Sunday, October 30, 2016

PEREMPUAN TUA, PASIR DAN LELAKI MUDA



Cerpen : Danang Febriansyah
Dimuat di JOGLOSEMAR, Minggu, 30 Oktober 2016
http://epaper.joglosemar.co/folder/2016/10/301016/#p=6

            Jalan setapak yang di sisi kanan dan kirinya merupakan sawah-sawah itu terus terasa semakin licin. Selain menanjak, jalan kecil itu hanya berupa tanah. Menir harus membungkukkan badan tuanya agar sampai di atas. Tempat harapannya bersemi.
            Kakinya mencengkeram tanah yang basah dan jari-jari tangannya memegang erat rerumputan yang tumbuh di jalan setapak itu. Sesekali ia terpeleset namun dengan cepat, kakinya kembali menemukan pijakan.
            Saat sampai pada sebuah tanah yang agak datar, ia berdiri untuk sekedar mengelap keringat di wajahnya dengan kain jarik yang digunakan untuk menggendong beban di punggungnya.
Menir menghela napas melepaskan letihnya. Ia melihat tumpukan pasir di atas, 50 meter dari tempatnya berdiri kini. Di tepi jalan beraspal itu, pasir yang dikumpulkannya selama 3 hari ini hampir mencapai 1 rit. Menir kemudian menengok ke bawah. Terdapat sungai yang juga berjarak 50 meter dari dia berdiri saat ini. Separuh jalan. Air sungai itu mulai deras dan warnanya semakin cokelat.
Gareng tak dapat lagi dipercaya,” keluhnya pada serangga yang bertengger di pohon dan berbunyi nyaring itu. Gareng di tandai sebagai kemarau yang mulai hadir. Dulu, pertanda alam yang berupa berbunyinya serangga itu bisa dipercaya oleh warga desanya. Saat itu, musim kemarau dan penghujan masih bisa diprediksi dengan tepat.
Berbeda kini, seiring menuanya usia, Menir tak lagi percaya pada pertanda alam itu. Ia teringat bapaknya dulu selalu bercerita tentang karya Ronggo Warsito.
“Pasar ilang kumandange, udan ilang mangsane.”
Baginya itu semacam ramalan.
“Pasar hilang gemanya, hujan hilang musimnya.”
Dahulu, saat ia masih muda, pasar di kecamatan yang berjarak hampir 2 kilometer dari rumahnya selalu terdengar gema riuhnya. Begitu juga deru kendaraan yang tak pernah ia lihat wujudnya, ia dengar dari jarak hampir 8 kilometer.
Kata bapaknya, itu deru suara bis, sejenis kendaraan yang besar, yang akan mengantar penumpangnya jauh hingga ke kota besar. Namun tidak pernah melalui jalan di desanya. Hingga ia dewasa, barulah wujud bis bisa ia lihat saat berjualan gorengan di terminal.
Demikian juga suara selepan padi milik KUD di kecamatan juga bisa ia dengar setiap sore. Suaranya mirip pesawat terbang yang lewat jauh di atas desanya.
Kini suara-suara itu musnah. Tak dapat lagi ia dengar meski pasar, bis dan selepan padi masih beroperasi. Ketika mengingat ramalan Ronggo Warsito itu, ia menautkan pada keadaan sekarang bahwa ramalan itu benar adanya.
“Hujan hilang musimnya.”
Bahwa ia tadi berangkat ke sungai dengan cuaca yang cerah, secerah harapannya untuk mendapatkan upah dari pasir yang dikumpulkannya. Telah 3 kali ia naik turun antara sungai dan jalan untuk menumpuk pasir. Tumpukan pasir itu dapat ia lihat bagian atasnya dari tempatnya berdiri. Tempat dimana harapannya berkumpul.
Untuk mengumpulkan 1 rit pasir setara dalam 1 bak truk, ia perlu waktu 2 hingga 3 hari. Dalam 1 hari ia mampu mendaki jalan setakak dari sungai ke jalan dengan beban 1 keranjang pasir hinga bolak-balik 10 x. Kini di hari ke tiga, ia sudah bolak-balik sebanyak 3 kali, dahn pasir yang dikumpulkannya hampir sesuai target.
