Cerpen
: Danang Febriansyah
Derit kereta api terdengar
memasuki stasiun. Calon penumpang yang menunggu sejak tadi segera berdiri dan
berlarian ke
peron. Ketika kereta berhenti dan pintu gerbong dibuka, penumpang dari dalam
menyeruak keluar. Calon penumpang seakan tidak sabar menunggu penumpang yang
keluar. Merekapun kemudian saling berdesakan. Kereta tiba lebih cepat dari
jadwal yang seharusnya.
Para porter menawarkan jasanya, bersahutan dengan tukang becak dan
pengemudi taksi yang juga mencari penumpang. Senja itu, stasiun kota tidak
surut dengan riuhnya orang-orang dengan urusan masing-masing. Angin yang bertiup
sedikit melegakan sesak napas di antara riuhnya manusia di tempat ini.
Namun kesibukan-kesibukan itu
tidak membuatku beranjak dari kursi tunggu di stasiun ini. Meski tiket sudah
kugenggam dan kereta sudah datang, tapi keraguan masih menghadang. Dilema
antara berangkat atau tetap tinggal di kota ini.
Senja perlahan menghilang
seiring adzan maghrib berkumandang yang sayup terdengar. Kereta belum
berangkat, seperti menantiku untuk segera naik. Tapi aku masih enggan
meninggalkan tempat duduk ini. Kejadian semalam masih menghantuiku. Itu tidak
kuduga.
“Aku harus pergi. Harus.
Selain itu, aku malu pada orang tuamu,” ucapku tadi sore ketika kau melarangku
untuk pergi.
“Aku tak tahu alasanmu tiba-tiba
kamu ingin pergi. Juga tak tahu kenapa kau malu pada orang tuaku.” Kau
menunjukkan raut muka yang bingung.
Aku tak peduli. Aku tak tahu
harus bagaimana menghadapi ini. Di sisi lain, aku enggan meninggalkanmu, tapi
ketakutanku cukup besar. Aku tidak biasa dengan hal ini. Sebelum sesuatu yang
lebih besar terjadi, aku harus pergi.
Petugas stasiun mendekati
kereta. Kemudian dia memberikan tanda bahwa kereta akan segera berangkat. Aku
masih duduk, namun pantatku sudah terasa panas seakan memperingatkanku agar
segera berdiri. Keraguanku masih ada. Kau atau kematianku sama-sama mengancam.
Seseorang duduk di sampingku
sambil membaca koran hari ini. Sebuah judul di halaman muka koran itu cukup
menggetarkan nyaliku. BEGAL TEWAS DIBAKAR MASSA.
Aku sampai merinding
membacanya, itu cukup untuk membuatku berdiri dari dudukku dan menghapus
keraguanku. Keganasan begal rupanya mampu dihanguskan banyak orang. Entah siapa
yang dikatakan paling kejam.
Aku langsung belari ketika
kulihat pintu kereta mulai bergerak akan menutup. Aku tadi duduk di deretan
kursi tunggu paling belakang, jadi aku harus lari secepat mungkin agar dapat
menggapai pintu kereta yang mulai tertutup. Orang yang membaca Koran di
sampingku juga berdiri dan tak sengaja aku menabraknya hingga dia terjatuh.
Secepat dan sekencang saat lari menembus malam duapuluh jam yang lalu.
Apa yang kutakutkan saat
bicara denganmu tadi sore menjadi kenyataan. Dua orang berbadan tegap
mengetahuiku lalu segera mengejarku. Orang yang kutabrak tadi juga langsung
berteriak padaku hingga mengundang perhatian orang-orang.
“Tuhan, kumohon. Masukkan aku
ke dalam kereta itu,” doaku sambil berlari menuju pintu kereta.
Setelah mendengar teriakan
orang yang tertabrak olehku tadi, segera orang-orang yang ada di sana ikut
mengejarku bersama dua orang polisi berbadan tegap tadi. Begitu pula, seakan
pintu kereta ikut bekerjasama dengan menutup rapat sebelum aku memasukinya.
Aku harus ganti arah. Batinku diantara detak jantung yang tidak
teratur. Keringat mulai membanjir. Kenapa
mereka semua mengejarku? Tahu apa mereka tentang kejadian semalam?
Belum sempat niatku tercapai,
aku terpeleset dan terjatuh. Segera tubuhku merasa ngilu dikeroyok massa. Dua
orang polisi tidak mampu mencegah beringasnya orang-orang yang mengejar dan
menghajarku saat ini.
Lalu aku melihat kilatan benda
yang memantulkan cahaya lampu stasiun. Saat itu aku merasa tertikam, lalu darah
mengalir dari perutku yang membuat bagian lantai stasiun tempatku terkapar
menjadi merah dan membasahi rel.
Kereta mulai bergerak
meninggalkan satu penumpangnya yang menggenggam tiket. Melintas di pikiran kejadian
semalam, saat aku dipaksa ikut bersama temanku yang kini sudah hangus di bakar
massa. Merampas sepeda motor yang ternyata dikendarai calon mertuaku.
Kini, tinggal mataku yang
berkedap-kedip.
DANANG
FEBRIANSYAH, tergabung dalam #KampusFiksi, Sastra Alit Solo dan FLP Solo. Sedang
merintis sebuah taman baca di sebuah desa di Wonogiri
No comments:
Post a Comment