Tuesday, December 16, 2014

AKU DAN SASTRA ALIT

www.sastraalit.com

Aku mendengar nama Sastra Alit belum lama, baru sekitar 3 bulan yang lalu, sekitar bulan September 2014. Komunitas sastra ini dikenalkan oleh seorang teman, Agus Yulianto yang sudah mengikuti kegiatan sastra ini. Suatu hari dia mengajakku untuk mengikuti diskusi sastra yang diadakan oleh Komunitas Sastra Alit. Pertama kali mendengar nama ini, dalam bayanganku adalah sebuah komunitas yang di sana berkumpul para gerilyawan sastra yang hebat. Seperti sebuah nama yang pernah saya kenal dalam Sastra Pawon, Joko Sumantri (Alm).
Kemudian, 17 Oktober 2014, hari Jum'at sore saya mengikuti acara temu sastra yang diadakan oleh Sastra Alit di Taman Balekambang, Surakarta bersama teman saya tersebut. Duduk lesehan di bawah pohon dengan hidangan sederhana dan melihat orang-orang yang bergelut di dunia sastra, semangat saya untuk menulis makin terpecik.
Di sana, saya hanya diam melihat, mendengar dan merasakan suasana di Sastra Alit yang ternyata cukup hangat ini. Anggota yang datang kurang lebih 10 orang dari berbagai usia, agama dan jenis kelamin. Saat itu, saya merasa inilah salah satu rumah saya. Mereka tak mempermasalahkan latar belakang anggota, mereka disatukan dalam sastra. Di sana karya tulisan semacam tali pengikat. Mereka memiliki loyalitas dalam sastra dan komunitasnya.
Dalam pertemuan itu, karya dari masing-masing anggota, dibahas, dibedah untuk kemudian diperbaiki. Saya baru tahu bahwa setiap pertemuan, harus membawa satu karya yang difotokopi rangkap 10 untuk dibahas di sana. Diskusinya pun sangat hidup dan santai, namun tetap ada nilai yang positif yang bisa diambil.
Di sana pula, saya tahu bahwa bayangan pertama saya tentang penggiat di Sastra Alit ini menemui kebenaran. Semua adalah penulis hebat yang sederhana. Mereka mementingkan karya. Ada Mas Yuditeha, cerpen dan puisinya sudah menjelajahi nusantara, Novelnya "Komodo Inside" merupakan juara di Grasindo dan sudah beredar di toko buku seluruh Indonesia. Mas Y. Agusta Akhir juga begitu, karyanya juga ada di media di seluruh Indonesia, Mas Gatot Prakoso, yang pertama saya kenal melalui karyanya di Buletin Pawon tahun 2007. Mbak May, Mbak Key, Mbak Erna, Mbak Lusy yang juga seorang guru dan barista yang sebuanya adalah ibu yang semangat dalam karya sastra. Mbak Risti, draft novelnya yang dibedah mendapat sambutan yang cukup baik. Juga yang lainnya, termasuk Agus Yulianto sendiri sudah sering merasakan karyanya dimuat di media massa.
Di Sastra Alit juga saya mendapatkan Buku Antologi Puisi "Mengemas Kenangan" Karya Mas Yuditeha dan Mbak Lusy Kristiana. Buku yang indah, maka saya mencobanya untuk menulis resensi untuk buku tersebut. Apresiasi dari penulis buku tersebut pada resensi saya sangat membanggakan, padahal itu saya baru belajar menulis resensi. Apresiasi itu membuat saya yakin bahwa saya bisa menulis resensi. Resensi itu akhirnya atas saran Mas Yuditeha saya kirim ke Solopos. Kini saya sedang menanti untuk dimuat. Saya kemudian dipercaya untuk menulis resensi novel Komodo Inside-nya Mas Yuditeha. 
Desember 2014 kemudiansaya merasa berpisah dengan Sastra Alit karena jadwal pertemuan yang berpindah hari Senin untuk bulan Desember 2014. Hari Senin sampai Rabu saya ada di luar Solo dan tak mungkin untuk datang karena jarak yang jauh. Ada yang hilang pada saat itu. Ada kerinduan yang tak terbalas. Namun semangat mereka terus tertanam pada jiwa menulis saya dan tak akan hilang.
Semoga saya bisa kembali bertemu dengan orang-orang hebat tersebut, penulis-penulis dahsyat di Sastra Alit. Karena mereka, saya makin bersemangat. Terim kasih.

Thursday, December 11, 2014

EDAN (Cerpen : Danang Febriansyah)

