Kenci kembali menjadi sopir truk. Namun membayangkan Sothil mengambil suaminya, bisakah dia bersabar.

Wonogiri, 17 Desember 2015             19.10 WIB


Danang Febriansyah, Komunitas Sastra Alit Solo