þ Cerpen Danang Feb
(Dimuat di Majalah Serambi Al-Muayyad, 2013
“Aku tak
mencintaimu.”
Terdiam dalam seribu kalimat yang mengendap di hati
terurai bersama amarah yang menyusup. Tiga kata yang begitu menikam dengan
sangat telaknya.
Ketika apa yang telah menjadi sebuah kepastian itu
direnggut tanpa terselamatkan, apalah daya untuk merebut kembali jika itu
masalah hati.
“Betapa menyakitkan dipermainkan.”
“Hanya maafku terucap.”
“Sangat menyakitkan!!”
Lalu kenapa engkau rela menjadi kekasihku, ketika ku
ucapkan kata cinta untukmu? Baru kemarin kau menjadi kekasihku. Bukankah aku
telah menerima tantanganmu untuk benar-benar menjadikanmu sebagai calon
pendamping hidupku hingga makam menerima kita untuk masuk ke dalamnya? Tapi
kenapa baru sehari kemarin, kini kau pergi begitu saja dengan
memporak-porandakan hatiku?
“Maaf.”
Lagi-lagi hanya
permintaan maafmu yang kau ucapkan, tanpa bisa menjelaskan alasan kenapa engkau
hanya dua puluh empat jam menjadi kekasihku dan pagi ini kau menghempaskanku
kembali dalam jurang yang teramat gelap. Aku terpuruk.
“Baru sekali ini
aku dipermainkan. Dan cukup kali ini saja!”
“Aku memang tak
bisa mencintaimu, meski ku telah berusaha. Tapi aku sayang kamu, makanya aku
enggan untuk membohongimu lebih lama lagi.”
Betapa bodohnya
engkau, dengan mudah menerimaku, lalu dengan mudah pula kau melepasku. Kau
anggap apa aku ini?
“Hanya satu
pertanyaanku, apa alasanmu menerimaku menjadi kekasihmu?”
Kamu hanya menunduk
dalam mendengar pertanyaanku ini. Kulihat airmatamu mengalir deras mengguncang
bahumu. Tanganmu mencoba membendungnya tapi tetap tak bisa, air mata itu tetap
saja mengalir, bahkan makin deras.
“Kenapa?”
Aku mencoba tak
terusik dengan tangismu. Pepohonan bergoyang landai, anginnya membelai rambutmu
yang tergerai. Batu tempat kita duduk ini terdiam, sementara air sungai yang
menyapu kaki kita mengalir mengiringi tangismu, mengiringi luka hatiku.
Kamu mencoba menata
hati. Kau hela nafas panjang, disela-sela kicau burung meramaikan pagi.
“Aku …”
Masih saja kau
belum bisa mengemukakan alasanmu. Kamu tetap saja seperti tak kuasa menyakiti
hatiku, meski benar-benar telah mengoyak hatiku.
Sementara aku makin
diiris rasa penasaran yang menggelegak, kau kembali menitikkan air mata. Tangis
yang seharusnya keluar dari mataku, bukan darimu. Betapa ini sungguh
menyakitkan. Ketika satu janji terucap dihati pada saat menjelang Ramadhan kali
ini untuk menghilangkan sifat temperamentalku, pada saat itu pula aku dibuat
untuk meledakkan amarahku. Aku tetap mencoba bertahan untuk tak mengumbar emosi
ini. Karena kamu. Aku ingin Ramadhan kali ini benar-benar dapat meredakan
amarahku. Tapi seakan kamu malah menambah dendam yang membara.
Hembusan angin
seperti menjawab semua pertanyaan dan membawa amarahku pergi menjauh. Kuhela
nafas untuk melonggarkan sesak di dada ini. Kutunggu reda tangismu.
Aku hanya ingin
tahu alasanmu, kenapa kamu begitu mudahnya mematahkan hatiku yang telah terpaku
padamu, dan berjanji akan membawamu pada sebuah kebahagiaan dalam pernikahan.
Aku berdiri.
Mencoba melemaskan urat yang membuatku tak betah menghadapi kenyataan ini.
“Baik, rupanya kamu
suka mempermainkanku dengan cara seperti ini. Aku salah dalam menilaimu. Aku
mengira kau begitu lembut dan hebat. Tapi kau tak ada bedanya dengan …”
Aku tak kuasa
menyebutnya. Tapi memang aku begitu terbebani dengan kebisuanmu.
“Aku tak bermaksud
mempermainkan cintamu.”
“Lalu?”
“Aku sayang kamu.”
“Terus?”
“Tapi…”
“Tapi kau tak
mencintaiku?”
Kamu mengangguk.
Betapa anehnya.
Baru kemarin kamu menerimaku sebagai kekasihmu. Dan sekarang, di sini, di
sungai ini, pada waktu yang sama seperti kemarin, seperti saat kamu menerimaku
sebagai kekasihmu, kamu menghempaskanku dengan begitu dahsyat. Aku tak bisa menghindar.
“Lalu, kenapa kau
mau menjadi kekasihku?”
“Aku nggak mau
menyakitimu.”
“Dengan merampas
cintaku ini, kau mengira tak menyakitiku?”
“Bukan.”
“Lalu?”
“Lalu?”
“Aku lebih
mencintai yang lain”
Meledak seluruh
alam, meledak seluruh dunia. Ingin rasanya ku menampar mukamu, lalu kudorong
hingga tercebur ke sungai. Hingga mampus, ku tak peduli.
“Kenapa kau
menerimaku, jika kau telah mencintai yang lain?”
“Aku bertemu
dengannya setelah aku menerimamu.”
“Jadi …”
Aku terbelalak,
serasa benar-benar kudipermainkan dengan begitu menyakitkan. Ingin saja niat
jahatku kulampiaskan. Tapi tidak, aku harus bisa menepati janji pada diriku
sendiri untuk bisa mengendalikan emosi. Kata-kataku lenyap di rampas kemarahan.
Kau lebih memilih dia setelah menerimaku. Begitu mudahnya kau menyakiti hatiku.
Aku menjadi heran, kau yang begitu dewasa, ternyata begitu mudahnya jatuh
cinta. Ada apa
dibalik kelembutanmu itu?
“Bukan begitu
maksudku. Seharian kemarin aku berusaha berfikir jernih. Dan begitulah
keputusanku, aku menemukan kebeningan. Aku meninggalkanmu agar bisa lebih dalam
mencintainya.”
Kucoba tegar dengan
segala keadaan ini. Ingin kudengar lebih jelas bagaimana maksudmu. Aku
benar-benar tak mengerti ada apa dalam fikiranmu. Cemburu yang begitu hebat
menggelayut manja di jiwaku.
“Siapa yang
beruntung mendapatkan cintamu itu?”
“Sebenarnya aku
yang beruntung mendapatkan cintanya.”
Kamu lagi-lagi
seakan berusaha membakar hatiku hingga hangus. Kau tak menganggap sedikitpun
dengan cintaku. Kau memandang sebelah mata rasa cintaku ini. Bukankah kau juga
seharusnya merasa beruntung dengan cinta yang besar kuberikan padamu?
“Siapa dia?”
Aku tetap berusaha
mencoba tenang, mengenyampingkan temperamental yang menjadi bagian dari hidupku
ini. Meski aku benar-benar dibakar amarah.
Kamu diam.
Benar-benar diam. Membuat darahku mendidih.
“Siapa?”
Kuulangi
pertanyaanku agar kau yakin bahwa aku memang ingin tahu siapa sebenarnya yang
telah merenggutmu dari hatiku. Berusaha bersabar menunggu jawabanmu. Berusaha
bersabar dan menerima segala keadaan ini. Aku harus bisa mengendalikan amarah
yang membuncah ini.
Kau hela nafas.
“Illahi …” lirih
ucapmu namun begitu jelas terdengar oleh telingaku.
Angin lembut
berhembus. Burung menghentikan kicauannya seakan juga mencoba mendengar ucapanmu.
Angin menyejukkan alam, menyejukkan hati.
Aku memahami.
Tak beraniku
mencemburui Tuhan.
Rabu, 31 Mey 2006 07.05 WIB
Inspired
by ucapan Donatus A. Nugroho “Tapi, siapa yang berani mencemburui Tuhan?”
No comments:
Post a Comment