* Dimuat di Solo Pos Minggu Pon, 12 November 2006

       Perlahan tapi pasti, apa yang disebut pikiran itu terus dan terus berkembang dengan sendirinya. Harusnya pemaksaan kehendak itu tak boleh terjadi, sebab pikiran memiliki mata dan sayap sendiri yang akan berkelana, mengembang dan mengepak agar menemukan kebebasan dan menemukan dirinya sendiri.
           Maka bisakah seekor anak burung yang dikurung sejak lahir akan terbang? Apalagi seorang manusia. Dia hanya bisa berteriak-teriak demi mendapatkan sebuah pembebasan dari keterkekangan di tengah sawah. Inilah kesunyian dalam kegaduhan di dirinya. Di pematang sawah paling atas dia merentangkan tangannya dan menatap angkasa. Teriakannya menggoyang padi-padi yang masih menghijau.
            Tak ada yang tahu apa yang bersembunyi dalam hatinya. Nampak hanya dia ingin mengoyak rantai-rantai kehidupan yang menghimpit segenap imajinasinya yang liar.
            “Rasa sayang telah lenyap!”
           Mejo, pemuda desa itu berjalan gontai seakan beban berat semakin ada dalam keranjang pikulannya. Sabit yang begitu tajam diselipkan di pinggangnya, rumput untuk makan kambing peliharaannya telah penuh dalam keranjang.
            Pemuda Desa itu jengah.
           Matahari telah condong ke barat. Setengah hari dia habiskan waktu di tengah hamparan persawahan. Menyabit rumput dari ujung selatan sawah hingga ujung utara. Beberapa bahu sawah telah dilewati untuk mendapatkan rumput. Untuk memenuhi dua keranjang besarnya. Untuk memenuhi kebutuhan makan beberapa kambing peliharaannya.
            Rasa panas membuatnya melepaskan caping dan mengipaskannya pada tubuhnya yang bersandar di bawah pohon turi. Ketika beban berat menyembul dalam ingatannya kembali. Dia hanya bisa berteriak keras, memenuhi persawahan itu.
        Kini dia beranjak pulang dengan segenap rasa bosannya. Ingin dia seperti teman-teman sepermainannya dulu. Ke kota, mendapat uang, memakai celana jeans, sepatu kets, baju yang dimasukkan ke dalam celana, wajah yang menjadi bersih, rambut kelimis penuh minyak, dan tentunya tubuh yang wangi.
            Dia ingin seperti itu. Sangat ingin!
            “Siapa yang mengurus kambing-kambing itu?” Ibu Mejo tampak tak setuju ketika dia mengutarakan keinginannya itu.
            “Apa simbok tak lihat betapa bersihnya si Sukar itu sekarang? baru satu tahun di kota penampilannya sudah berubah. Apa simbok selalu ingin melihat aku dekil dan dekil seperti ini terus?”
            “Namanya orang desa itu ya begini, ngurus sawah, ngurus kambing. Kalau kamu pergi siapa juga yang ngurus simbok yang sudah tua ini dan sawah kamu yang hanya sepetak itu?”
            “Kan kita bisa nyambat tetangga mbok?”
            “Wis lah le, ra sah neko-neko. Orang kota nanti tak bisa makan kalau tak ada yang ngurus sawah.”
            Tampak perempuan renta tidak mau lagi berdebat dengannya. Lalu beranjak ke kamar tidur. Sementara dia masih tepekur di depan lampu ublik yang nyalanya makin mengecil. Seperti harapannya yang juga tampaknya makin kecil dan berakhir padam.
            “Simbok selalu memaksaku. Aku tak bisa menentukan jalanku sendiri, dia memang sudah tak sayang padaku,” katanya dalam hati sambil menatap ublik yang apinya mobat-mabit ditiup angin malam yang berhembus dari lubang dinding bambu rumahnya.
            Hingga rasa bahwa dia terkekang sejak bapak mati duapuluh dua tahun lalu itu tumbuh ke permukaan. Bapak mati ketika dia masih berumur lima tahun, sejak itu simbok tidak pernah mau menikah lagi, meski sudah dibujuk saudara-saudara simbok yang lain. Dia tidak ingin anak satu-satunya dimiliki oleh bapak yang lain. Simbok sangat mencintai bapak. Kesetiaannya berlanjut hingga saat ini. Sebagai imbasnya, simbok terlalu melindunginya, hingga dia sangat merasa tertekan, tak bisa mengembangkan sayap. Ibunya itu menjadi begitu galak. Dia sangat memaksakan kehendaknya, hingga dengan sangat terpaksa anaknya yang beranjak dewasa itu harus menurutinya. Di samping itu simbok tak pernah mau mengungkapkan alasan kenapa bapak mati. Padahal dia ingin tahu. Sebagai sebuah remisi sejenak adalah berteriak di tengah sawah ketika dia mencari rumput.
            Hanya ada rasa iri ketika lebaran datang, melihat teman-temannya dulu pulang dari perantauan mereka di kota dan telah berubah drastis. Ditambah gadis desa yang pernah disukainya dulu kini telah membawa laki-laki dari kota yang katanya calon suaminya dan sehabis lebaran mereka akan menikah. Betapa hambar hidup ini ketika cita-cita yang sangat diharapkannya tak pernah tergapai.
            “Ayo Jo, ikut ke kota saja. Aku jamin hidupmu pasti berubah,” bujuk Sukar sehabis sholat tarawih di mushola desanya. “Apa kamu nggak kepingin dapat uang? Terus di sana, ceweknya cantik-cantik, tinggal pilih saja,” tambah Sukar yang membuatnya makin tak betah tinggal di rumah.
            “Bagaimana ya Kar?”
            “Bagaimana apanya? Tiga hari sehabis lebaran, aku berangkat. Tempatku kerja masih ada lowongan.”
            “Ya aku pikir-pikir dulu deh. Tapi lowongan itu jangan berikan pada orang lain dulu ya?”
            Betapa berbedanya Sukar sekarang dengan Sukar setahun yang lalu. Betapa inginnya dia seperti Sukar. Dia ingin bebas dari rumput, dari sabit, dari sawah dan dari kambing. Betapa inginnya dia memakai celana jeans, sepatu kets dan minyak wangi. Betapa inginnya dia naik Bus!
            Tapi segala harapannya dijegal oleh seorang. Seorang yang memberinya makan, seorang yang perintahnya tak bisa dia tolak. Seorang yang sangat dia sayangi dan dia hormati. Seorang ibu yang dia panggil simbok.
            “Tapi kali ini aku harus lepas dari bayang-banyang simbok. Aku sudah dua puluh tujuh tahun. Sudah besar. Aku mau ke kota.”
            Dan ublik di depannya kehabisan minyak. Padam.

*          *          *

            “Kamu ngeyel yo? Hidup itu ya begini adanya, mau dekil, mau tidak, mau hidup di kota atau di desa, itu sudah digariskan Sing Gawe Urip. Kebaikan seseorang itu tak dilihat penampilannya. Yang penting kamu tetap di jalan lurus, baru hidupmu bermakna. Kamu tidak usah iri dengan teman-temanmu. Belum tentu kamu di kota akan mendapat kerja yang lebih baik. Pokoknya simbok nggak setuju!” alis simbok bertaut menambah keriputnya. Panjang lebar dia menelanjangi pikiran anaknya dengan wejangan. Mejo hanya menunduk. Tas ransel yang telah berisi bekal untuk pergi ke kota setia di samping kursi tempat dia duduk, tiga hari setelah puasa tahun ini.
            “Tapi mbok…”
            “Tapi apa? Kalau kamu rela hidup simbok makin menderita setelah kematian bapak kamu. Ya silahkan pergi!” ancam ibu Mejo.
            “Bukan begitu mbok, aku hanya ingin hidup kita berubah lebih baik. Aku nggak mau terus-terusan miskin seperti ini. Aku ingin punya banyak duit, biar bisa beli sawah lagi, beli sapi, memperbaiki rumah. Pokoknya aku yakin bisa jauh lebih baik kehidupan kita jika aku kerja di kota,” katanya berdalih, “Mbok, bagaimanapun juga aku pergi hari ini. Sukar sudah menungguku, aku pergi mbok. Doakan ya…” akhirnya dia beranjak pergi, tak mau berdebat lagi.
            Simbok hanya diam, pandangannya kosong, matanya berkaca-kaca, entah apa yang membebaninya. Pandangan perempuan tua itu tetap tertuju keluar rumah ketika tangan keriputnya dicium Mejo. Pandangan yang penuh beban kehampaan.
            Lalu dia pastikan langkah pergi ke kota. Sebenarnya dia juga merasa berat meninggalkan simbok. Dia sadar, siapa yang membesarkannya selama ini, hanya simbok seorang, tanpa bapak di sampingnya. Dia sangat menyanyangi ibunya meski apa yang dia lakukan selalu dimata-matai. Tapi dia sadar, semua itu disebabkan karena simbok sangat tak ingin kehilangannya. Dia juga sangat tak ingin kehilangan ibunya yang sudah renta itu.
            Sukar telah lama menunggu di jalan. Lalu mereka berjalan ke arah pos ojek untuk dilanjutkan ke terminal bus yang jaraknya sekitar lima belas kilo meter dari desa.
            Baru sekali ini dia naik bus. Sungguh!

*          *          *

            Seperti sebuah keajaiban, ketidak relaan orang tua itu membuatnya berubah dengan sangat telak, setahun kemudian. Ketika lebaran menjelang, dia pulang dan membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi lebih baik setelah kerja di kota.
            Mejo memang menjadi seorang yang lain. Seorang dengan penampilan seperti yang diinginkannya setahun yang lalu, cita-citanya untuk memakai sepatu, celana jeans, rambut kelimis dan minyak wangi, semua telah tercapai.
            Lebaran tahun ini dia berencana pulang. Menjenguk ibunya yang setahun ini tak diketahui kabarnya, karena sibuk oleh pekerjaan dan dia tak ingin terganggu jika harus mengetahui keadaan rumah. Tak pernah dia memberitahu keluarganya dimana dia kerja, karena dia tak ingin ada surat yang berisi betapa rindunya ibunya dengan dirinya. Dia ingin kerja dan kerja, membelikan sapi untuk simbok, membeli sawah sepetak lagi dan sedikit dapat memperbaiki rumahnya. Semua mengerucut menjadi satu tujuan, agar simbok bahagia di hari tuanya.
            Senyum yang mengembang seketika musnah seketika sejak pertama kali dia menginjakkan kakinya di rumah. Selain rumah yang makin reot, kandang kambing di depan rumah juga tak ada lagi penghuninya. Rumput-rumput liar bebas tumbuh di halaman dan tepi-tepi rumah. Dilihat rumah itu benar-benar tak terawat.
            Mejo mengitari rumahnya tapi tak ditemukan juga tanda-tanda kehidupan. Akhirnya dia masuk rumah. Ketika membuka pintu depan, debu-debu beterbangan keluar seakan telah lama terpenjara. Ruang dalam rumah itu gelap, tapi samar pandangannya hanya tertuju pada sosok yang duduk di sudut ruangan.
            Dan seakan semua hasil yang dibawanya dari kota tak ada artinya ketika tahu seorang itu adalah ibunya, ibu yang dipanggilnya simbok. Tas ransel di punggungnya dihempaskannya ke tanah lantai rumah. Dia segera menghambur.
            Betapa makin tak karuannya penampilan simbok kali ini. Apa yang menyebabkannya begini. Dua kakinya terkunci pada balok kayu. Kain yang dipakainya sungguh kumal. Kebaya robek di sana-sini dengan warna yang sungguh-sungguh kusam. Rambutnya yang gimbal makin memutih dan acak-acakan. Kulit dekil dan mengeluarkan bau yang busuk. Pandangannya kosong seperti pandangan ketika Mejo pamit akan kerja di kota. Bedanya, pandangan simbok kali ini adalah semakin kosong. Pasrah pada beban yang makin menghimpitnya. Tak memperhatikan kedatangan Mejo.
            “Mbok…” Mejo menyalami tangan ibunya yang dirantai dan menciuminya tanpa mempedulikan aroma bangkai yang menusuk. “Kenapa, jadi begini? Apa yang menyebabkan simbok dirantai seperti ini?” Mejo mencoba melepaskan ikatan rantai di tangan ibunya, tapi ikatan itu digembok dengan kuat.
            “Simbokmu edan,” seorang tetangganya telah berdiri di pintu depan. “Semuanya terjadi karena kamu.”
            Seperti sebuah pukulan benda yang amat berat menyesakkan dadanya. Semua terjadi karena dirinya. Mengapa? Mejo mendekati orang itu.
            “Karena saya?”
            “Dia murung semenjak kepergianmu, dan semakin hari dia semakin enggan mengurus dirinya sendiri, tertawa-tertawa dan kadang marah-marah tanpa sebab yang menyebabkan tetangga terganggu bahkan terancam. Akhirnya tetangga-tetangga memutuskan membawanya ke tempat mbah Karyo biar diberi japa mantra, tapi sampai lima kambing ditambah sepetak sawah kamu dijual, tak juga membuatnya sembuh, malah dia makin menjadi dan ngamuk tak karuan, karena makin membahayakan tetangga, akhirnya kami putuskan untuk mengurungnya dengan cara seperti ini.”
            “Dengan cara tak manusiawi begini?”
            “Maaf, itu terjadi karena dorongan orang-orang yang merasa takut dengan berubahnya mbokmu itu. Di samping itu dia ternyata masih trauma dengan kematian bapak kamu.”
            “Bapak saya mati kenapa?”
            “Dia mati di kota sejak kamu masih lima tahun, mayatnya ditemukan membusuk di tempat sampah.”
            Air mata Mejo setitik demi setitik mengalir perlahan. Kenyataan yang baru diketahuinya, alasan mengapa simbok begitu melindunginya, alasan kenapa simbok tak merelakan dia pergi merantau. Kenyataan yang baru disadarinya bahwa ternyata ibunya sangat menyanyanginya.
            “Tolong lepaskan dia.”
            “Apa jaminan kalau dia tidak akan mengganggu tetangga?”
            “Aku,” Mejo lalu menangis dan bersimpuh di hadapan simboknya.

*          *          *

Kamis, 15 Juni 2006           14.35 WIB

LEBARAN RERI (Cerpen : Danang Febriansyah)

* Dimuat di Majalah Hadila, September 2013

Sore ini ketika bulan ramadhan telah lewat dari satu minggu, Reri, gadis kecil yang cantik itu menemui bundanya yang sedang menyiapkan makan untuk berbuka puasa di dapur.
“Bunda, Reri mau puasa.” Katanya
“Benarkah?” Tanya bunda menghentikan aktivitasnya dan menatap Reri penuh kasih.
“Iya bunda, Reri ingin bunda tahu kalau Reri juga kuat puasa,” jawab Reri meyakinkan bunda.

*          *          *

Siang ini begitu terik, panasnya seperti membakar kulit. Reri melangkah pelan, badannya goyah. Kaki nya seakan tak sanggup lagi menyangga tubuh. Tapi dia berusaha bertahan.
Dering suara es krim mengagetkannya. Pikirannya segera melayang. Membayangkan dinginnya es krim ketika sampai di lidah, menyegarkan tenggorokannya yang kering. Sekuat tenaga Reri berusaha tidak memperhatikan suara es krim itu, dan usahanya berhasil ketika es krim itu berbelok di tikungan gang.
            Dia meneruskan langkahnya kembali. Ini puasanya pertama setelah Ramadhan sudah berjalan satu minggu. Nyaris saja dia batal ketika tergoda oleh es krim, tapi kalau ingat dengan orang yang datang ke rumahnya kemarin, dia berusaha menguatkan hatinya, uang sakunya harus bisa terkumpul sampai puasa terakhir nanti. Ada yang harus bahagia selain dirinya ketika lebaran tiba.

*          *          *

            Sepulang dari tarawih kemarin lusa, Reri dengan bunda berpapasan dengan seorang ibu dengan menggendong bayi, sementara tangan kanannya membawa keranjang yang berisi barang-barang bekas. Di sampingnya seorang anak kecil berjalan juga membawa tas kecil yang berisi barang-barang bekas.
            “Maaf, ibu mencari barang bekas?” Tanya bunda Reri kepada pemulung itu.
            “Iya,” jawabnya singkat.
            Reri melihat perempuan kecil seusianya di samping ibu pemulung itu. Rasa iba menghampiri hati Reri. Ingin sekali Reri bertanya, tapi pertanyaan itu susah keluar, takut menyinggung perasaan anak itu.
            “Dirumah kami juga ada barang bekas, kalau ibu mau, ibu bisa mengambil dirumah kami sekarang,” ajak bunda.
            “Terima kasih bu,” sahut ibu pemulung itu sambil tersenyum.
            Reri sesekali melihat perempuan kecil anak ibu pemulung itu. Tas yang berisi barang bekas itu tampak begitu berat baginya. Tangan kanan dan kirinya bergantian membawa tas itu, kadang dia memijat bahunya, mungkin rasa capek begitu menyiksanya. Keringatnya bercucuran dari dahinya, meski ini malam hari, kelihatannya kakinya terlalu jauh berjalan.
            Sementara bayi dalam gendongan ibu pemulung itu tampak terlelap tidurnya. Sesampainya di rumah, bunda segera mengambil barang-barang bekas yang dimaksud. Ibu pemulung memilah barang-barang itu. Sambil menunggu ibu selesai, bunda bertanya “Kok malam-malam mencari barang bekas?”
            “Kalau siang sudah kalah cepat dengan yang bawa mobil,” jawabnya sedikit bersedih, sambil mengelap keringat di wajahnya, ibu itu kembali memilah barang-barang dari bunda. Reri hanya melihat dari samping bunda.
            “Rumah ibu jauh dari sini?”
            “Kami dari luar kota, di sini kami cuma mengontrak di bantaran kali sebelah sana.”
            “Mereka anak ibu?” Tanya bunda lagi sambil melihat dua anak yang digendong dan yang membawa tas barang bekas.
            “Iya, ini yang sulung, Marni,” sambil mengusap rambut perempuan kecil yang rambutnya kemerahan itu.Dan ini si bungsu, Cici,” tambahnya sambil melihat bayi yang digendongnya.
            “Marni kelas berapa?” Tanya bunda lagi
            “Kalau diterusin mungkin kelas tiga SD, tapi waktu kenaikan kelas, dia nggak mau sekolah lagi, karena sepatunya sudah rusak,” jawab ibu Marni.
            “Wah sama dong sama Reri, kelas tiga, tapi kok nggak mau sekolah lagi hanya karena sepatu rusak?”
            “Iya, malu sama teman-temannya, selalu menjadi bahan ejekan karena sepatunya yang jelek dan rusak.”
            “Kenapa nggak beli yang baru?”
            “Buat makan saja susah bu, jadi ya sudah kami pasrah saja.”
            Reri yang mendengar percakapan bunda sama ibu merasa kasihan dengan anak itu.
            “Puasa nggak, Marni?” Tanya ibu pada Marni
            “Puasa bu,” jawab Marni malu-malu.
            “Sudah bu, barangnya sudah saya pilih, ini uangnya,” kata ibu pemulung itu sambil menyerahkan sejumlah uang kepada bunda.
            “Oh, nggak usah, itu buat ibu saja, nggak usah bayar.”
            “Terima kasih sekali bu, terima kasih, semoga Tuhan yang membalas kebaikan ibu.”
            “Amiin.”

*          *          *

            Sepulang dari sekolah Reri langsung mengambil air wudhu dan sholat, setelah itu dia istirahat, ingin sekali dia membatalkan puasanya, apalagi panas matahari siang ini membuatnya sangat haus. Tapi jika ingat si Marni, dia merasa malu sendiri, meski malam hari, dia ikut membantu ibunya mencari uang, paginya dia tetap puasa. Makanya dia berusaha untuk terus kuat puasa hingga sebulan penuh.
            Direbahkan tubuhnya di kasur kamarnya, dengan jendela yang terbuka dan angin masuk kekamarnya membuat Reri perlahan tertidur.
            Uang saku sekolahnya dia tabung, dia nekat berjalan kaki, tidak naik becak langganannya, agar uangnya tetap utuh untuk lebaran nanti. Meski harus menahan haus.
            Meski puasa tidak jajan, tapi Reri selalu mendapat uang saku dari bunda untuk membayar becak yang mengantarkan dia ke sekolah dan menjemputnya ketika pulang sekolah. Tetapi ibu tidak tahu kalau Reri tidak naik becak, tapi berjalan kaki sementara uang sakunya dia tabung.
            Berhari-hari selama hampir sebulan bulan puasa dia melakukan itu, tidak naik becak, tanpa sepengetahuan bunda. Sampai hari-hari terakhir puasa, uang saku Reri dirasa sudah cukup, maka Reri mencari becak langganannya untuk mengantarkan dia.
            Sore itu, di hari terakhir puasa, Reri dengan diantar becak, membawa hasil tabungan uang sakunya selama satu bulan, dia menuju toko sepatu, Dicarinya sepatu yang seukuran dengan kakinya, sepatu sekolah berwarna hitam itu akhirnya dia dapatkan. Setelah itu masih diantar becak, dia menuju bantaran kali. Hampir setengah jam dia sampai di bantaran kali, dicarinya anak kecil berambut merah yang sempat diajak bunda mampir kerumahnya bersama ibunya. Setelah dengan keberaniannya bertanya, akhirnya dia menemukan rumah Marni, anak itu.
            Rumah papan yang hamper roboh itu dengan pintu yang terlihat sekenanya menempel pada dinding, di depan rumah itu teronggok barang-barang bekas.
            “Assalamualaikum...”
            Tak lama kemudian salam Reri terjawab dari dalam.
            “Waalaikum salam...” Lalu keluarlah ibu Marni dengan menggendong bayi. “Oh, ini adik yang ibunya memberi kami barang bekas itu ya?”
            “Iya bu, saya Reri,” sahut Reri, rupanya ibu Marni masih ingat dengannya. “Marni ada bu?”
            “Ada, ada, masuk dik, maaf ya rumah ibu berantakan. Sebentar ibu panggilkan dulu, Marni sedang bantu ibu mencuci pakaian di kali.”
            Tak lama kemudian Marni datang, ibunya mengikuti dari belakang.
            “Marni, ini sepatu buat kamu, semoga cocok dan pas dengan kaki kamu. Tapi kamu harus sekolah lagi ya?” Kata Reri.
            Marni masih terdiam, tidak menyangka akan mendapat sepatu dari Reri.
            “Ambil saja, ini buat kamu koq, biar kamu bisa sekolah lagi.”
            Akhirnya setelah Marni melihat ibunya dan ibu Marni mengangguk, Marni menerima pemberian sepatu dari Reri.
            “Terima kasih dik, kamu sama baiknya dengan ibu kamu. Terima kasih, setelah lebaran pasti Marni mau sekolah lagi,” kata ibu Marni, “Marni, ayo bilang terima kasih sama Reri,” tambah ibu.
            “Terima kasih, Reri,” kata Marni.
            “Iya sama-sama Marni, saya juga berterima kasih sama kamu, karena memberiku semangat untuk berpuasa dan tak membatalkan puasa,” kata Reri sambil tersenyum. “Reri pamit pulang dulu ya Marni, Wassalamu’alaikum.”
            “Waalaikum salam,” jawab Marni dan ibunya.
            Reri kembali pulang dengan diantar becak tadi, sesampainya di rumah tepat adzan maghrib, waktunya berbuka.
            “Wah, tidak terasa ya hari ini tak terasa haus kalau banyak kegiatan,” batin Reri.
            “Reri, bunda bangga sama kamu,” suara bunda tiba-tiba mengagetkan Reri yang baru dari cuci tangan kemudian akan berbuka.
            “Kenapa bunda?”
            “Pak Tarno, tukang becak langganan kamu kemarin bilang sama bunda, kalau kamu nggak naik becak ketika berangkat ke sekolah, pak Tarno pernah Tanya kan sama kamu, tapi kamu jawab, mau menabung dulu. Terus tadi sebenarnya ibu mengikuti kamu, mulai dari toko sepatu, sampai ke bantaran kali, rumah Marni, kamu memberinya sepatu dari hasil menabung kamu.”
            “Jadi bunda tahu rencana Reri?” Tanya Reri
            “Bunda tahu nak, kamu membuat bunda bahagia nak.” Kata bunda sambil tersenyum.
            “Kan bunda yang memberi contoh ke Reri.” Reri ikut tersenyum
            “Dan bunda bangga sama kamu,” sebuah ciuman sayang dari bunda ke kening Reri, Reri memeluk bundanya.
            Kemudian terdengar kumandang takbir, pertanda besok adalah hari idul fitri.

*          *          *


Solo, 6 Agustus 2012

PENGGALI PASIR (Cerpen : Danang Febriansyah)

* Dibukukan dalam Anotologi Cerpen Joglo 15 : Botol-botol Berisi Senja, TBJT Juni 2014)