Air sungai warnanya mulai semakin pekat kecoklatan dengan aliran perlahan semakin deras. Itu menandakan daerah hulu sungai sudah turun hujan. Menir memandang langit, gelap oleh mendung. Gareng, serangga pembawa kabar datangnya musim kemarau tetap berbunyi nyaring meski prediksinya nyaris salah.
Tetapi ia harus menyelesaikan pekerjaannya, sebelum banjir di sungai menjadi lebih besar. Dalam hitungannya, di punggungnya ini pasir terakhir untuk 1 rit, pasir yang dikumpulkannya telah cukup. Dan seperti biasa truk akan segera datang mengambil pasir yang dikumpulkan dan membayar upah. Gundukan pasir dilihatnya bak setumpuk uang hasil kerjanya. Itulah harapannya.
Ia kembali menghela napas, bersiap melanjutkan jalan. Disingsingkannya kain jarik hingga selutut. Kembali tangannya mencengkeram rumput di depannya dan mulai melangkahkan kaki dengan tenaga yang semakin berkurang.
Menir agak kecewa ketika titik-titik air mulai berjatuhan. Ini angkatan terakhir, aku akan segera pulang membawa hasil. Pikirnya dengan terus berkonsentrasi pada beban dan jalan setapak yang semakin licin. Pandangannya terus menunduk menatap jalan agar tidak tergelincir.
Hingga suara deru kendaraan yang berhenti di atas tidak dihiraukannya. Hanya didengar dengan penuh harap. Sedikit lagi ia sampai di atas. Titik-titik air mulai menderas. Suara Gareng telah berhenti, malu karena prediksinya benar-benar tidak tepat.
Ia abaikan kaos partai yang dipakainya telah basah kuyup. Kaos yang diingatnya dulu diberikan oleh seseorang dengan membumbungkan harapan untuk hidup yang lebih baik. Ingatan itu seketika lenyap sebab kini kenyataannya ia masih bergelut dengan pasir. Ia rasakan segarnya air hujan membasuh gerahnya.
Semakin licin jalan setapak, semakin gembur tanah yang diinjak. Namun ia telah banyak belajar dalam meniti jalan yang tiap hari dilaluinya itu. Lalu dengan napas yang terengah-engah, ia telah sampai di atas, di tepi jalan beraspal dimana pasir-pasirnya terkumpul.
Dan di hadapannya, bukan truk pasir yang berhenti, bukan sopir truk yang membawa upahnya yang berdiri. Kendaraan yang berhenti saat ia berjalan tadi ternyata bukan dari kendaraan yang akan mengangkut pasirnya.
Yang di hadapannya, yang membuatnya terhenyak. Beban pasir di punggungnya jauh semakin berat dari seharusnya saat melihat seorang lelaki muda berpenampilan begitu rapi dan necis di bawah naungan payung.
Dulu, ia bertemu pertama kali dengan lelaki muda itu seperti membawa embun penyejuk di saat dahaga menyelimuti tenggorokannya. Beberapa bulan lalu. Dan atas saran kawannya, ia pun menerima bantuan dari lelaki muda itu tanpa syarat yang berbelit. Namun kini, embun yang dulu begitu segar itu seakan berubah menjadi batu besar yang menindih hidupnya.
Lelaki muda itu membuka sebuah buku kecil dan menyobek sebuah kertas berwarna kuning yang terselip dalam buku.
“Mbah Menir telah lama menunggak. Selalu banyak alasan untuk membayar. Bagaimanapun juga sekarang harus dilunasi!” kata pemuda itu pelan namun berat untuk didengarkan.
Tatapan pemuda rapi itu tajam menusuk raga tuanya. Manis kata-kata saat pertama bertemu kini tak lagi dirasakan manis. Begitu pedas kini.
“Maaf, pasirku belum dibayar.” Menir lirih menjawab sambil mengusap air hujan di wajahnya, tersamarkan dengan air mata.
“Selalu begitu alasannya!” kata pemuda itu makin meninggi. “Bayar!” lanjutnya bersamaan dengan petir yang menyambar.
Menir menatap ke langit yang gelap. Berharap ada setitik cahaya di sana.

DANANG FEBRIANSYAH, tergabung dalam #KampusFiksi, Sastra Alit dan FLP Solo. Tinggal di Wonogiri

Wednesday, September 14, 2016

EDAN



รพ Cerpen Danang Febriansyah
Dimuat di “Cerpen” Solo Pos Minggu Pon, 12 November 2006)

            Perlahan tapi pasti, apa yang disebut fikiran itu terus dan terus berkembang dengan sendirinya. Harusnya pemaksaan kehendak itu tak boleh terjadi, sebab fikiran memiliki mata dan sayap sendiri yang akan berkelana, mengembang dan mengepak agar menemukan kebebasan dan menemukan dirinya sendiri.
            Maka bisakah seekor anak burung yang dikurung sejak lahir akan terbang? Apalagi seorang manusia. Dia hanya bisa berteriak-teriak demi mendapatkan sebuah pembebasan dari keterkekangan di tengah sawah. Inilah kesunyian dalam kegaduhan di dirinya. Di pematang sawah paling atas dia merentangkan tangannya dan menatap angkasa. Teriakannya menggoyang padi-padi yang masih menghijau.
            Tak ada yang tahu apa yang bersembunyi dalam hatinya. Nampak hanya dia ingin mengoyak rantai-rantai kehidupan yang menghimpit segenap imajinasinya yang liar.
            “Rasa sayang telah lenyap!”
            Mejo, pemuda desa itu berjalan gontai seakan beban berat semakin ada dalam keranjang pikulannya. Sabit yang begitu tajam diselipkan di pinggangnya, rumput untuk makan kambing peliharaannya telah penuh dalam keranjang.
            Pemuda Desa itu jengah.
            Matahari telah condong ke barat. Setengah hari dia habiskan waktu di tengah hamparan persawahan. Menyabit rumput dari ujung selatan sawah hingga ujung utara. Beberapa bahu sawah telah dilewati untuk mendapatkan rumput. Untuk memenuhi dua keranjang besarnya. Untuk memenuhi kebutuhan makan beberapa kambing peliharaannya.
            Rasa panas membuatnya melepaskan caping dan mengipaskannya pada tubuhnya yang bersandar di bawah pohon turi. Ketika beban berat menyembul dalam ingatannya kembali. Dia hanya bisa berteriak keras, memenuhi persawahan itu.
            Kini dia beranjak pulang dengan segenap rasa bosannya. Ingin dia seperti teman-teman sepermainannya dulu. Ke kota, mendapat uang, memakai celana jeans, sepatu kets, baju yang dimasukkan ke dalam celana, wajah yang menjadi bersih, rambut kelimis penuh minyak, dan tentunya tubuh yang wangi.
            Dia ingin seperti itu. Sangat ingin!
            “Siapa yang mengurus kambing-kambing itu?” Ibu Mejo tampak tak setuju ketika dia mengutarakan keinginannya itu.
            “Apa simbok tak lihat betapa bersihnya si Sukar itu sekarang? baru satu tahun di kota penampilannya sudah berubah. Apa simbok selalu ingin melihat aku dekil dan dekil seperti ini terus?”
            “Namanya orang desa itu ya begini, ngurus sawah, ngurus kambing. Kalau kamu pergi siapa juga yang ngurus simbok yang sudah tua ini dan sawah kamu yang hanya sepetak itu?”
            “Kan kita bisa nyambat tetangga mbok?”
            Wis lah le, ra sah neko-neko. Orang kota nanti tak bisa makan kalau tak ada yang ngurus sawah.”
            Tampak perempuan renta tidak mau lagi berdebat dengannya. Lalu beranjak ke kamar tidur. Sementara dia masih tepekur di depan lampu ublik yang nyalanya makin mengecil. Seperti harapannya yang juga tampaknya makin kecil dan berakhir padam.
            “Simbok selalu memaksaku. Aku tak bisa menentukan jalanku sendiri, dia memang sudah tak sayang padaku,” katanya dalam hati sambil menatap ublik yang apinya mobat-mabit ditiup angin malam yang berhembus dari lubang dinding bambu rumahnya.
            Hingga rasa bahwa dia terkekang sejak bapak mati duapuluh dua tahun lalu itu tumbuh ke permukaan. Bapak mati ketika dia masih berumur lima tahun, sejak itu simbok tidak pernah mau menikah lagi, meski sudah dibujuk saudara-saudara simbok yang lain. Dia tidak ingin anak satu-satunya dimiliki oleh bapak yang lain. Simbok sangat mencintai bapak. Kesetiaannya berlanjut hingga saat ini. Sebagai imbasnya, simbok terlalu melindunginya, hingga dia sangat merasa tertekan, tak bisa mengembangkan sayap. Ibunya itu menjadi begitu galak. Dia sangat memaksakan kehendaknya, hingga dengan sangat terpaksa anaknya yang beranjak dewasa itu harus menurutinya. Di samping itu simbok tak pernah mau mengungkapkan alasan kenapa bapak mati. Padahal dia ingin tahu. Sebagai sebuah remisi sejenak adalah berteriak di tengah sawah ketika dia mencari rumput.
            Hanya ada rasa iri ketika lebaran datang, melihat teman-temannya dulu pulang dari perantauan mereka di kota dan telah berubah drastis. Ditambah gadis desa yang pernah disukainya dulu kini telah membawa laki-laki dari kota yang katanya calon suaminya dan sehabis lebaran mereka akan menikah. Betapa hambar hidup ini ketika cita-cita yang sangat diharapkannya tak pernah tergapai.
            “Ayo Jo, ikut ke kota saja. Aku jamin hidupmu pasti berubah,” bujuk Sukar sehabis sholat tarawih di mushola desanya. “Apa kamu nggak kepingin dapat uang? Terus di sana, ceweknya cantik-cantik, tinggal pilih saja,” tambah Sukar yang membuatnya makin tak betah tinggal di rumah.
            “Bagaimana ya Kar?”
            “Bagaimana apanya? Tiga hari sehabis lebaran, aku berangkat. Tempatku kerja masih ada lowongan.”
            “Ya aku pikir-pikir dulu deh. Tapi lowongan itu jangan berikan pada orang lain dulu ya?”
            Betapa berbedanya Sukar sekarang dengan Sukar setahun yang lalu. Betapa inginnya dia seperti Sukar. Dia ingin bebas dari rumput, dari sabit, dari sawah dan dari kambing. Betapa inginnya dia memakai celana jeans, sepatu kets dan minyak wangi. Betapa inginnya dia naik Bus!
            Tapi segala harapannya dijegal oleh seorang. Seorang yang memberinya makan, seorang yang perintahnya tak bisa dia tolak. Seorang yang sangat dia sayangi dan dia hormati. Seorang ibu yang dia panggil simbok.
            “Tapi kali ini aku harus lepas dari bayang-banyang simbok. Aku sudah dua puluh tujuh tahun. Sudah besar. Aku mau ke kota.”
            Dan ublik di depannya kehabisan minyak. Padam.

*          *          *

            “Kamu ngeyel yo? Hidup itu ya begini adanya, mau dekil, mau tidak, mau hidup di kota atau di desa, itu sudah digariskan Sing Gawe Urip. Kebaikan seseorang itu tak dilihat penampilannya. Yang penting kamu tetap di jalan lurus, baru hidupmu bermakna. Kamu tidak usah iri dengan teman-temanmu. Belum tentu kamu di kota akan mendapat kerja yang lebih baik. Pokoknya simbok nggak setuju!” alis simbok bertaut menambah keriputnya. Panjang lebar dia menelanjangi fikiran anaknya dengan wejangan. Mejo hanya menunduk. Tas ransel yang telah berisi bekal untuk pergi ke kota setia di samping kursi tempat dia duduk, tiga hari setelah puasa tahun ini.
            “Tapi mbok…”
            “Tapi apa? Kalau kamu rela hidup simbok makin menderita setelah kematian bapak kamu. Ya silahkan pergi!” ancam ibu Mejo.
            “Bukan begitu mbok, aku hanya ingin hidup kita berubah lebih baik. Aku nggak mau terus-terusan miskin seperti ini. Aku ingin punya banyak duit, biar bisa beli sawah lagi, beli sapi, memperbaiki rumah. Pokoknya aku yakin bisa jauh lebih baik kehidupan kita jika aku kerja di kota,” katanya berdalih, “Mbok, bagaimanapun juga aku pergi hari ini. Sukar sudah menungguku, aku pergi mbok. Doakan ya…” akhirnya dia beranjak pergi, tak mau berdebat lagi.
            Simbok hanya diam, pandangannya kosong, matanya berkaca-kaca, entah apa yang membebaninya. Pandangan perempuan tua itu tetap tertuju keluar rumah ketika tangan keriputnya dicium Mejo. Pandangan yang penuh beban kehampaan.
            Lalu dia pastikan langkah pergi ke kota. Sebenarnya dia juga merasa berat meninggalkan simbok. Dia sadar, siapa yang membesarkannya selama ini, hanya simbok seorang, tanpa bapak di sampingnya. Dia sangat menyanyangi ibunya meski apa yang dia lakukan selalu dimata-matai. Tapi dia sadar, semua itu disebabkan karena simbok sangat tak ingin kehilangannya. Dia juga sangat tak ingin kehilangan ibunya yang sudah renta itu.
            Sukar telah lama menunggu di jalan. Lalu mereka berjalan ke arah pos ojek untuk dilanjutkan ke terminal bus yang jaraknya sekitar lima belas kilo meter dari desa.
            Baru sekali ini dia naik bus. Sungguh!

*          *          *

            Seperti sebuah keajaiban, ketidak relaan orang tua itu membuatnya berubah dengan sangat telak, setahun kemudian. Ketika lebaran menjelang, dia pulang dan membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi lebih baik setelah kerja di kota.
            Mejo memang menjadi seorang yang lain. Seorang dengan penampilan seperti yang diinginkannya setahun yang lalu, cita-citanya untuk memakai sepatu, celana jeans, rambut kelimis dan minyak wangi, semua telah tercapai.
            Lebaran tahun ini dia berencana pulang. Menjenguk ibunya yang setahun ini tak diketahui kabarnya, karena sibuk oleh pekerjaan dan dia tak ingin terganggu jika harus mengetahui keadaan rumah. Tak pernah dia memberitahu keluarganya dimana dia kerja, karena dia tak ingin ada surat yang berisi betapa rindunya ibunya dengan dirinya. Dia ingin kerja dan kerja, membelikan sapi untuk simbok, membeli sawah sepetak lagi dan sedikit dapat memperbaiki rumahnya. Semua mengerucut menjadi satu tujuan, agar simbok bahagia di hari tuanya.
            Senyum yang mengembang seketika musnah seketika sejak pertama kali dia menginjakkan kakinya di rumah. Selain rumah yang makin reot, kandang kambing di depan rumah juga tak ada lagi penghuninya. Rumput-rumput liar bebas tumbuh di halaman dan tepi-tepi rumah. Dilihat rumah itu benar-benar tak terawat.
            Mejo mengitari rumahnya tapi tak ditemukan juga tanda-tanda kehidupan. Akhirnya dia masuk rumah. Ketika membuka pintu depan, debu-debu beterbangan keluar seakan telah lama terpenjara. Ruang dalam rumah itu gelap, tapi samar pandangannya hanya tertuju pada sosok yang duduk di sudut ruangan.
            Dan seakan semua hasil yang dibawanya dari kota tak ada artinya ketika tahu seorang itu adalah ibunya, ibu yang dipanggilnya simbok. Tas ransel di punggungnya dihempaskannya ke tanah lantai rumah. Dia segera menghambur.
            Betapa makin tak karuannya penampilan simbok kali ini. Apa yang menyebabkannya begini. Dua kakinya terkunci pada balok kayu. Kain yang dipakainya sungguh kumal. Kebaya robek di sana-sini dengan warna yang sungguh-sungguh kusam. Rambutnya yang gimbal makin memutih dan acak-acakan. Kulit dekil dan mengeluarkan bau yang busuk. Pandangannya kosong seperti pandangan ketika Mejo pamit akan kerja di kota. Bedanya, pandangan simbok kali ini adalah semakin kosong. Pasrah pada beban yang makin menghimpitnya. Tak memperhatikan kedatangan Mejo.
            “Mbok…” Mejo menyalami tangan ibunya yang dirantai dan menciuminya tanpa mempedulikan aroma bangkai yang menusuk. “Kenapa, jadi begini? Apa yang menyebabkan simbok dirantai seperti ini?” Mejo mencoba melepaskan ikatan rantai di tangan ibunya, tapi ikatan itu digembok dengan kuat.
            “Simbokmu edan,” seorang tetangganya telah berdiri di pintu depan. “Semuanya terjadi karena kamu.”
            Seperti sebuah pukulan benda yang amat berat menyesakkan dadanya. Semua terjadi karena dirinya. Mengapa? Mejo mendekati orang itu.
            “Karena saya?”
            “Dia murung semenjak kepergianmu, dan semakin hari dia semakin enggan mengurus dirinya sendiri, tertawa-tertawa dan kadang marah-marah tanpa sebab yang menyebabkan tetangga terganggu bahkan terancam. Akhirnya tetangga-tetangga memutuskan membawanya ke tempat mbah Karyo biar diberi japa mantra, tapi sampai lima kambing ditambah sepetak sawah kamu dijual, tak juga membuatnya sembuh, malah dia makin menjadi dan ngamuk tak karuan, karena makin membahayakan tetangga, akhirnya kami putuskan untuk mengurungnya dengan cara seperti ini.”
            “Dengan cara tak manusiawi begini?”
            “Maaf, itu terjadi karena dorongan orang-orang yang merasa takut dengan berubahnya mbokmu itu. Di samping itu dia ternyata masih trauma dengan kematian bapak kamu.”
            “Bapak saya mati kenapa?”
            “Dia mati di kota sejak kamu masih lima tahun, mayatnya ditemukan membusuk di tempat sampah.”
            Air mata Mejo setitik demi setitik mengalir perlahan. Kenyataan yang baru diketahuinya, alasan mengapa simbok begitu melindunginya, alasan kenapa simbok tak merelakan dia pergi merantau. Kenyataan yang baru disadarinya bahwa ternyata ibunya sangat menyanyanginya.
            “Tolong lepaskan dia.”
            “Apa jaminan kalau dia tidak akan mengganggu tetangga?”
            “Aku,” Mejo lalu menangis dan bersimpuh di hadapan simboknya.

