Sunday, December 23, 2018

Publikasi Taman Baca di Jawa Pos

Taman baca Natural (Teras Baca Salon Reri) di Jawa Pos Radar Solo

Teras Baca Salon Reri

Aktivitas Teras Baca Salon Reri, Puhpelem, Wonogiri

Membangun Rumah Seorang Diri

Dimuat di Kolom "Terjadi Sungguh-Sungguh" Koran Merapi, Mei 2018

Biasanya jika seorang ingin membangun rumah, ia membutuhkan banyak tenaga dan tukang hingga rumah siap ditempati. Akan tetapi tidak bagi sepasang suami istri yang tinggal di Tenggar, Desa Bulurejo, Kec. Bulukerto, Kab. Wonogiri. Sang suami membangun sendiri rumah tembok untuk keluarga kecilnya secara bertahap.
            Mulai dari membuat batako, mengaduk semen, memasang batako hingga membuat kusen, hingga rumah tersebut siap ditempati keluarganya. Bahkan belum lama ini ia mulai menghaluskan lantai dengan semen seorang diri. Ia mengerjakan itu saat malam setelah siangnya ia bekerja di tempat lain.

Pengirim : DANANG FEBRIANSYAH, Bendo RT. 02/02, Ngaglik, Bulukerto, Wonogiri.

PROFIL TAMAN BACA NATURAL WONOGIRI




Nama Taman Baca      : Taman Baca Natural
Pengelola                     : Danang Febriansyah
Tahun Berdiri              : 2015
Alamat                         : Bendo RT. 02 RW. 02, Ds. Ngaglik, Kec. Bulukerto,
                                      Kab. Wonogiri, 57697. Jawa Tengah
HP                               : 085229297929

Pada awal tahun 2000-an adalah embrio Taman Baca Natural Wonogiri, meski belum terbentuk. Memulai membeli buku-buku satu demi satu dengan tujuan membuat perpustakaan pribadi. Karena memang saya suka membaca. Pada sekitar tahun 2005 saya mulai mengatakan pada teman-teman dan beberapa orang  jika ingin membaca buku bisa pinjam di tempat saya.
Akhirnya ada juga yang pinjam buku. Namun ternyata ada orang yang pinjam namun hingga sekarang buku tidak kembali. Ini membuat saya kecewa. Akhirnya hanya teman-teman saya saja yang boleh pinjam, dan bisa juga buku saya antar.
Pada 2010 saya mulai tinggal di Solo. Setelah bertemu dengan seorang penulis Gol A Gong di Solo bersama Forum Lingkar Pena Solo, ia berkata jika ingin buka taman baca harus siap buku hilang. Maka saya memiliki niat jika sudah kembali ke Wonogiri ingin memberanikan diri untuk lebih membuka taman baca untuk mempermudah akses baca masyarakat.
Ternyata jalan menuju hal itu saya menemui kendala yang menyedihkan. Selama tinggal di Solo, buku yang di rumah Wonogiri diserang rayap, sebab salah satunya tidak punya rak buku dan tidak ada yang merawat. Beberapa buku tak dapat lagi digunakan. Ini lebih menyedihkan daripada buku dipinjam tapi tidak kembali.
Teras Baca Salon Reri yang didirikan Taman Baca Natural dipublikasikan oleh Jawa Pos Radar Solo

Pada tahun 2015 ketika sudah kembali mudik ke Wonogiri, saya bulatkan niat untuk membuka taman baca dengan modal buku-buku koleksi pribadi. Sebagian kecil saya letakkan di salon yang dikelola istri agar ada pelanggannya yang mau membaca buku.
Sedangkan buku-buku yang lain masih di rumah dan masih belum memiliki rak buku. Dua tahun berselang pemerintah menggratiskan pengiriman buku tiap tanggal 17 setiap bulan. Beberapa kali taman baca yang saya kelola mendapatkan bantuan buku. Koleksi buku kian banyak bertambah, namun rak buku belum mampu saya miliki.

Kini Taman Baca Natural Wonogiri yang sudah berjalan selama 3 tahun sejak 2015 dan telah tergabung dalam donasi.buku kemdikbud dan tergabung juga dalam Forum Taman Baca Masyarakat, kab. Wonogiri.

PERJALANAN SANG WARTAWAN PENCIPTA LAGU KEBANGSAAN

Dimuat di Jawa Pos Radar Mojokerto, Minggu, 21 Oktober 2018


Judul               : SANG PENGGESEK BIOLA
Jenis Buku       : Fiksi
Penulis             : Yudhi Herwibowo
ISBN               : 978-602-7926-41-7
Tahun terbit     : Juni 2018
Tebal               : vi + 400 hal
Penerbit           : Penerbit Imania

Seperti novel Halaman Terakhir, dalam Sang Penggesek Biola, Yudhi Herwibowo juga menulis tentang sosok yang berjasa untuk Indonesia. Halaman Terakhir mengupas tentang Jenderal Polisi Hoegeng dan sisi lainnya, sedangkan Sang Penggesek Biola menguak sisi-sisi lain yang jarang diketahui publik tentang pahlawan perjuangan kemerdekaan Indonesia, Sang Wartawan dan Sang Pencipta lagu-lagu perjuangan, Wage Rudolf Supratman yang juga dikenal sebagai pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya
Siap sangka nama Rudolf adalah nama tambahan ketika ia dimasukkan oleh kakak iparnya yang bekerja sebagai serdadu KNIL di sekolah terbaik khusus orang-orang Belanda, ELS (Europeesche Lagere school) di Makassar? Meskipun mbakyunya ragu adiknya dimasukkan dalam sekolah khusus itu, namun suami mbakyunya itu tenang saja dengan menambahkan nama Belanda ‘Rudolf” di tengah nama Wage Supratman. (Hal. 16).
Meskipun akhirnya Supratman keluar dari sekolah itu, namun bakat bermusiknya juga tumbuh di kota ini. Bersama kakak iparnya, ia bergabung dalam sebuah kelompok musik jazz “Black dan White Jazz Band” sebagai penggesek biola.
Ketika pindah ke Batavia, W.R Supratman bekerja di beberapa surat kabar. Dan terakhir ia menjadi wartawan di surat kabar Sin Po, yaitu surat kabar untuk orang Tionghoa, namun belakangan juga mengabarkan tentang perkembangan politik di Hindia Belanda.
Di koran Sin Po ini juga, Supratman menemukan cintanya pada seorang karyawati toko roti, bernama Mujenah. Namun ternyata Mujenah telah memiliki tunangan. Dalam keadaan patah hati, Supratman kemudian menemukan penggantinya pada diri Salamah, hingga menikah. Akan tetapi, hubungannya dengan Salamah tidak direstui kakaknya. Karena masalah ini juga yang menjadi salah satu alasan rumah tangga Supratman dan Salamah berpisah.
Sebelum menciptakan lagu Indonesia Raya, sebelumnya Supratman telah menciptakan lagu “Dari Sabang Sampai Merauke” yang lirik awalanya berbunyi, “Dari barat sampai ke timur berjajar pulau-pulau” sebelum lirik yang kita kenal sekarang, “Dari Sabang sampai Merauke ...”.
Proses penciptaan lagu Indonesia Raya pun tidak langsung jadi. Sebelumnya ia merasa tertantang dengan kata-kata salah satu tokoh PPPI, Mas Sugondo yang berkata, “Ciptakanlah lagu-lagu kebangsaan, aku yakin, kami semua pasti akan menunggunya.”
Namun yang paling mempengaruhi penciptaan lagu tersebut saat ia membaca satu kalimat di Majalah Timbul yang baginya begitu menantang. Sebuah artikel berbunyi; “Kapan toh ada komponis kita yang bisa mencipta lagu kebangsaan yang bisa mengelorakan semangat rakyat?” (Hal. 225)
Lagu Indonesia Raya tersebut dibawakan Supratman dengan biolanya pada akhir acara Kongres Pemuda Indonesia Kedua pada tahun 1928. Pada kongres tersebut juga dibacakan keputusan yang kini kita sebut dengan Sumpah Pemuda. Pada rapat keputusan disertai debat sengit tentang bunyi butir ketiga, antara bahasa Melayu atau bahasa Indonesia. Sampai akhirnya diputuskan bahwa bahasa persatuan adalah Bahasa Indonesia.
Lagu Indonesia Raya begitu fenomenal, hingga menggelorakan semangat rakyat. Ir. Soekarno memutuskan dalam setiap acara PNI selalu menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan sikap berdiri dan hormat. Ir. Soekarno berkata bahwa lagu itu sudah menimbulkan rasa takut bagi pemerintah Hindia Belanda.
Koran Sin Po mencetak partitur lagu Indonesia Raya sebanyak 4.000 eks dengan harga jual 20 sen pada edisi Sabtu, 10 November 1928. Cetakan itu habis terjual dan dicetak lagi sebanyak 10.000 eks. Namun pada cetakan kedua sebanyak 10.00 eks ini disita oleh pemerintah Hindia Belanda. Dan W.R Supratman terus diawasi pergerakannya oleh agen PID (dinas intelijen pemerintah Hindia Belanda).
Sebuah perusahaan rekaman juga mencoba merekam lagu Indonesia Raya dalam piringan hitam, akan tetapi pemerintah Hindia Belanda dengan sigap memusnahkan piringan hitam tersebut. Tidak sampai di situ, beberapa kali Supratman ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Dalam penjara ia selalu disiksa atas hasil ciptaannya yang dianggap sebuah kejahatan menghasut rakyat. Tidak sampai di situ, lagu Indonesia Raya yang terlanjur tersebar dituduh sebagai hasil plagiat (jiplakan) dari sebuah lagu dari Belanda meski itu tidak terbukti.
Hingga pada tanggal 17 Agustus 1938, Wage Rudolf Supratman meninggal dunia karena sakit paru-paru yang dideritanya. Kemudian pada tanggal 28 Oktober 1953, Presiden Soekarno menetapkan lagu Indonesia Raya bukan saja lagu perjuangan, tapi menjadi lagu kebangsaan. Bukan saja lagu kebangsaan, tetap pula menjadi lagu negara kita. (hal. 388)
Penggabungan antara reportase, biografi dan novel dalam Sang Penggesek Biola menjadikan pembaca larut dalam roman sang wartawan dan juga seorang komponis sambil membuka sejarah yang tak terungkap.


Penulis Resensi :
Danang Febriansyah, tergabung dalam FLP Wonogiri, mengenal banyak karya sastra di Sastra Alit Solo dan belajar menulis lebih jauh di #KampusFiksi Jogja. Beberapa karyanya berupa cerpen, puisi, non fiksi dan resensi pernah dibukukan dalam beberapa buku antologi dan media massa.
Buku kumpulan puisinya “Hujan Turun di Desa” terbit pada Agustus 2018. Kini bergerilya untuk Membudayakan Membaca dengan membuka taman baca di Bulukerto, Wonogiri dan bergabung bersama Forum Taman Baca Masyarakat (Forum TBM) Wonogiri.