Solo (10/4/2015) Mengulas buku puisi dari penulis berpengalaman? Sebuah hal yang sama sekali tidak saya pikirkan namun terjadi juga ketika saya menyetujui untuk mengulas buku puisi "Mengemas Kenangan" karya Yuditeha dan Lusi Kristiana di Balai Soedjatmoko, 10 April 2015 kemarin.
Pada kesempatan itu, hal yang saya takutkan adalah nervous. Sebagai seorang pemula dalam dunia kepenulisan dan berbicara di hadapan banyak penulis berpengalaman adalah hal pertama dalam hidup, bukan sebagai pembaca, tapi sebagai "pembicara" yang menguraikan apa yang terkandung dalam buku puisi tersebut.
Awalnya memang nervous, tapi setelah berjalannya acara, muncul juga rasa percaya diri bahwa saya bisa, saya bisa, saya bisa.
Dengan mengutip resensi puisi Mengemas Kenangan yang saya tulis beberapa waktu yang lalu, saya mengulasnya di malam itu sebagai berikut :
KEMASAN INDAH SEBUAH KENANGAN
Puisi seperti halnya budaya adalah karya adilihung yang tercipta dengan pendalaman pikiran begitu matang.Puisi menurut HB Yassin adalah pengungkapan dengan perasaan yang berisi pikiran dan tanggapan-tanggapan.
Mengenang sesuatu dan mengemasnya dalam ruang hati yang khusus
menjadi sebuah kenikmatan tersendiri. Ada air mata yang tumpah saat melihat
foto penuh kenangan. Dalam diam melamun pun ada yang terlintas untuk dikenang.
Dalam kesibukan pekerjaanlah kenangan-kenangan yang mengumbar air mata itu
dapat dikendalikan, karena dalam menganggur segalanya bisa bermunculan. Lalu
hanya doa yang terlantun agar semua kenangan itu dapat mengajarkan untuk bisa
menjalani hidup dengan lebih baik.
Dalam kutipan puisi Lusi Kristiana yang judulnya diambil untuk
judul buku antologi puisi ini, “Mengemas Kenangan”, penulis yang juga seorang guru
dan barista handal ini menuliskannya sebagai berikut :
Apa yang ingin kau pisahkan
dari foto-foto manis
kenangan ini
mungkin tak seperti ketabahan sunyi
yang aku pinjam
untuk mengasuh air mataku
Lusi Kristiana begitu lihai mengungkapkan diksi hanya dari melihat foto-foto kenangannya hingga pembaca menemukan feel saat membaca puisi tersebut.
Tentang kenangan ini juga melahirkan rasa pedih dan seakan lupa
pada masa lalu karena perubahan yang terjadi. Hal ini terungkap pada puisi
Yuditeha (penulis novel Komodo Inside) yang berjudul “Kenangan” :
Sejak kapan kuraih mimpi itu?
Aku lupa.
Pertemuan itu telah menusukku.
Perih.
Pada sukma yang tergambar
Di jantungku.
Yuditeha tahu betul bahwa kenangan seperih apapun bisa menimbulkan keindahan jika diabadikan dalam sebuah puisi, seperti halnya puisi di atas.
Antologi
puisi ini adalah duet dua orang penulis sekaligus penyair yang tulisannya sudah
malang melintang menjelajahi nusantara, Yuditeha dan Lusi Kristiana
menuangkannya secara apik mulai dari hubungan antar manusia, tentang cinta,
tragedi, bencana. Tentang agama dan ketuhanan juga tentang rasa kagumnya pada
penulis terdahulu. Seperti sebuah nama “Pram” yang ditulis dalam sebuah bait,
bisa jadi itu adalah Pramoedya Ananta Toer, sebab kata setelahya ditulis “akan
bebas” yang kita tahu Pram adalah penulis hebat yang juga mantan tapol. Berikut
kutipan dari puisi Yuditeha yang bertajuk “Sejarah” :
Berbeda satu jam sesudahnya.
Aku tertidur di senja hari, pipis lalu lelap lagi
dan kembali pulang setelah pidato kedua.
Semuanya sudah pasti tadi pagi.
Pram akan bebas.
Setelah semuanya membaca
masa lalu yang tak sia-sia.
Tidak hanya itu, adanya manusia di dunia ini pasti karena
Kuasa Tuhan, Lusi Kristiana rupaya cukup religius. Puisi-puisinya sering yang
menyangkut cinta pada Tuhan. Contoh kecil pada “Melati di Barisan Pohon Pinus”,
dia menulis :
Wahai semesta cinta kasih
Curahkan cahaya cinta-Mu
Menerangi kegelapan ranah hidupnya.
Seperti kata Arswendo Atomowiloto, bahwa salah satu tugas penulis adalah mencipta bahasa, Lusi Kristiana sepertinya tahu betul tugas itu dengan menyebut nama Tuhan dengan kata Semesta. Bagi saya itu sebuah kosakata baru yang begitu indah.
Pada sisi yang lain, antologi puisi ini juga mengetengahkan rasa
prihatinnya pada bencana yang menerpa tanah air ini. Dalam “Musibah”, Yuditeha
membaca bencana banjir yang menerjang, di puisi ini, dia juga menuliskan ironi
dalam musibah yang datang, dengan menyentil pembuat video tentang bencana ini.
Hujan telanjang melahap daratan.
Hingga malam memanggilmu.
Tapi kau malah pergi ke berjuta-juta mata
Menciptakan video.
Tak hanya itu, banyak lagi tema-tema kehidupan dan keluarga.
Tentang orang tua, kadang mengkhususkan tentang ayah dan tentang anak. Juga
hak-hak hidup kita sebagai manusia dan warga negara yang semua bermuara pada
kehidupan.
Sejatinya antologi puisi ini bukan duet, dua orang yang mencipta
satu puisi, tapi dua orang yang menggabungkan karya-karya mereka dalam sebuah
buku. Meski sederhana, tapi dua penulis ini mampu membuka mata bahwa kita tak
bisa lepas dari sebuah kenangan. Mereka mampu meluaskan makna kata, tanpa ada
kata yang sia-sia. Karenanya, semua kenangan tersebut telah dikemas dengan
indah.Hingga akhirnya berakhir juga bedah 3 antologi puisi di Balai Soedjatmoko dan kini saya menunggu acara selanjutnya di TBJT Solo 24/4/2015 untuk launching antologi buku puisi saya.
No comments:
Post a Comment