* Dimuat di Solo Pos
Minggu Pon, 12 November 2006
Perlahan tapi pasti, apa yang
disebut pikiran itu terus dan terus berkembang dengan sendirinya. Harusnya
pemaksaan kehendak itu tak boleh terjadi, sebab pikiran memiliki mata dan sayap
sendiri yang akan berkelana, mengembang dan mengepak agar menemukan kebebasan
dan menemukan dirinya sendiri.
Maka bisakah seekor anak burung yang
dikurung sejak lahir akan terbang? Apalagi seorang manusia. Dia hanya bisa
berteriak-teriak demi mendapatkan sebuah pembebasan dari keterkekangan di
tengah sawah. Inilah kesunyian dalam kegaduhan di dirinya. Di pematang sawah
paling atas dia merentangkan tangannya dan menatap angkasa. Teriakannya
menggoyang padi-padi yang masih menghijau.
Tak ada yang tahu apa yang
bersembunyi dalam hatinya. Nampak hanya dia ingin mengoyak rantai-rantai
kehidupan yang menghimpit segenap imajinasinya yang liar.
“Rasa sayang telah lenyap!”
Mejo, pemuda desa itu berjalan
gontai seakan beban berat semakin ada dalam keranjang pikulannya. Sabit yang
begitu tajam diselipkan di pinggangnya, rumput untuk makan kambing
peliharaannya telah penuh dalam keranjang.
Pemuda Desa itu jengah.
Matahari telah condong ke barat.
Setengah hari dia habiskan waktu di tengah hamparan persawahan. Menyabit rumput
dari ujung selatan sawah hingga ujung utara. Beberapa bahu sawah telah dilewati untuk mendapatkan rumput. Untuk memenuhi
dua keranjang besarnya. Untuk memenuhi kebutuhan makan beberapa kambing
peliharaannya.
Rasa panas membuatnya melepaskan
caping dan mengipaskannya pada tubuhnya yang bersandar di bawah pohon turi.
Ketika beban berat menyembul dalam ingatannya kembali. Dia hanya bisa berteriak
keras, memenuhi persawahan itu.
Kini dia beranjak pulang dengan
segenap rasa bosannya. Ingin dia seperti teman-teman sepermainannya dulu. Ke kota , mendapat uang,
memakai celana jeans, sepatu kets, baju yang dimasukkan ke dalam celana, wajah
yang menjadi bersih, rambut kelimis penuh minyak, dan tentunya tubuh yang
wangi.
Dia ingin seperti itu. Sangat ingin!
“Siapa yang mengurus kambing-kambing
itu?” Ibu Mejo tampak tak setuju ketika dia mengutarakan keinginannya itu.
“Apa simbok tak lihat betapa
bersihnya si Sukar itu sekarang? baru satu tahun di kota penampilannya sudah berubah. Apa simbok
selalu ingin melihat aku dekil dan dekil seperti ini terus?”
“Namanya orang desa itu ya begini,
ngurus sawah, ngurus kambing. Kalau kamu pergi siapa juga yang ngurus simbok
yang sudah tua ini dan sawah kamu yang hanya sepetak itu?”
“Kan kita bisa nyambat tetangga mbok?”
“Wis
lah le, ra sah neko-neko. Orang kota
nanti tak bisa makan kalau tak ada yang ngurus sawah.”
Tampak perempuan renta tidak mau
lagi berdebat dengannya. Lalu beranjak ke kamar tidur. Sementara dia masih
tepekur di depan lampu ublik yang nyalanya makin mengecil. Seperti harapannya
yang juga tampaknya makin kecil dan berakhir padam.
“Simbok selalu memaksaku. Aku tak
bisa menentukan jalanku sendiri, dia memang sudah tak sayang padaku,” katanya
dalam hati sambil menatap ublik yang apinya mobat-mabit
ditiup angin malam yang berhembus dari lubang dinding bambu rumahnya.
Hingga rasa bahwa dia terkekang
sejak bapak mati duapuluh dua tahun lalu itu tumbuh ke permukaan. Bapak mati
ketika dia masih berumur lima
tahun, sejak itu simbok tidak pernah mau menikah lagi, meski sudah dibujuk
saudara-saudara simbok yang lain. Dia tidak ingin anak satu-satunya dimiliki
oleh bapak yang lain. Simbok sangat mencintai bapak. Kesetiaannya berlanjut
hingga saat ini. Sebagai imbasnya, simbok terlalu melindunginya, hingga dia
sangat merasa tertekan, tak bisa mengembangkan sayap. Ibunya itu menjadi begitu
galak. Dia sangat memaksakan kehendaknya, hingga dengan sangat terpaksa anaknya
yang beranjak dewasa itu harus menurutinya. Di samping itu simbok tak pernah
mau mengungkapkan alasan kenapa bapak mati. Padahal dia ingin tahu. Sebagai
sebuah remisi sejenak adalah berteriak di tengah sawah ketika dia mencari
rumput.
Hanya ada rasa iri ketika lebaran
datang, melihat teman-temannya dulu pulang dari perantauan mereka di kota dan telah berubah
drastis. Ditambah gadis desa yang pernah disukainya dulu kini telah membawa
laki-laki dari kota
yang katanya calon suaminya dan sehabis lebaran mereka akan menikah. Betapa
hambar hidup ini ketika cita-cita yang sangat diharapkannya tak pernah
tergapai.
“Ayo Jo, ikut ke kota saja. Aku jamin hidupmu pasti berubah,”
bujuk Sukar sehabis sholat tarawih di mushola desanya. “Apa kamu nggak kepingin
dapat uang? Terus di sana ,
ceweknya cantik-cantik, tinggal pilih saja,” tambah Sukar yang membuatnya makin
tak betah tinggal di rumah.
“Bagaimana ya Kar?”
“Bagaimana apanya? Tiga hari sehabis
lebaran, aku berangkat. Tempatku kerja masih ada lowongan.”
“Ya aku pikir-pikir dulu deh. Tapi
lowongan itu jangan berikan pada orang lain dulu ya?”
Betapa berbedanya Sukar sekarang
dengan Sukar setahun yang lalu. Betapa inginnya dia seperti Sukar. Dia ingin
bebas dari rumput, dari sabit, dari sawah dan dari kambing. Betapa inginnya dia
memakai celana jeans, sepatu kets dan minyak wangi. Betapa inginnya dia naik
Bus!
Tapi segala harapannya dijegal oleh
seorang. Seorang yang memberinya makan, seorang yang perintahnya tak bisa dia
tolak. Seorang yang sangat dia sayangi dan dia hormati. Seorang ibu yang dia
panggil simbok.
“Tapi kali ini aku harus lepas dari
bayang-banyang simbok. Aku sudah dua puluh tujuh tahun. Sudah besar. Aku mau ke
kota .”
Dan ublik di depannya kehabisan
minyak. Padam.
* * *
“Kamu ngeyel yo? Hidup itu ya begini adanya, mau dekil, mau tidak, mau
hidup di kota
atau di desa, itu sudah digariskan Sing
Gawe Urip. Kebaikan seseorang itu tak dilihat penampilannya. Yang penting
kamu tetap di jalan lurus, baru hidupmu bermakna. Kamu tidak usah iri dengan
teman-temanmu. Belum tentu kamu di kota
akan mendapat kerja yang lebih baik. Pokoknya simbok nggak setuju!” alis simbok
bertaut menambah keriputnya. Panjang lebar dia menelanjangi pikiran anaknya
dengan wejangan. Mejo hanya menunduk.
Tas ransel yang telah berisi bekal untuk pergi ke kota setia di samping kursi tempat dia duduk,
tiga hari setelah puasa tahun ini.
“Tapi mbok…”
“Tapi apa? Kalau kamu rela hidup
simbok makin menderita setelah kematian bapak kamu. Ya silahkan pergi!” ancam
ibu Mejo.
“Bukan begitu mbok, aku hanya ingin
hidup kita berubah lebih baik. Aku nggak mau terus-terusan miskin seperti ini.
Aku ingin punya banyak duit, biar bisa beli sawah lagi, beli sapi, memperbaiki
rumah. Pokoknya aku yakin bisa jauh lebih baik kehidupan kita jika aku kerja di
kota ,” katanya
berdalih, “Mbok, bagaimanapun juga aku pergi hari ini. Sukar sudah menungguku,
aku pergi mbok. Doakan ya…” akhirnya dia beranjak pergi, tak mau berdebat lagi.
Simbok hanya diam, pandangannya
kosong, matanya berkaca-kaca, entah apa yang membebaninya. Pandangan perempuan
tua itu tetap tertuju keluar rumah ketika tangan keriputnya dicium Mejo.
Pandangan yang penuh beban kehampaan.
Lalu dia pastikan langkah pergi ke kota . Sebenarnya dia juga
merasa berat meninggalkan simbok. Dia sadar, siapa yang membesarkannya selama
ini, hanya simbok seorang, tanpa bapak di sampingnya. Dia sangat menyanyangi
ibunya meski apa yang dia lakukan selalu dimata-matai. Tapi dia sadar, semua
itu disebabkan karena simbok sangat tak ingin kehilangannya. Dia juga sangat
tak ingin kehilangan ibunya yang sudah renta itu.
Sukar telah lama menunggu di jalan.
Lalu mereka berjalan ke arah pos ojek untuk dilanjutkan ke terminal bus yang
jaraknya sekitar lima
belas kilo meter dari desa.
Baru sekali ini dia naik bus.
Sungguh!
* * *
Seperti sebuah keajaiban, ketidak
relaan orang tua itu membuatnya berubah dengan sangat telak, setahun kemudian.
Ketika lebaran menjelang, dia pulang dan membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi
lebih baik setelah kerja di kota .
Mejo memang menjadi seorang yang
lain. Seorang dengan penampilan seperti yang diinginkannya setahun yang lalu,
cita-citanya untuk memakai sepatu, celana jeans, rambut kelimis dan minyak
wangi, semua telah tercapai.
Lebaran tahun ini dia berencana
pulang. Menjenguk ibunya yang setahun ini tak diketahui kabarnya, karena sibuk
oleh pekerjaan dan dia tak ingin terganggu jika harus mengetahui keadaan rumah.
Tak pernah dia memberitahu keluarganya dimana dia kerja, karena dia tak ingin
ada surat yang
berisi betapa rindunya ibunya dengan dirinya. Dia ingin kerja dan kerja,
membelikan sapi untuk simbok, membeli sawah sepetak lagi dan sedikit dapat
memperbaiki rumahnya. Semua mengerucut menjadi satu tujuan, agar simbok bahagia
di hari tuanya.
Senyum yang mengembang seketika
musnah seketika sejak pertama kali dia menginjakkan kakinya di rumah. Selain
rumah yang makin reot, kandang kambing di depan rumah juga tak ada lagi
penghuninya. Rumput-rumput liar bebas tumbuh di halaman dan tepi-tepi rumah.
Dilihat rumah itu benar-benar tak terawat.
Mejo mengitari rumahnya tapi tak
ditemukan juga tanda-tanda kehidupan. Akhirnya dia masuk rumah. Ketika membuka
pintu depan, debu-debu beterbangan keluar seakan telah lama terpenjara. Ruang
dalam rumah itu gelap, tapi samar pandangannya hanya tertuju pada sosok yang
duduk di sudut ruangan.
Dan seakan semua hasil yang dibawanya
dari kota tak
ada artinya ketika tahu seorang itu adalah ibunya, ibu yang dipanggilnya
simbok. Tas ransel di punggungnya dihempaskannya ke tanah lantai rumah. Dia
segera menghambur.
Betapa makin tak karuannya
penampilan simbok kali ini. Apa yang menyebabkannya begini. Dua kakinya
terkunci pada balok kayu. Kain yang dipakainya sungguh kumal. Kebaya robek di
sana-sini dengan warna yang sungguh-sungguh kusam. Rambutnya yang gimbal makin memutih dan acak-acakan.
Kulit dekil dan mengeluarkan bau yang busuk. Pandangannya kosong seperti
pandangan ketika Mejo pamit akan kerja di kota .
Bedanya, pandangan simbok kali ini adalah semakin kosong. Pasrah pada beban
yang makin menghimpitnya. Tak memperhatikan kedatangan Mejo.
“Mbok…” Mejo menyalami tangan ibunya
yang dirantai dan menciuminya tanpa mempedulikan aroma bangkai yang menusuk.
“Kenapa, jadi begini? Apa yang menyebabkan simbok dirantai seperti ini?” Mejo
mencoba melepaskan ikatan rantai di tangan ibunya, tapi ikatan itu digembok
dengan kuat.
“Simbokmu edan,” seorang tetangganya telah berdiri di pintu depan. “Semuanya
terjadi karena kamu.”
Seperti sebuah pukulan benda yang
amat berat menyesakkan dadanya. Semua terjadi karena dirinya. Mengapa? Mejo
mendekati orang itu.
“Karena saya?”
“Dia murung semenjak kepergianmu,
dan semakin hari dia semakin enggan mengurus dirinya sendiri, tertawa-tertawa
dan kadang marah-marah tanpa sebab yang menyebabkan tetangga terganggu bahkan
terancam. Akhirnya tetangga-tetangga memutuskan membawanya ke tempat mbah Karyo
biar diberi japa mantra, tapi sampai lima kambing ditambah sepetak sawah kamu
dijual, tak juga membuatnya sembuh, malah dia makin menjadi dan ngamuk tak
karuan, karena makin membahayakan tetangga, akhirnya kami putuskan untuk
mengurungnya dengan cara seperti ini.”
“Dengan cara tak manusiawi begini?”
“Maaf, itu terjadi karena dorongan
orang-orang yang merasa takut dengan berubahnya mbokmu itu. Di samping itu dia
ternyata masih trauma dengan kematian bapak kamu.”
“Bapak saya mati kenapa?”
“Dia mati di kota
sejak kamu masih lima
tahun, mayatnya ditemukan membusuk di tempat sampah.”
Air mata Mejo setitik demi setitik
mengalir perlahan. Kenyataan yang baru diketahuinya, alasan mengapa simbok
begitu melindunginya, alasan kenapa simbok tak merelakan dia pergi merantau. Kenyataan
yang baru disadarinya bahwa ternyata ibunya sangat menyanyanginya.
“Tolong lepaskan dia.”
“Apa jaminan kalau dia tidak akan
mengganggu tetangga?”
“Aku,” Mejo lalu menangis dan
bersimpuh di hadapan simboknya.
* * *
Kamis,
15 Juni 2006 14.35 WIB
No comments:
Post a Comment