*          *          *

           
Kamis, 15 Juni 2006           14.35 WIB

BENING



รพ Cerpen Danang Feb
(Dimuat di Majalah Serambi Al-Muayyad, 2013

            “Aku tak mencintaimu.”
Terdiam dalam seribu kalimat yang mengendap di hati terurai bersama amarah yang menyusup. Tiga kata yang begitu menikam dengan sangat telaknya.
Ketika apa yang telah menjadi sebuah kepastian itu direnggut tanpa terselamatkan, apalah daya untuk merebut kembali jika itu masalah hati.
“Betapa menyakitkan dipermainkan.”
“Hanya maafku terucap.”
“Sangat menyakitkan!!”
Lalu kenapa engkau rela menjadi kekasihku, ketika ku ucapkan kata cinta untukmu? Baru kemarin kau menjadi kekasihku. Bukankah aku telah menerima tantanganmu untuk benar-benar menjadikanmu sebagai calon pendamping hidupku hingga makam menerima kita untuk masuk ke dalamnya? Tapi kenapa baru sehari kemarin, kini kau pergi begitu saja dengan memporak-porandakan hatiku?
            “Maaf.”
            Lagi-lagi hanya permintaan maafmu yang kau ucapkan, tanpa bisa menjelaskan alasan kenapa engkau hanya dua puluh empat jam menjadi kekasihku dan pagi ini kau menghempaskanku kembali dalam jurang yang teramat gelap. Aku terpuruk.
            “Baru sekali ini aku dipermainkan. Dan cukup kali ini saja!”
            “Aku memang tak bisa mencintaimu, meski ku telah berusaha. Tapi aku sayang kamu, makanya aku enggan untuk membohongimu lebih lama lagi.”
            Betapa bodohnya engkau, dengan mudah menerimaku, lalu dengan mudah pula kau melepasku. Kau anggap apa aku ini?
            “Hanya satu pertanyaanku, apa alasanmu menerimaku menjadi kekasihmu?”
            Kamu hanya menunduk dalam mendengar pertanyaanku ini. Kulihat airmatamu mengalir deras mengguncang bahumu. Tanganmu mencoba membendungnya tapi tetap tak bisa, air mata itu tetap saja mengalir, bahkan makin deras.
            “Kenapa?”
            Aku mencoba tak terusik dengan tangismu. Pepohonan bergoyang landai, anginnya membelai rambutmu yang tergerai. Batu tempat kita duduk ini terdiam, sementara air sungai yang menyapu kaki kita mengalir mengiringi tangismu, mengiringi luka hatiku.
            Kamu mencoba menata hati. Kau hela nafas panjang, disela-sela kicau burung meramaikan pagi.
            “Aku …”
            Masih saja kau belum bisa mengemukakan alasanmu. Kamu tetap saja seperti tak kuasa menyakiti hatiku, meski benar-benar telah mengoyak hatiku.
            Sementara aku makin diiris rasa penasaran yang menggelegak, kau kembali menitikkan air mata. Tangis yang seharusnya keluar dari mataku, bukan darimu. Betapa ini sungguh menyakitkan. Ketika satu janji terucap dihati pada saat menjelang Ramadhan kali ini untuk menghilangkan sifat temperamentalku, pada saat itu pula aku dibuat untuk meledakkan amarahku. Aku tetap mencoba bertahan untuk tak mengumbar emosi ini. Karena kamu. Aku ingin Ramadhan kali ini benar-benar dapat meredakan amarahku. Tapi seakan kamu malah menambah dendam yang membara.
            Hembusan angin seperti menjawab semua pertanyaan dan membawa amarahku pergi menjauh. Kuhela nafas untuk melonggarkan sesak di dada ini. Kutunggu reda tangismu.
            Aku hanya ingin tahu alasanmu, kenapa kamu begitu mudahnya mematahkan hatiku yang telah terpaku padamu, dan berjanji akan membawamu pada sebuah kebahagiaan dalam pernikahan.
            Aku berdiri. Mencoba melemaskan urat yang membuatku tak betah menghadapi kenyataan ini.
