Wednesday, February 8, 2017

REL MERAH




Cerpen : Danang Febriansyah

                  Derit kereta api terdengar memasuki stasiun. Calon penumpang yang menunggu sejak tadi segera berdiri dan berlarian ke peron. Ketika kereta berhenti dan pintu gerbong dibuka, penumpang dari dalam menyeruak keluar. Calon penumpang seakan tidak sabar menunggu penumpang yang keluar. Merekapun kemudian saling berdesakan. Kereta tiba lebih cepat dari jadwal yang seharusnya.
                  Para porter menawarkan jasanya, bersahutan dengan tukang becak dan pengemudi taksi yang juga mencari penumpang. Senja itu, stasiun kota tidak surut dengan riuhnya orang-orang dengan urusan masing-masing. Angin yang bertiup sedikit melegakan sesak napas di antara riuhnya manusia di tempat ini.
                  Namun kesibukan-kesibukan itu tidak membuatku beranjak dari kursi tunggu di stasiun ini. Meski tiket sudah kugenggam dan kereta sudah datang, tapi keraguan masih menghadang. Dilema antara berangkat atau tetap tinggal di kota ini.
                  Senja perlahan menghilang seiring adzan maghrib berkumandang yang sayup terdengar. Kereta belum berangkat, seperti menantiku untuk segera naik. Tapi aku masih enggan meninggalkan tempat duduk ini. Kejadian semalam masih menghantuiku. Itu tidak kuduga.
                  “Aku harus pergi. Harus. Selain itu, aku malu pada orang tuamu,” ucapku tadi sore ketika kau melarangku untuk pergi.
                  “Aku tak tahu alasanmu tiba-tiba kamu ingin pergi. Juga tak tahu kenapa kau malu pada orang tuaku.” Kau menunjukkan raut muka yang bingung.
                  Aku tak peduli. Aku tak tahu harus bagaimana menghadapi ini. Di sisi lain, aku enggan meninggalkanmu, tapi ketakutanku cukup besar. Aku tidak biasa dengan hal ini. Sebelum sesuatu yang lebih besar terjadi, aku harus pergi.
                  Petugas stasiun mendekati kereta. Kemudian dia memberikan tanda bahwa kereta akan segera berangkat. Aku masih duduk, namun pantatku sudah terasa panas seakan memperingatkanku agar segera berdiri. Keraguanku masih ada. Kau atau kematianku sama-sama mengancam.
                  Seseorang duduk di sampingku sambil membaca koran hari ini. Sebuah judul di halaman muka koran itu cukup menggetarkan nyaliku. BEGAL TEWAS DIBAKAR MASSA.
                  Aku sampai merinding membacanya, itu cukup untuk membuatku berdiri dari dudukku dan menghapus keraguanku. Keganasan begal rupanya mampu dihanguskan banyak orang. Entah siapa yang dikatakan paling kejam.
                  Aku langsung belari ketika kulihat pintu kereta mulai bergerak akan menutup. Aku tadi duduk di deretan kursi tunggu paling belakang, jadi aku harus lari secepat mungkin agar dapat menggapai pintu kereta yang mulai tertutup. Orang yang membaca Koran di sampingku juga berdiri dan tak sengaja aku menabraknya hingga dia terjatuh. Secepat dan sekencang saat lari menembus malam duapuluh jam yang lalu.
                  Apa yang kutakutkan saat bicara denganmu tadi sore menjadi kenyataan. Dua orang berbadan tegap mengetahuiku lalu segera mengejarku. Orang yang kutabrak tadi juga langsung berteriak padaku hingga mengundang perhatian orang-orang.
                  “Tuhan, kumohon. Masukkan aku ke dalam kereta itu,” doaku sambil berlari menuju pintu kereta.
                  Setelah mendengar teriakan orang yang tertabrak olehku tadi, segera orang-orang yang ada di sana ikut mengejarku bersama dua orang polisi berbadan tegap tadi. Begitu pula, seakan pintu kereta ikut bekerjasama dengan menutup rapat sebelum aku memasukinya.
                  Aku harus ganti arah. Batinku diantara detak jantung yang tidak teratur. Keringat mulai membanjir. Kenapa mereka semua mengejarku? Tahu apa mereka tentang kejadian semalam?
                  Belum sempat niatku tercapai, aku terpeleset dan terjatuh. Segera tubuhku merasa ngilu dikeroyok massa. Dua orang polisi tidak mampu mencegah beringasnya orang-orang yang mengejar dan menghajarku saat ini.
                  Lalu aku melihat kilatan benda yang memantulkan cahaya lampu stasiun. Saat itu aku merasa tertikam, lalu darah mengalir dari perutku yang membuat bagian lantai stasiun tempatku terkapar menjadi merah dan membasahi rel.
                  Kereta mulai bergerak meninggalkan satu penumpangnya yang menggenggam tiket. Melintas di pikiran kejadian semalam, saat aku dipaksa ikut bersama temanku yang kini sudah hangus di bakar massa. Merampas sepeda motor yang ternyata dikendarai calon mertuaku.
                  Kini, tinggal mataku yang berkedap-kedip.


DANANG FEBRIANSYAH, tergabung dalam #KampusFiksi, Sastra Alit Solo dan FLP Solo. Sedang merintis sebuah taman baca di sebuah desa di Wonogiri