Thursday, December 11, 2014

LEBARAN RERI (Cerpen : Danang Febriansyah)

* Dimuat di Majalah Hadila, September 2013

Sore ini ketika bulan ramadhan telah lewat dari satu minggu, Reri, gadis kecil yang cantik itu menemui bundanya yang sedang menyiapkan makan untuk berbuka puasa di dapur.
“Bunda, Reri mau puasa.” Katanya
“Benarkah?” Tanya bunda menghentikan aktivitasnya dan menatap Reri penuh kasih.
“Iya bunda, Reri ingin bunda tahu kalau Reri juga kuat puasa,” jawab Reri meyakinkan bunda.

*          *          *

Siang ini begitu terik, panasnya seperti membakar kulit. Reri melangkah pelan, badannya goyah. Kaki nya seakan tak sanggup lagi menyangga tubuh. Tapi dia berusaha bertahan.
Dering suara es krim mengagetkannya. Pikirannya segera melayang. Membayangkan dinginnya es krim ketika sampai di lidah, menyegarkan tenggorokannya yang kering. Sekuat tenaga Reri berusaha tidak memperhatikan suara es krim itu, dan usahanya berhasil ketika es krim itu berbelok di tikungan gang.
            Dia meneruskan langkahnya kembali. Ini puasanya pertama setelah Ramadhan sudah berjalan satu minggu. Nyaris saja dia batal ketika tergoda oleh es krim, tapi kalau ingat dengan orang yang datang ke rumahnya kemarin, dia berusaha menguatkan hatinya, uang sakunya harus bisa terkumpul sampai puasa terakhir nanti. Ada yang harus bahagia selain dirinya ketika lebaran tiba.

*          *          *

            Sepulang dari tarawih kemarin lusa, Reri dengan bunda berpapasan dengan seorang ibu dengan menggendong bayi, sementara tangan kanannya membawa keranjang yang berisi barang-barang bekas. Di sampingnya seorang anak kecil berjalan juga membawa tas kecil yang berisi barang-barang bekas.
            “Maaf, ibu mencari barang bekas?” Tanya bunda Reri kepada pemulung itu.
            “Iya,” jawabnya singkat.
            Reri melihat perempuan kecil seusianya di samping ibu pemulung itu. Rasa iba menghampiri hati Reri. Ingin sekali Reri bertanya, tapi pertanyaan itu susah keluar, takut menyinggung perasaan anak itu.
            “Dirumah kami juga ada barang bekas, kalau ibu mau, ibu bisa mengambil dirumah kami sekarang,” ajak bunda.
            “Terima kasih bu,” sahut ibu pemulung itu sambil tersenyum.
            Reri sesekali melihat perempuan kecil anak ibu pemulung itu. Tas yang berisi barang bekas itu tampak begitu berat baginya. Tangan kanan dan kirinya bergantian membawa tas itu, kadang dia memijat bahunya, mungkin rasa capek begitu menyiksanya. Keringatnya bercucuran dari dahinya, meski ini malam hari, kelihatannya kakinya terlalu jauh berjalan.
            Sementara bayi dalam gendongan ibu pemulung itu tampak terlelap tidurnya. Sesampainya di rumah, bunda segera mengambil barang-barang bekas yang dimaksud. Ibu pemulung memilah barang-barang itu. Sambil menunggu ibu selesai, bunda bertanya “Kok malam-malam mencari barang bekas?”
            “Kalau siang sudah kalah cepat dengan yang bawa mobil,” jawabnya sedikit bersedih, sambil mengelap keringat di wajahnya, ibu itu kembali memilah barang-barang dari bunda. Reri hanya melihat dari samping bunda.
            “Rumah ibu jauh dari sini?”
            “Kami dari luar kota, di sini kami cuma mengontrak di bantaran kali sebelah sana.”
            “Mereka anak ibu?” Tanya bunda lagi sambil melihat dua anak yang digendong dan yang membawa tas barang bekas.
            “Iya, ini yang sulung, Marni,” sambil mengusap rambut perempuan kecil yang rambutnya kemerahan itu.Dan ini si bungsu, Cici,” tambahnya sambil melihat bayi yang digendongnya.
            “Marni kelas berapa?” Tanya bunda lagi
            “Kalau diterusin mungkin kelas tiga SD, tapi waktu kenaikan kelas, dia nggak mau sekolah lagi, karena sepatunya sudah rusak,” jawab ibu Marni.
            “Wah sama dong sama Reri, kelas tiga, tapi kok nggak mau sekolah lagi hanya karena sepatu rusak?”
            “Iya, malu sama teman-temannya, selalu menjadi bahan ejekan karena sepatunya yang jelek dan rusak.”
            “Kenapa nggak beli yang baru?”
            “Buat makan saja susah bu, jadi ya sudah kami pasrah saja.”
            Reri yang mendengar percakapan bunda sama ibu merasa kasihan dengan anak itu.
            “Puasa nggak, Marni?” Tanya ibu pada Marni
            “Puasa bu,” jawab Marni malu-malu.
            “Sudah bu, barangnya sudah saya pilih, ini uangnya,” kata ibu pemulung itu sambil menyerahkan sejumlah uang kepada bunda.
            “Oh, nggak usah, itu buat ibu saja, nggak usah bayar.”
            “Terima kasih sekali bu, terima kasih, semoga Tuhan yang membalas kebaikan ibu.”
            “Amiin.”

*          *          *

            Sepulang dari sekolah Reri langsung mengambil air wudhu dan sholat, setelah itu dia istirahat, ingin sekali dia membatalkan puasanya, apalagi panas matahari siang ini membuatnya sangat haus. Tapi jika ingat si Marni, dia merasa malu sendiri, meski malam hari, dia ikut membantu ibunya mencari uang, paginya dia tetap puasa. Makanya dia berusaha untuk terus kuat puasa hingga sebulan penuh.
            Direbahkan tubuhnya di kasur kamarnya, dengan jendela yang terbuka dan angin masuk kekamarnya membuat Reri perlahan tertidur.
            Uang saku sekolahnya dia tabung, dia nekat berjalan kaki, tidak naik becak langganannya, agar uangnya tetap utuh untuk lebaran nanti. Meski harus menahan haus.
            Meski puasa tidak jajan, tapi Reri selalu mendapat uang saku dari bunda untuk membayar becak yang mengantarkan dia ke sekolah dan menjemputnya ketika pulang sekolah. Tetapi ibu tidak tahu kalau Reri tidak naik becak, tapi berjalan kaki sementara uang sakunya dia tabung.
            Berhari-hari selama hampir sebulan bulan puasa dia melakukan itu, tidak naik becak, tanpa sepengetahuan bunda. Sampai hari-hari terakhir puasa, uang saku Reri dirasa sudah cukup, maka Reri mencari becak langganannya untuk mengantarkan dia.
            Sore itu, di hari terakhir puasa, Reri dengan diantar becak, membawa hasil tabungan uang sakunya selama satu bulan, dia menuju toko sepatu, Dicarinya sepatu yang seukuran dengan kakinya, sepatu sekolah berwarna hitam itu akhirnya dia dapatkan. Setelah itu masih diantar becak, dia menuju bantaran kali. Hampir setengah jam dia sampai di bantaran kali, dicarinya anak kecil berambut merah yang sempat diajak bunda mampir kerumahnya bersama ibunya. Setelah dengan keberaniannya bertanya, akhirnya dia menemukan rumah Marni, anak itu.
            Rumah papan yang hamper roboh itu dengan pintu yang terlihat sekenanya menempel pada dinding, di depan rumah itu teronggok barang-barang bekas.
            “Assalamualaikum...”
            Tak lama kemudian salam Reri terjawab dari dalam.
            “Waalaikum salam...” Lalu keluarlah ibu Marni dengan menggendong bayi. “Oh, ini adik yang ibunya memberi kami barang bekas itu ya?”
            “Iya bu, saya Reri,” sahut Reri, rupanya ibu Marni masih ingat dengannya. “Marni ada bu?”
            “Ada, ada, masuk dik, maaf ya rumah ibu berantakan. Sebentar ibu panggilkan dulu, Marni sedang bantu ibu mencuci pakaian di kali.”
            Tak lama kemudian Marni datang, ibunya mengikuti dari belakang.
            “Marni, ini sepatu buat kamu, semoga cocok dan pas dengan kaki kamu. Tapi kamu harus sekolah lagi ya?” Kata Reri.
            Marni masih terdiam, tidak menyangka akan mendapat sepatu dari Reri.
            “Ambil saja, ini buat kamu koq, biar kamu bisa sekolah lagi.”
            Akhirnya setelah Marni melihat ibunya dan ibu Marni mengangguk, Marni menerima pemberian sepatu dari Reri.
            “Terima kasih dik, kamu sama baiknya dengan ibu kamu. Terima kasih, setelah lebaran pasti Marni mau sekolah lagi,” kata ibu Marni, “Marni, ayo bilang terima kasih sama Reri,” tambah ibu.
            “Terima kasih, Reri,” kata Marni.
            “Iya sama-sama Marni, saya juga berterima kasih sama kamu, karena memberiku semangat untuk berpuasa dan tak membatalkan puasa,” kata Reri sambil tersenyum. “Reri pamit pulang dulu ya Marni, Wassalamu’alaikum.”
            “Waalaikum salam,” jawab Marni dan ibunya.
            Reri kembali pulang dengan diantar becak tadi, sesampainya di rumah tepat adzan maghrib, waktunya berbuka.
            “Wah, tidak terasa ya hari ini tak terasa haus kalau banyak kegiatan,” batin Reri.
            “Reri, bunda bangga sama kamu,” suara bunda tiba-tiba mengagetkan Reri yang baru dari cuci tangan kemudian akan berbuka.
            “Kenapa bunda?”
            “Pak Tarno, tukang becak langganan kamu kemarin bilang sama bunda, kalau kamu nggak naik becak ketika berangkat ke sekolah, pak Tarno pernah Tanya kan sama kamu, tapi kamu jawab, mau menabung dulu. Terus tadi sebenarnya ibu mengikuti kamu, mulai dari toko sepatu, sampai ke bantaran kali, rumah Marni, kamu memberinya sepatu dari hasil menabung kamu.”
            “Jadi bunda tahu rencana Reri?” Tanya Reri
            “Bunda tahu nak, kamu membuat bunda bahagia nak.” Kata bunda sambil tersenyum.
            “Kan bunda yang memberi contoh ke Reri.” Reri ikut tersenyum
            “Dan bunda bangga sama kamu,” sebuah ciuman sayang dari bunda ke kening Reri, Reri memeluk bundanya.
            Kemudian terdengar kumandang takbir, pertanda besok adalah hari idul fitri.

*          *          *


Solo, 6 Agustus 2012

No comments: