Monday, January 30, 2017

BELAJAR CINTA DARI CERITA CINTA (Resensi Buku "Balada Bidadari")


Cover Buku "Balada Bidadari"

 (Dimuat di "Radar Mojokerto", Minggu, 29 Januari 2017)
Judul               : BALADA BIDADARI
Jenis Buku       : Fiksi
Penulis             : Yuditeha
ISBN               : 978-602-412-161-7
Tahun terbit     : November 2016
Tebal               : x + 134 hal
Penerbit           : Penerbit Buku Kompas

Jika cinta hanya berkutat pada hubungan kasih antar lawan jenis itu sudah biasa. Namun jika cinta tersebut dijalani dalam berbagai peristiwa bersamaan dengan kisah-kisah yang mendalamkan perasaan cinta itu sendiri, akan berkembang menjadi sebuah hal yang tentu menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi kejadian-kejadian tersebut akan mengekalkan hubungan, di sisi lain, jika merasa terbebani dengan masalah, cinta akan bertindak bodoh dan menimbulkan kematian yang konyol.
Di sinilah pembaca karya sastra di samping mengetahui “hitam-putih”, juga selayaknya mengenal “warna lain” selain itu. Pembaca tidak hanya dicerahkan oleh sebuah kisah, namun juga bisa dicerdaskan melalui karya tersebut.
Seperti banyak kita tahu bahwa kisah cinta tidak akan lekang oleh waktu. Dan kepiawaian Yuditeha dalam meramu berbagai kisah cinta dalam berbagai sudut pandang akan mercerdaskan pembaca dalam meluaskan penafsiran tentang cinta. 20 cerita cinta dalam Balada Bidadari ini buktinya.
Jika cinta mampu membuat orang bersepakat menjadi gila, tentu itu memungkinkan demi melancarkan kisah cinta yang tidak direstui. Dalam Kesepakatan Gila (hal. 1) dan Kesepakatan Gila 2 (hal. 123) menggambarkan hal tersebut ketika sepasang kekasih harus bersepakat berbuat gila demi mendapat restu dari orang tua.
Screen Shot Harian Radar Mojokerto
 Dalam beberapa kisah, penulis yang juga merupakan pecinta musang ini menggubah beberapa dongeng menjadi sebuah kisah metafora yang mungkin terjadi pada masa sekarang. Ialah Balada Bidadari (hal. 46) yang jika kita boleh menafsirkan kisah ini digubah dari dongeng Jaka Tarub. Ini sah saja sebab jalan cerita tentu saja berbeda dengan versi aslinya. Atau juga dalam kisah Lelaki Sampan (hal. 7) yang jika dibaca, pembaca akan merujuk pada kisah Sangkuriang.
Buku ini tentu saja memiliki keunggulan. Dari sisi cover saja, ilustrasi didesain langsung oleh sang penulis, sebab Yuditeha juga memiliki keahlian dalam seni lukis wajah.
Dalam “buku cinta” ini selain pembaca diajak untuk menikmati jalinan cinta, juga diajak untuk bertualang di danau Ranu Kumbolo, Gunung Semeru. Danau yang terkenal dengan keindahannya ini menjadi setting dari kasih tak sampai pada Ranu (hal. 34). Lokasi yang digambarkan dengan indah ini diuraikan secara cantik, sebab Yuditeha tercatat sudah empat kali berkunjung ke sana. Sebagai pecinta alam yang sering mendaki gunung, tentu saja Yuditeha menguasai setiap setting dalam cerita yang ditulisnya.
Kisah cinta berbalut isu politik tak luput dari pengamatan sang penulis. Dalam Mata-mata (hal. 14) dan Mutsyama (hal. 20) cerita cinta berlatar dunia politik. Jika Mata-mata berlatar isu gerakan di Aceh beberapa tahun lalu, sedang Mutsyama berlatar hubungan Indonesia dan malaysia tentang Undang-undang Bahari yang diterapkan Indonesia pada masa pemerintahan Jokowi. Khusus Mutsyama ini, berawal dari ketertarikan Yuditeha pada nama sahabatnya yang bernama Mutsyama, yang kebetulan juga pernah berkunjung ke Malaysia. Cerita yang bersetting Malaysia dan Salatiga, Indonesia ini tentu memiliki kelebihan, sebab tokoh yang bernama Mutsyama benar-benar ada.
Jika kita perhatikan lebih dalam, buku kumpulan cerpen ini memiliki sebuah keunikan dalam penerbitnya. Seperti yang banyak kita tahuu, Penerbit Kompas merupakan penerbit yang kebanyakan buku terbitannya bertema politik. Namun buku Balada Bidadari bertemakan cinta. Tentu ini sudah melalui pertimbangan matang kenapa Balada Bidadari layak diterbitkan oleh Penerbit Kompas.

Penulis Resensi :
Danang Febriansyah (tergabung dalam FLP Solo, Sastra Alit dan #KampusFiksi). Kini bergerilya untuk Membudayakan Membaca dan Memasyarakatkan buku di sebuah desa.