            “Baik, rupanya kamu suka mempermainkanku dengan cara seperti ini. Aku salah dalam menilaimu. Aku mengira kau begitu lembut dan hebat. Tapi kau tak ada bedanya dengan …”
            Aku tak kuasa menyebutnya. Tapi memang aku begitu terbebani dengan kebisuanmu.
            “Aku tak bermaksud mempermainkan cintamu.”
            “Lalu?”
            “Aku sayang kamu.”
            “Terus?”
            “Tapi…”
            “Tapi kau tak mencintaiku?”
            Kamu mengangguk.
            Betapa anehnya. Baru kemarin kamu menerimaku sebagai kekasihmu. Dan sekarang, di sini, di sungai ini, pada waktu yang sama seperti kemarin, seperti saat kamu menerimaku sebagai kekasihmu, kamu menghempaskanku dengan begitu dahsyat. Aku tak bisa menghindar.
            “Lalu, kenapa kau mau menjadi kekasihku?”
            “Aku nggak mau menyakitimu.”
            “Dengan merampas cintaku ini, kau mengira tak menyakitiku?”
            “Bukan.”
            “Lalu?”
            “Aku lebih mencintai yang lain”
            Meledak seluruh alam, meledak seluruh dunia. Ingin rasanya ku menampar mukamu, lalu kudorong hingga tercebur ke sungai. Hingga mampus, ku tak peduli.
            “Kenapa kau menerimaku, jika kau telah mencintai yang lain?”
            “Aku bertemu dengannya setelah aku menerimamu.”
            “Jadi …”
            Aku terbelalak, serasa benar-benar kudipermainkan dengan begitu menyakitkan. Ingin saja niat jahatku kulampiaskan. Tapi tidak, aku harus bisa menepati janji pada diriku sendiri untuk bisa mengendalikan emosi. Kata-kataku lenyap di rampas kemarahan. Kau lebih memilih dia setelah menerimaku. Begitu mudahnya kau menyakiti hatiku. Aku menjadi heran, kau yang begitu dewasa, ternyata begitu mudahnya jatuh cinta. Ada apa dibalik kelembutanmu itu?
            “Bukan begitu maksudku. Seharian kemarin aku berusaha berfikir jernih. Dan begitulah keputusanku, aku menemukan kebeningan. Aku meninggalkanmu agar bisa lebih dalam mencintainya.”
            Kucoba tegar dengan segala keadaan ini. Ingin kudengar lebih jelas bagaimana maksudmu. Aku benar-benar tak mengerti ada apa dalam fikiranmu. Cemburu yang begitu hebat menggelayut manja di jiwaku.
            “Siapa yang beruntung mendapatkan cintamu itu?”
            “Sebenarnya aku yang beruntung mendapatkan cintanya.”
            Kamu lagi-lagi seakan berusaha membakar hatiku hingga hangus. Kau tak menganggap sedikitpun dengan cintaku. Kau memandang sebelah mata rasa cintaku ini. Bukankah kau juga seharusnya merasa beruntung dengan cinta yang besar kuberikan padamu?
            “Siapa dia?”
            Aku tetap berusaha mencoba tenang, mengenyampingkan temperamental yang menjadi bagian dari hidupku ini. Meski aku benar-benar dibakar amarah.
            Kamu diam. Benar-benar diam. Membuat darahku mendidih.
            “Siapa?”
            Kuulangi pertanyaanku agar kau yakin bahwa aku memang ingin tahu siapa sebenarnya yang telah merenggutmu dari hatiku. Berusaha bersabar menunggu jawabanmu. Berusaha bersabar dan menerima segala keadaan ini. Aku harus bisa mengendalikan amarah yang membuncah ini.
            Kau hela nafas.
            “Illahi …” lirih ucapmu namun begitu jelas terdengar oleh telingaku.
            Angin lembut berhembus. Burung menghentikan kicauannya seakan juga mencoba mendengar ucapanmu. Angin menyejukkan alam, menyejukkan hati.
            Aku memahami.
            Tak beraniku mencemburui Tuhan.


Rabu, 31 Mey 2006             07.05 WIB
Inspired by ucapan Donatus A. Nugroho “Tapi, siapa yang berani mencemburui Tuhan?”