Tuesday, September 6, 2016

ORASI


Dimuat di Merah Putih Pos, 2016-06-15 14:49:49


Pemuda itu berdiri paling depan dengan peluh bercucuran di wajahnya. Dia memegang bendera Negara di tangan kanannya dan pengeras suara di tangan kirinya. Panasnya matahari tidak menyurutkan semangatnya.
Puluhan pemuda lain berdiri di belakangnya, barisan paling depan membawa spanduk yang bertuliskan kalimat-kalimat yang intinya bahwa penguasa negeri tidak menepati janji kampanye, harga-harga melambung tinggi, karenanya penguasa negeri ini harus diturunkan dari jabatannya.
Pemuda itu berteriak-teriak penuh semangat. Memberikan orasi penuh daya dobrak. Demonstrasi itu telah diawali sejak tadi mulai dari mereka keluar dari gerbang kampus dan sekarang berhenti di depan gerbang kantor balaikota.
Yel-yel berkumandang di saentero kota. Mereka berharap suara-suara yang diperdengarkan dari pengeras suara mampu disambungkan walikota ke penguasa negeri.
Kini pemuda berpeluh itu berjalan mondar-mandir di depan kumpulan demonstran, bendera dikibarkan dan berteriak penuh semangat, menggentarkan banyak orang. Tangan diangkat ke atas, seakan menghancurkan penguasa yang di atas.
Dalam orasinya, pemuda itu meguraikan segala yang mengendap dihatinya, dengan penuh kebencian dia berkata bahwa penguasa saat ini tidak disiplin, tidak berbuat seperti yang dijanjikan saat kampanye dulu. Penguasa ini pendusta. Membiarkan harga-harga naik tidak terkendali, membiarkan rakyat pontang-panting mengatasi harga yang tinggi.
Sebagai penguasa haruslah seperti nabi panutannya, bertanggungjawab atas segala hal yang terjadi di negeri ini. Lalu pemuda itu berteriak dengan pengeras suara seperti kalimat-kalimat yang bertebaran di media sosial tentang hujatan pada penguasa negeri. Sebagian besar dari para demonstran menyetujui apa yang dikatakan pemuda berpeluh.
Beberapa polisi berjaga-jaga di depan gerbang balai kota. Polisi tidak banyak yang bertugas menjaga karena demonstran itu juga tidak begitu banyak. Tentu hal itu akan menjadi sebuah kecerobohan. Para demonstran itu adalah pemuda yang mampu berbuat lebih dari yang diperkirakan.
“Merdeka!” Pemuda berpeluh mengobarkan semangat yang disambut oleh pemuda yang lain.
Seorang pemuda bertubuh kurus yang dari tadi banyak diam keluar dari kelompok dan maju mendekati pemuda berpeluh.
“Biar kugantikan,” ujar pemuda kurus. “Kamu telah keluar kendali,” tambahnya datar.
Pemuda berpeluh menoleh pada pemuda kurus. Pandangannya menyelidik, bagian mana dia yang keluar kendali?
“Ingat kemarin lusa saat kamu jadi panitia?” Pemuda kurus mencoba mengingatkan.
Kemarin lusa pemuda berpeluh menjadi ketua panitia sebuah kegiatan di kampus mereka. Ia mengingatnya namun tidak paham apa yang dimaksud pemuda kurus temannya itu.
“Oke. Kita minggir dulu. Serahkan bendera itu pada dia.” Pemuda kurus menunjuk temannya yang lain yang segera disambut menggantikan orasi pemuda berpeluh.
Mereka berdua duduk di trotoar. Mereka mengusap keringat yang membanjir di wajah.
“Kamu tahu Bill. Kita demo demi negeri yang lebih baik,” kata pemuda kurus pada pemuda berpeluh yang dia panggil Bill.
“Sangat tahu. Lalu apa yang kau maksud, Barak?” sahut Bill pada Si Kurus Barak.
“Seperti pemahaman kita. Yang kita bicarakan adalah representasi dari yang kita lakukan.”
Bill mengangguk. “Lalu?”
“Dua hari yang lalu kamu sebagai ketua panitia datang terlambat, dan kamu sering melakukan itu. Tapi dua hari yang lalu sangat terlambat. Itu membuat semuanya kacau.”
“Apa hubungannya dengan demo ini?”
“Kamu hujat penguasa karena tidak disiplin. Karena bohong. Ingkar janji. Dan segala sumpah serapah yang lain,” jawab Barak. “Apa kamu tidak melihat dirimu sendiri? Apakah kamu merasa lebih baik? Lebih mampu? Sedang kamu ingkar janji pada acara kemarin itu.”
Bill menunduk. “Tidak,” gumamnya rendah. Berpikir.
“Apa dengan sumpah serapahmu itu kamu merasa mampu mengubah dan mencubit penguasa?”
Bill tidak terima, ia menatap Barak. “Lalu apa kita harus diam?”
“Aku tidak bicara begitu. Aku hanya mengingatkan, dengan orasimu itu, ajaklah dirimu sendiri juga. Jangan sampai niat baik kita ini, niat baikmu menjadi hujatan penuh kebencian karena dendam pilihanmu dulu dikalahkan.”
Bill tertawa. “Oh ternyata kamu membela penguasa terpilih ini, yang tukang bohong, ingkar janji. Karena dia pilihanmu? Pilihan yang salah, kawan! Dia itu pinokio, hanya boneka yang semakin bohong, semakin panjang hidungnya.” Bill berteriak.
“Cukup, Bill! Panutan kita tidak mengajarkan kebencian!”
“Persetan dengan ocehanmu!” Bill berdiri dan segera merebut bendera yang dipegang kawannya tadi. Ia mulai berorasi lagi. Lebih keras. Lebih kasar. Lebih liar.
Membuat massa makin bergejolak. Dalam hal ini suasana semakin panas seiring sengatan matahari siang yang membakar. Massa merangsek maju.
Suasana penuh dendam. Penuh kebencian. Massa yang awalnya hanya berjumlah puluhan itu, kini makin besar, sekitar seratusan. Membuat mereka makin berani, makin beringas. Dalam kerumunan itu ada yang memulai melempar batu pada polisi yang bertugas mengendalikan massa.
Teriakan Bill menggunakan megaphone agar terkendali tidak dihiraukan. Bill yang orasinya membakar dan tidak terkendali dipahami massa untuk semakin ganas.
Barak yang melihat massa tidak terkendali, mulai surut. Sekilas ia lihat Bill juga akhirnya larut dalam menyerang petugas. Polisi kemudian meminta bantuan, mereka kewalahan menghadapi massa yang beringas. Pengendali massa kian banyak berdatangan membuat massa kocar kacir. Beberapa orang yang tertangkap dihajar ditempat.
Namun Barak tidak melihat Bill. Bahkan sejak massa bisa diredam, kabar tentang Bill tidak pernah terdengar. Hingga kini.

Karya: Danang Febriansyah
Editor: Ivan Tirdianata

No comments: