Sunday, April 12, 2015

DI MALAM 3 SARIRA


Solo (10/4/2015) Mengulas buku puisi dari penulis berpengalaman? Sebuah hal yang sama sekali tidak saya pikirkan namun terjadi juga ketika saya menyetujui untuk mengulas buku puisi "Mengemas Kenangan" karya Yuditeha dan Lusi Kristiana di Balai Soedjatmoko, 10 April 2015 kemarin.
Pada kesempatan itu, hal yang saya takutkan adalah nervous. Sebagai seorang pemula dalam dunia kepenulisan dan berbicara di hadapan banyak penulis berpengalaman adalah hal pertama dalam hidup, bukan sebagai pembaca, tapi sebagai "pembicara" yang menguraikan apa yang terkandung dalam buku puisi tersebut.
Awalnya memang nervous, tapi setelah berjalannya acara, muncul juga rasa percaya diri bahwa saya bisa, saya bisa, saya bisa.
Dengan mengutip resensi puisi Mengemas Kenangan yang saya tulis beberapa waktu yang lalu, saya mengulasnya di malam itu sebagai berikut :
KEMASAN INDAH SEBUAH KENANGAN
Puisi seperti halnya budaya adalah karya adilihung yang tercipta dengan pendalaman pikiran begitu matang.Puisi menurut HB Yassin adalah pengungkapan dengan perasaan yang berisi pikiran dan tanggapan-tanggapan.
Mengenang sesuatu dan mengemasnya dalam ruang hati yang khusus menjadi sebuah kenikmatan tersendiri. Ada air mata yang tumpah saat melihat foto penuh kenangan. Dalam diam melamun pun ada yang terlintas untuk dikenang. Dalam kesibukan pekerjaanlah kenangan-kenangan yang mengumbar air mata itu dapat dikendalikan, karena dalam menganggur segalanya bisa bermunculan. Lalu hanya doa yang terlantun agar semua kenangan itu dapat mengajarkan untuk bisa menjalani hidup dengan lebih baik.


Dalam kutipan puisi Lusi Kristiana yang judulnya diambil untuk judul buku antologi puisi ini, “Mengemas Kenangan”, penulis yang juga seorang guru dan barista handal ini menuliskannya sebagai berikut :

Apa yang ingin kau pisahkan

dari foto-foto manis

kenangan ini

mungkin tak seperti ketabahan sunyi

yang aku pinjam

untuk mengasuh air mataku

Lusi Kristiana begitu lihai mengungkapkan diksi hanya dari melihat foto-foto kenangannya hingga pembaca menemukan feel saat membaca puisi tersebut.
Tentang kenangan ini juga melahirkan rasa pedih dan seakan lupa pada masa lalu karena perubahan yang terjadi. Hal ini terungkap pada puisi Yuditeha (penulis novel Komodo Inside) yang berjudul “Kenangan” :

Sejak kapan kuraih mimpi itu?

Aku lupa.

Pertemuan itu telah menusukku.

Perih.

Pada sukma yang tergambar

Di jantungku.


           Yuditeha tahu betul bahwa kenangan seperih apapun bisa menimbulkan keindahan jika diabadikan dalam sebuah puisi, seperti halnya puisi di atas.
Antologi puisi ini adalah duet dua orang penulis sekaligus penyair yang tulisannya sudah malang melintang menjelajahi nusantara, Yuditeha dan Lusi Kristiana menuangkannya secara apik mulai dari hubungan antar manusia, tentang cinta, tragedi, bencana. Tentang agama dan ketuhanan juga tentang rasa kagumnya pada penulis terdahulu. Seperti sebuah nama “Pram” yang ditulis dalam sebuah bait, bisa jadi itu adalah Pramoedya Ananta Toer, sebab kata setelahya ditulis “akan bebas” yang kita tahu Pram adalah penulis hebat yang juga mantan tapol. Berikut kutipan dari puisi Yuditeha yang bertajuk “Sejarah” :

Berbeda satu jam sesudahnya.

Aku tertidur di senja hari, pipis lalu lelap lagi

dan kembali pulang setelah pidato kedua.

Semuanya sudah pasti tadi pagi.

Pram akan bebas.

Setelah semuanya membaca

masa lalu yang tak sia-sia.


Tidak hanya itu, adanya manusia di dunia ini pasti karena Kuasa Tuhan, Lusi Kristiana rupaya cukup religius. Puisi-puisinya sering yang menyangkut cinta pada Tuhan. Contoh kecil pada “Melati di Barisan Pohon Pinus”, dia menulis :

Wahai semesta cinta kasih

Curahkan cahaya cinta-Mu

Menerangi kegelapan ranah hidupnya.


Seperti kata Arswendo Atomowiloto, bahwa salah satu tugas penulis adalah mencipta bahasa, Lusi Kristiana sepertinya tahu betul tugas itu dengan menyebut nama Tuhan dengan kata Semesta. Bagi saya itu sebuah kosakata baru yang begitu indah.
Pada sisi yang lain, antologi puisi ini juga mengetengahkan rasa prihatinnya pada bencana yang menerpa tanah air ini. Dalam “Musibah”, Yuditeha membaca bencana banjir yang menerjang, di puisi ini, dia juga menuliskan ironi dalam musibah yang datang, dengan menyentil pembuat video tentang bencana ini.

Hujan telanjang melahap daratan.

Hingga malam memanggilmu.

Tapi kau malah pergi ke berjuta-juta mata

Menciptakan video.


Tak hanya itu, banyak lagi tema-tema kehidupan dan keluarga. Tentang orang tua, kadang mengkhususkan tentang ayah dan tentang anak. Juga hak-hak hidup kita sebagai manusia dan warga negara yang semua bermuara pada kehidupan.
Sejatinya antologi puisi ini bukan duet, dua orang yang mencipta satu puisi, tapi dua orang yang menggabungkan karya-karya mereka dalam sebuah buku. Meski sederhana, tapi dua penulis ini mampu membuka mata bahwa kita tak bisa lepas dari sebuah kenangan. Mereka mampu meluaskan makna kata, tanpa ada kata yang sia-sia. Karenanya, semua kenangan tersebut telah dikemas dengan indah.
Hingga akhirnya berakhir juga bedah 3 antologi puisi di Balai Soedjatmoko dan kini saya menunggu acara selanjutnya di TBJT Solo 24/4/2015 untuk launching antologi buku puisi saya.