Monday, May 7, 2018

LELAKI DI BELAKANG KEMUDI EKSKAVATOR

Sabtu, 5 Mei 2018


“Bagaimanapun juga, kita tidak bisa bertahan lagi di tempat ini.” Hening dan muram berbalut make up tebal diantara mereka. “Meski peluh kita bercucuran mempertahankannya, tapi mereka lebih punya kuasa!” Perempuan muda memberi wacana dalam kelompok masyarakat di bangunan yang berdiri di tepi sungai.


Bangunan-bangunan yang rapat dihiasi kerlap kerlip lampu itu, kini menjadi riuh oleh kabar yang semakin kencang beredar. Lampu-lampu yang beragam warna, malam ini seakan tak mampu memeriahkan kampung di tengah kota ini seperti malam-malam sebelumnya.


“Ini malam terakhir kita di sini. Nikmatilah. Dan besok kita akan berjuang!” Make up perempuan muda itu belum sepenuhnya luntur saat sia undur diri setelah menerima pesan singkat di telepon genggamnya.


***
Meski kampung itu dirundung gelisah, namun aktivitas malam – yang disebut sebagai malam terakhir –   itu tidaklah berhenti – belum benar-benar berhenti.

“Kau tahu, sudah berkali-kali kau menemuiku dan berakhir di ruang ini,” Kurantil, perempuan muda itu duduk di sisi ranjang. “Dan kau tidak melakukan apapun atas diriku.”


“Ya. Seperti yang sering kubilang, aku merasa nyaman bicara denganmu.” Lelaki tegap dihadapannya itu menjawab. “ Dan aku juga membayarmu seperti yang lain.”


“Aku tidak peduli seberapa nyaman dirimu, denganku atau yang lain. Karena cemburu itu bukan wilayahku.”


“Ada atau tidak tempat ini, aku harap kamu tetap ada saat aku membutuhkanmu.”


“Lupakan. Mungkin ini terakhir kita bertemu.” Kurantil menahan amarah. Lelaki di depannya ini bagaimanapun juga terlibat akan kelangsungan hidupnya.


“Tidak! Mengertilah. Kau akan ada di tempat yang jauh lebih layak dari tempat ini. Seperti yang kumau, kita pergi dari sini.”


“Sudahlah. Ini terakhir kita bertemu. Selesaikan seperti lelaki lain segera. Kau tak pernah melakukannya.”


Lelaki itu hanya diam tak melakukan yang disarankan Kurantil. Ia mengusap wajahnya dengan tangan. Lalu menatap wanita itu dengan tatapan memohon.


Tapi Kurantil sadar bagaimana posisinya saat ini – seperi dalam buku ‘Perempuan di Titik Nol’ yang pernah dibacanya – polesan wajah, pakaian dan aksesoris yang dikenakannya berada di kalangan atas. Bahkan ia merawat wajah dan tubuhnya di tempat dimana para kalangan atas – di dalamnya termasuk pejabat, pengusaha dan beberapa artis – juga merawat wajah dan tubuh mereka. 


Namun bila ia melihat dimana dia mengakhiri pendidikannya, tidak bisa dibilang Kurantil berpendidikan tinggi, meski tidak setinggi pendidikan lelaki berkumis di hadapannya ini, namun  tak juga berpendidikan rendah. Hanya ijasahnya saja yang menandakan bahwa ia berada di kalangan menengah.


Tapi, semua orang mengakui, tempatnya kini dan apa yang dilakukannya demi hidup yang dilaluinya, Kurantil sadar berada di kalangan rendah yang terpinggirkan. Meskipun begitu, semua kalangan termasuk Tambir, lelaki itu selalu mencarinya hanya untuk beberapa jam saja. Meskipun Tambir mencarinya dengan maksud yang berbeda.


“Aku tidak bisa mencegah penggusuran besok. Tapi aku bisa membawamu, meninggalkan tempat ini. Malam ini.” Tambir menunduk.


Kurantil menitikkan air mata dan disekanya dengan cepat sebelum Tambir melihatnya. Ia teringat kawan-kawannya yang berkumpul tadi. Kawan-kawan yang memilih kampung ini sebagai muara nasibnya. Yang sedia dianggap kaum rendah dan sampah masyarakat. Demi hidup yang akan terus berlangsung.


Ia tatap Tambir, seketika ia terseret pada sebuah perasaan yang sulit dicegah. Tambir yang sejak awal menemuinya beberapa bulan yang lalu, tak sekalipun melakukan yang seharusnya dilakukan saat wanita seperti dia membuka harga dirinya.


“Sejak mengenalmu. Aku berjanji akan berhenti melakukan itu. Kau berperan mengubahku,” kata Tambir kemudian.


Sejak pertemuan pertama dengan Tambir dan dilanjutkan hingga pertemuan yang berkali-kali, lelaki itu hanya mengajaknya bicara seakan untuk meluapkan segala beban hidup dan pekerjaannya. Hingga Kurantil tidak merasa bahwa beban hidupnya jauh lebih berat daripada Tambir. Dari Tambir jugalah, ia merasa diperlakukan sebagaimana layaknya manusia biasa, bukan perempuan yang dianggap menjijikkan.


Sekian lama bertemu, Tambir kemudian mengungkapkan sesuatu yang tidak pernah ia impikan saat ia terjun dalam dunia yang digeluti ini, “Menikahlah denganku.”


Mengingat itu, Kurantil merasa melayang, harapan yang tak pernah diimpikannya membuatnya melambung. Namun ia sadar perempuan macam apa ia dan tidak memberi jawaban pasti atas keinginan Tambir. Hingga malam sebelum penggusuran ini, harapan itu masih saja membumbung.




Ia lihat ketulusan di mata Tambir, sebab ia sudah terbiasa menatap mata banyak lelaki dari dekat, ia hapal mana mata yang jujur dan dusta. Kejernihan mata Tambir mengatakan sebuah kejujuran dan ketulusan. Namun ia kemudian kembali menginjak bumi, ia tidak mungkin meninggalkan kawan-kawannya yang tertindas. Apalagi ia tadi sempat mengatakan akan berjuang meski kemungkinan berhasil itu kecil. Ia akan berada di garis depan demi membela kepentingan kaum marjinal seperti mereka.


Kurantil meremas rambutnya. Dilema ini sungguh sulit dijawab. Suasana hening sejenak, meski dentuman musik-musik terdengar dari luar. Kurantil menatap tajam mata Tambir. Ia menghela napas panjang.


“Sejak kau memberiku impian indah itu, aku belum menolak atau menyetujui. Kau mestinya tahu kenapa. Tapi ...” Kurantil menunduk, “Hanya kau yang tak pernah menganggapku sebagai  kupu kupu malam,” lanjutnya seperti bisikan.


Keduanya terdiam, suara tawa orang-orang di luar terdengar dari dalam ruang bersekat triplek ini. Selebihnya di ruang yang remang ini, hanya sunyi yang ada.


Kalimat terakhir di depan kawan-kawannya tadi sebelum menerima pesan singkat dari Tambir seakan butuh pertanggungjawaban. Besok ia akan kembali mengobarkan semangat mempertahankan kampung yang telah ditinggalinya selama bertahun-tahun.


“Aku tetap menunggu jawabanmu, dan harapanku tidak pernah padam. Tapi besok, tugas mesti dijalankan.” Tambir berdiri dan pelan berjalan lalu menutup pintu dengan perlahan.


Kurantil yang masih duduk di sisi ranjang, kini melepaskan tangisnya.


***
Kerumuman orang, baik laki-laki maupun perempuan – termasuk Kurantil  sudah menghadang kedatangan Satpol PP sejak pagi. Mereka terus meneriakkan penolakan penggusuran yang dilakukan pemerintah kota atas kampung mereka.
Peluh mereka bagai hujan yang teramat deras saat apa yang ditunggu tiba. Rombongan Satpol PP disertai beberapa ekskavator dan dikawal ratusan polisi telah mendekat di kampung mereka. Mereka merangsek maju menghadang aparat tersebut.


Kurantil berlari maju dan mengobarkan semangat pada penghuni kampung itu, bahwa mereka tidak bisa digusur seenaknya saja. Ia menatap tajam lelaki-lelaki berseragam yang membawa pentungan dengan posisi siaga menyerang itu. Juga tak luput dari pandangannya kendaraan-kendaraan berat yang siap menghancurkan kampungnya.


Matanya kemudian tertuju pada sosok di belakang kemudi ekskavator. Ia merasa luluh menatap lelaki itu. Lelaki yang semalam bersamanya. Lelaki yang siap mengangkatnya pada posisi yang lebih baik jauh sebelum keputusan penggusuran ini dieksekusi. Lelaku yang dari matanya terpancar pesan ketulusan tanpa merendahkan dirinya.


Dari mata lelaki itu pula, kini terbaca pesan permohonan maaf dan meminta jawaban atas harapan Tambir. Kurantil terdiam saat itu hingga keakuannya digedor-gedor kawan-kawan seperjuangannya setelah hatinya diketuk dengan begitu lembut oleh Tambir.


Namun gedoran itu semakin kuat kala belalai ekskavator yang dikemudikan Tambir menghantam bangunan yang semalam ia dan Tambir berada di dalamnya. Sekilas ketika melakukan itu, mata Tambir penuh api. Dan gemuruh massa melemparkan batu pada aparat yang bertugas. Kerusuhan tak dapat dihindari. Kurantil juga terbakar emosinya, bersama warga kampung merangsek maju menyerang petugas. Hingga sebuah pentungan tepat mengenai kepalanya dan ia terjatuh. Pandangannya kabur saat dari sebuah ekskavator turunlah Tambir dan berlari menghampirinya, dan membawanya ke tempat yang lebih sejuk.


Selebihnya, saat bibir Tambir hendak mengatakan sesuatu, pandangan Kurantil menjadi gelap.


Tentang Penulis 


Danang Febriansyah, Karyanya berupa cerpen dan resensi buku pernah dipublikasikan di solopost, koran pantura, merah putih post, joglo semar dan radar mojokerto juga terdapat dalam beberapa Antologi. Saat ini tergabung dalam FLP Solo, pernah belajar bersama Sastra Alit Solo dan Alumni #KampusFiksi Jogja. Sedang merintis taman baca di sebuah desa dan tergabung dalam Forum TBM Wonogiri.