Pohon-pohon waru mulai berbunga. Bunga berwarna ungu dan kecil-kecil menyebar di setiap ranting itu merupakan sebuah pertanda alam yang diyakini oleh orang-orang Desa itu sebagai sebuah kabar gembira karena hampir setahun lamanya  kemarau menyiksa padi-padi di sawah.
            Sebuah tanda-tanda yang diberikan alam akan datangnya musim penghujan. Itu berarti mereka bisa memanen hasil tanaman mereka musim ini, juga berarti bahwa tanaman mereka terutama padi yang mulai menguning itu tak jadi mati.
            Meskipun bisa dipastikan musim ini panen, tapi bagi sebuah keluarga kecil di tengah pedukuhan di sebuah Desa terpencil itu juga merupakan awal dari petaka dikeluarganya.
            Tangis juga menggerimis seiring hujan mulai menjatuhkan titik-titik airnya dengan begitu deras diiringi petir yang menyambar saling bersahutan bertubi-tubi. Tangis yang histeris memilukan hati para pelayat yang hadir di rumah itu. Tangis dari seorang ibu yang kemudian pingsan akibat tak kuasa menahan hati yang berdetak dan seakan meledak akibat ditinggal mati anaknya yang masih berusia dua belas belas tahun.
            “Ini gara-gara pak Margono!” geram pak Widi, ayah anak itu. Anak laki-laki yang kini telah membujur berselimut kain kafan di tengah ruangan. Sementara para pelayat mengitarinya sambil membacakan surat Yasiin yang terdengar perlahan. Dua orang ibu membantu ibu anak itu dengan mengoleskan balsem agar sadar dari pingsannya.
            Di depan rumah, terdengar sebuah truk datang menderu-deru. Lalu turun seorang laki-laki gempal dan berjalan menuju rumah yang tengah berduka. Pak Widi melihatnya, menatap lelaki gempal itu dengan pandangan mata yang begitu tajam.
            “Itu dia!” ucapnya sambil berdiri lalu mengambil golok yang terselip di dinding bambu rumahnya. Segera dia keluar rumah menghampiri lelaki gempal itu.
            “Margono!! Ngapain kamu datang ke sini?! Mau menambah duka kami?!” Teriaknya dengan mencengkeram kerah baju lelaki gempal yang bernama Margono itu sambil mengacungkan goloknya.
            “Ada apa ini?” Margono tampak begitu pucat melihat sambutan macam apa yang didapatnya.
            “Nyawa dibalas nyawa!”
            Margono tak sempat bicara. Para pelayat terkejut setengah mati.

*          *          *

            “Sekarangkan musim hujan No, lebih baik hentikan dulu pekerjaanmu menggali pasir, sungai bisa tiba-tiba banjir besar. Bukit-bukit cadas bisa saja runtuh,” ibu Tino menasehati anaknya ketika Tino baru berganti pakaian setelah pulang sekolah.
            “Iya bu, tapi Tino pingin sekolah, paling tidak sampai lulus SMP. Tino nggak pingin menyusahkan ibu dan bapak.”
            “Ibu ngerti Ton, tapi akhir-akhir ini hujan sudah mulai deras. Sekarang mendung di luar sudah gelap. Sebentar lagi pasti hujan. Hari ini kamu di rumah saja dulu. Lebih baik kamu membantu bapak kamu dulu menggarap sawah.”
            Sebuah truk menggeram di depan rumah Tino.
            “Pak Margono sudah datang bu, aku harus menggali pasir untuk diantar ke Kecamatan. Tino berangkat bu,” Tino menyalami ibunya dan berlari menghampiri truk pak Margono.
            Seperti sudah tahu apa yang terjadi, ibu Tino melepas kepergian anaknya dengan air mata yang perlahan mengalir. Teringat cita-cita Tino untuk menyelesaikan sekolahnya. Ketika Tino tahu orang tuanya tak mampu lagi membiayai sekolahnya saat surat peringatan sekolah datang kepada ayahnya, Tino nampak begitu sedih. Ingin rasanya membantu meringankan beban orang tuanya dengan bekerja. Maka diputuskan untuk menggali pasir di bukit-bukit cadas di pinggir sungai dengan bersemangat. Pak Margono yang tahu semangat yang menyala pada diri Tino, segera mengajak Tino untuk menaikkan dan menurunkan pasir ke dalam bak truknya untuk diantar pada pemesan dengan imbalan sepuluh ribu rupiah setiap kali mengangkut.
            Awalnya Tino tak meminta ijin pada orang tuanya, sampai akhirnya orang tua Tino tahu sendiri kegiatan anaknya itu sepulang sekolah. Meski setiap kali Tino berangkat, ibu Tino selalu was-was. Gua-gua di dinding bukit galian dari para penggali pasir untuk mencari pasir yang lebih lembut itu bisa saja tiba-tiba runtuh. Apalagi para penggali pasir tak dilengkapi peralatan keamanan.
            Hingga siang yang mendung itu datang ibu Tino melepas kepergian anaknya juga dengan perasaan khawatir. Truk itu segera berlalu meninggalkan rumah Tino.
            Di bukit cadas di tepi sungai yang lebar itu Tino bersama beberapa orang tua yang juga penggali pasir dengan bersemangat mengayunkan cangkulnya ke bukit cadas hingga membentuk lubang yang mereka harapkan di dalamnya akan ditemukan pasir yang lebih lembut daripada pasir-pasir yang sudah tersedia di tepi sungai. Tino masuk ke dalam lubang itu dan mendapatkan pasir yang diharapkan. Lubang yang dalam itu begitu gelap. Gemuruh suara petir tak mereka hiraukan. Seperti musim penghujan yang lalu-lalu, hujan deras disertai petirpun tak mereka hiraukan demi mendapat rupiah sebagai imbalan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Tapi bagi Tino, rupiah yang masuk ke sakunya adalah untuk membiayai sekolahnya.
            Sebentar kemudian sungai itu banjir. Banjir yang tak seperti biasanya, banjir yang besar. Gemuruh suara air sungai yang banjir itu membuat orang-orang di luar galian pasir itu segera berteriak memanggil teman-temannya yang masih di dalam lubang galian pasir untuk segera keluar. Dari beberapa lubang galian pasir satu-persatu penggali pasir keluar dan segera menyelamatkan diri. Tapi Tino karena semangat yang tetap menyala dan karena pendengaran Tino yang agak terganggu, ditambah gemuruh hujan yang mengguyur dan banjir yang membesar, Tino benar-benar tak mendengar teriakan orang-orang.
            Kemudian gemuruh bertambah, orang-orang panik, gemuruh itu bukan dari hujan ataupun banjir, tapi dari bukit cadas yang kemudian perlahan longsor, karena dinding-dindingnya banyak berlubang, sehingga tak kuat lagi menyangga bukit yang tampak kuat itu.
            Tino yang masih di dalam panik, segera dia berusaha keluar dari gua itu tapi ternyata lebih cepat longsor yang menutup pintu gua. Tino terpejam pasrah…

*          *          *

            “Ini gara-gara pak Margono!” geram pak Widi, ayah Tino di depan mayat anaknya yang telah terbungkus kain kafan.
            Lalu terdengar sebuah truk datang menderu-deru di depan rumahnya. seorang laki-laki gempal dan berjalan menuju rumah yang tengah berduka. Pak Widi melihatnya, menatap lelaki gempal itu dengan pandangan mata yang begitu tajam.
            “Itu dia!” ucapnya sambil berdiri lalu mengambil golok yang terselip di dinding bambu rumahnya. Segera dia keluar rumah menghampiri lelaki gempal itu.
            “Margono!! Ngapain kamu datang ke sini?! Mau menambah duka kami?!” Teriaknya dengan mencengkeram kerah baju lelaki gempal yang bernama Margono itu sambil mengacungkan goloknya.
            “Ada apa ini?” Margono tampak begitu pucat melihat sambutan macam apa yang didapatnya.
            “Nyawa dibalas nyawa!”
            Margono tak sempat bicara. Para pelayat terkejut setengah mati.
            Golok yang diayunkan pak Widi ke tubuh pak Margono meleset karena pak Margono dengan gesit menghindar dan membalikkan arah golok itu ke tubuh pak Widi.
            Semua tersentak. Pak Margono sendiri juga tersentak.

Sabtu, 28 April 2007



Tuesday, November 18, 2014

REVIEW : MENGEMAS KENANGAN (YUDITEHA & LUSI KRISTIANA)

Cover "Mengemas Kenangan"
MENGEMAS KENANGAN DENGAN INDAH
Judul               : Mengemas Kenangan
Jenis Buku       : Antologi Puisi
Pengarang       : Yuditeha & Lusi Kristiana
ISBN               : 978-602-0947-03-7
Tahun terbit     : Cetakan Pertama, Oktober 2014
Tebal               : 100 Halaman
Penerbit           : Bukutujju

Mengenang sesuatu dan mengemasnya dalam ruang hati yang khusus menjadi sebuah kenikmatan tersendiri. Ada air mata yang tumpah saat melihat foto penuh kenangan. Dalam diam melamun pun ada yang terlintas untuk dikenang. Dalam kesibukan pekerjaanlah kenangan-kenangan yang mengumbar air mata itu dapat dikendalikan, karena dalam menganggur segalanya bisa bermunculan. Lalu hanya doa yang terlantun agar semua kenangan itu dapat mengajarkan untuk bisa menjalani hidup dengan lebih baik.

Dalam kutipan puisi Lusi Kristiana yang judulnya diambil untuk judul buku antologi puisi ini, “Mengemas Kenangan”, penulis yang juga seorang guru dan barista handal ini menuliskannya sebagai berikut :
Apa yang ingin kau pisahkan
dari foto-foto manis
kenangan ini
mungkin tak seperti ketabahan sunyi
yang aku pinjam
untuk mengasuh air mataku
           
Tentang kenangan ini juga melahirkan rasa pedih dan seakan lupa pada masa lalu karena perubahan yang terjadi. Hal ini terungkap pada puisi Yuditeha (penulis novel Komodo Inside) yang berjudul “Kenangan” :
Sejak kapan kuraih mimpi itu?
Aku lupa.
Pertemuan itu telah menusukku.
Perih.
Pada sukma yang tergambar
Di jantungku.

            Antologi puisi ini adalah duet dua orang penulis sekaligus penyair yang tulisannya sudah malang melintang menjelajahi nusantara, Yuditeha dan Lusi Kristiana menuangkannya secara apik mulai dari hubungan antar manusia, tentang cinta, tragedi, bencana. Tentang agama dan ketuhanan juga tentang rasa kagumnya pada penulis terdahulu. Seperti sebuah nama “Pram” yang ditulis dalam sebuah bait, bisa jadi itu adalah Pramoedya Ananta Toer, sebab kata setelahya ditulis “akan bebas” yang kita tahu Pram adalah penulis hebat yang juga mantan tapol. Berikut kutipan dari puisi Yuditeha yang bertajuk “Sejarah” :
Berbeda satu jam sesudahnya.
Aku tertidur di senja hari, pipis lalu lelap lagi
dan kembali pulang setelah pidato kedua.
Semuanya sudah pasti tadi pagi.
Pram akan bebas.
Setelah semuanya membaca
masa lalu yang tak sia-sia.

Tidak hanya itu, adanya manusia di dunia ini pasti karena Kuasa Tuhan, Lusi Kristiana rupaya cukup religius. Puisi-puisinya sering yang menyangkut cinta pada Tuhan. Contoh kecil pada “Melati di Barisan Pohon Pinus”, dia menulis :
Wahai semesta cinta kasih
Curahkan cahaya cinta-Mu
Menerangi kegelapan ranah hidupnya.

Pada sisi yang lain, antologi puisi ini juga mengetengahkan rasa prihatinnya pada bencana yang menerpa tanah air ini. Dalam “Musibah”, Yuditeha membaca bencana banjir yang menerjang, di puisi ini, dia juga menuliskan ironi dalam musibah yang datang, dengan menyentil pembuat video tentang bencana ini.
Hujan telanjang melahap daratan.
Hingga malam memanggilmu.
Tapi kau malah pergi ke berjuta-juta mata
Menciptakan video.

Tak hanya itu, banyak lagi tema-tema kehidupan dan keluarga. Tentang orang tua, kadang mengkhususkan tentang ayah dan tentang anak. Juga hak-hak hidup kita sebagai manusia dan warga negara yang semua bermuara pada kehidupan.
Sejatinya antologi puisi ini bukan duet, dua orang yang mencipta satu puisi, tapi dua orang yang menggabungkan karya-karya mereka dalam sebuah buku. Meski sederhana, tapi dua penulis ini mampu membuka mata bahwa kita tak bisa lepas dari sebuah kenangan. Mereka mampu meluaskan makna kata, tanpa ada kata yang sia-sia. Karenanya, semua kenangan tersebut telah dikemas dengan indah.


Penulis Resensi : Danang Febriansyah

Monday, October 27, 2014

BEGINI JUGA, SAYA PUNYA KARYA

Perjalanan Karya +/- April 2007, Maret 2014, Juni 2014, Juni 2014

Buku pertama saya yang pernah dipublikasikan adalah Antologi Cerpen Joglo 4 : Cerpenis Terpilih pada tahun 2007.
Lama vakum menulis, akhirnya pada Maret 2014, cerpen saya masuk antologi lagi dalam Love Never Fails #3 yang diterbitkan oleh nulisbuku.com.
Kemudian Juni 2014 dua cerpen saya masuk dalam dua buku antologi, yaitu Joglo 15 : Botol-botol Berisi Senja oleh Taman Budaya Jawa Tengah dan Temukan Warna HIjau yang diterbitkan Elex Media Komputindo.
Insya Allah pada Januari 2015, 3 karya puisi saya dibukukan dalam antologi puisi Luka-luka Bangsa yang diterbitkan oleh Pangaro Media Utama Jogja.
Ketika menulis sudah menjadi perbuatan yang saya sukai, apresiasi terhadap karya sayapun menjadi kebanggaan tersendiri.
Harapan kedepan, saya akan mempunyai buku sendiri dalam rak best seller di seluruh toko buku. Amiin :-)

Thursday, September 11, 2014

ANTOLOGI CERPEN www.nulisbuku.com "LOVE NEVER FAILS #3"

Cover Antologi Cerpen Love Never Fails
Cover Buku Antologi Cerpen Love Never Fails
Februari 2014 saya coba mengirim salah satu cerpen saya untuk ikut lomba menulis cerpen di nulisbuku.com tanpa bermimpi menjadi pemenang, karena tahu pesertanya pasti akan sangat banyak dan pasti banyak karya yang lebih baik dari tulisan saya.
Langsung saja dengan percaya diri saya kirim cerpen saya PAGAR AYU dengan tema yang telah ditentukan www.nulisbuku.com, LOVE NEVER FAILS. Kemudian saya twit sinopsisnya di @nulisbuku Nothing to loose, menang sykur, tidak menang juga tidak masalah. Tapi ada ketentuan kalau ada cerpen yang layak dibukukan tapi bukan pemenang, maka akan dibukukan di nulisbuku.com.
Benar saja, peserta membludak hingga 1.100 cerpen masuk di situ, "wah, banyak banget," pikirku dan ngambang begitu saja. Saya hanya menikmati proses ini, tidak mempedulikan hasil, menang atau kalah, hal biasa, saya tidak ambisi untuk jadi yang terbaik, tapi saya selalu berusaha untuk menjadi lebih baik.
"Wow, cerpen saya masuk," bangga dan senang sekali, meski bukan pemenang, tapi teryata cerpen saya sudah layak diapresiasi dan dibukukan. Dalam buku antologi Love Never Fails, cerpen saya ada di buku #3. Dari seribuan peserta, saya masuk kategori yang bisa dibukukan. Alhamdulillah...Sebulan kemudian (Maret 2014), saya buka email, disitu ada email dari nulisbuku yang berisi pengumuman pemanang. Pemenang 1, 2 dan 3 tidak ada namaku. Memang tidak ambisi menang, saya sih tidak down. Biasa saja. Kemudian saya baca karya-karya yang layakdibukukan dan..
Tampilan Cover Love Never Fails #3

Allah tahu doa saya, saya ingin jadi penulis. Ini langkah saya ya Allah, wujudkan mimpi saya. Amiin.


Monday, September 1, 2014

DIBALIK CERPEN MAJALAH SERAMBI AL-MUAYYAD : BENING

BENING - SERAMBI SEP 2013


Setelah di Majalah Hadila, saya kembali mengirim cerpen untuk Majalah Serambi Al-Muayyad, sebuah majalah intern Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta. Cerpen lama saya coba kirim melalui email. Cerpen dengan judul Bening saya tulis atas inspirasi dari kalimat yang diucapkan oleh seorang penulis Donatus .A Nugroho "Tapi, siapa yang berani mencemburui Tuhan?" Dan berdasarkan kisah nyata yang pernah terjadi. Dari gabungan kedua ide itu, maka jadilah cerpen ini.
Kalimat tersebut saya anggap unik dan tentu saja menggelitik untuk saya kembangkan menjadi sebuah cerpen. Lalu cerpen inipun mendapat sambutan yang bagus pada saat acara Bahas Karya di FLP Soloraya yang dibedah oleh Komunitas Sastra Sketsa Kata, karena openingnya cukup menghentak.
Saya yakin kalau cerpen ini akan dimuat di majalah ini. Dan keyakinan saya pun terbukti dengan iringan sebuah kalimah Alhamdulillahirobbil 'alamiin. Pesan yang ingin saya sampaikan di cerpen ini adalah pacaran bukanlah sebuah jalan, namun mencintai Tuhan adalah yang utama.

DIBALIK CERPEN HADILA : LEBARAN RERI (DONGENG)




LEBARAN RERI - HADILA SEP 2013

Setelah sekian lama serasa ada ruang kosong karena bertahun-tahun seakan lepas dari imajinasi menulis, tak disangka cerpen anak yang saya tulis atas inspirasi dari ibu yang berprofesi sebagai pemulung dan dua anaknya yang kecil serta dari istri dan anak saya.
Cerpen tersebut kemudian saya kirimkan ke Majalah Hadila pada bulan Agustus 2013 tanpa bermimpi untuk dimuat. Namun pada September 2013, salah seorang teman di tempat kerja yang berlangganan Majalah Hadila mendapatkan majalah tersebut, dan saya membacanya. Tak mengira ternyata Cerpen yang saya kirim tersebut dimuat.
Inilah babak baru saya kembali sebagai pemula dalam dunia kepenulisan. Masih dengan rasa bahagia karena ternyata tulisan saya kembali masuk dalam sebuah media massa. Alhamdulillah. Semoga cerpen tersebut dapat memberi inspirasi dan bermanfaat.