* Dimuat di Majalah Hadila, September 2013
Sore ini
ketika bulan ramadhan telah lewat dari satu minggu, Reri, gadis kecil yang
cantik itu menemui bundanya yang sedang menyiapkan makan untuk berbuka puasa di
dapur.
“Bunda,
Reri mau puasa.” Katanya
“Benarkah?”
Tanya bunda menghentikan aktivitasnya dan menatap Reri penuh kasih.
“Iya
bunda, Reri ingin bunda tahu kalau Reri juga kuat puasa,” jawab Reri meyakinkan
bunda.
* * *
Siang
ini begitu terik, panasnya seperti membakar kulit. Reri melangkah pelan,
badannya goyah. Kaki nya seakan tak sanggup lagi menyangga tubuh. Tapi dia
berusaha bertahan.
Dering
suara es krim mengagetkannya. Pikirannya segera melayang. Membayangkan
dinginnya es krim ketika sampai di lidah, menyegarkan tenggorokannya yang
kering. Sekuat tenaga Reri berusaha tidak memperhatikan suara es krim itu, dan
usahanya berhasil ketika es krim itu berbelok di tikungan gang.
Dia meneruskan langkahnya kembali.
Ini puasanya pertama setelah Ramadhan sudah berjalan satu minggu. Nyaris saja dia
batal ketika tergoda oleh es krim, tapi kalau ingat dengan orang yang datang ke
rumahnya kemarin, dia berusaha menguatkan hatinya, uang sakunya harus bisa
terkumpul sampai puasa terakhir nanti. Ada yang harus bahagia selain dirinya
ketika lebaran tiba.
* * *
Sepulang dari tarawih kemarin lusa,
Reri dengan bunda berpapasan dengan seorang ibu dengan menggendong bayi,
sementara tangan kanannya membawa keranjang yang berisi barang-barang bekas. Di
sampingnya seorang anak kecil berjalan juga membawa tas kecil yang berisi
barang-barang bekas.
“Maaf, ibu mencari barang bekas?” Tanya bunda Reri kepada
pemulung itu.
“Iya,” jawabnya singkat.
Reri melihat perempuan kecil
seusianya di samping ibu pemulung itu. Rasa iba menghampiri hati Reri. Ingin
sekali Reri bertanya, tapi pertanyaan itu susah keluar, takut menyinggung
perasaan anak itu.
“Dirumah kami juga ada barang bekas,
kalau ibu mau, ibu bisa mengambil dirumah kami sekarang,” ajak bunda.
“Terima kasih bu,” sahut ibu
pemulung itu sambil tersenyum.
Reri sesekali melihat perempuan
kecil anak ibu pemulung itu. Tas yang berisi barang bekas itu tampak begitu
berat baginya. Tangan kanan dan kirinya bergantian membawa tas itu, kadang dia
memijat bahunya, mungkin rasa capek begitu menyiksanya. Keringatnya bercucuran
dari dahinya, meski ini malam hari, kelihatannya kakinya terlalu jauh berjalan.
Sementara bayi dalam gendongan ibu
pemulung itu tampak terlelap tidurnya. Sesampainya di rumah, bunda segera
mengambil barang-barang bekas yang dimaksud. Ibu pemulung memilah barang-barang
itu. Sambil menunggu ibu selesai, bunda bertanya “Kok malam-malam mencari
barang bekas?”
“Kalau siang sudah kalah cepat
dengan yang bawa mobil,” jawabnya sedikit bersedih, sambil mengelap keringat di
wajahnya, ibu itu kembali memilah barang-barang dari bunda. Reri hanya melihat
dari samping bunda.
“Rumah ibu jauh dari sini?”
“Kami dari luar kota, di sini kami
cuma mengontrak di bantaran kali sebelah sana.”
“Mereka anak ibu?” Tanya bunda lagi
sambil melihat dua anak yang digendong dan yang membawa tas barang bekas.
“Iya, ini yang sulung, Marni,”
sambil mengusap rambut perempuan kecil yang rambutnya kemerahan itu. “Dan ini si bungsu,
Cici,” tambahnya sambil melihat
bayi yang
digendongnya.
“Marni kelas berapa?” Tanya bunda lagi
“Kalau diterusin mungkin kelas tiga
SD, tapi waktu kenaikan kelas, dia nggak mau sekolah lagi, karena sepatunya
sudah rusak,” jawab ibu Marni.
“Wah sama dong sama Reri, kelas
tiga, tapi kok
nggak mau sekolah lagi hanya karena sepatu rusak?”
“Iya, malu sama teman-temannya,
selalu menjadi bahan ejekan karena sepatunya yang jelek dan rusak.”
“Kenapa nggak beli yang baru?”
“Buat makan saja susah bu, jadi ya
sudah kami pasrah saja.”
Reri yang mendengar percakapan bunda
sama ibu merasa kasihan dengan anak itu.
“Puasa nggak, Marni?” Tanya ibu pada
Marni
“Puasa bu,” jawab Marni malu-malu.
“Sudah bu, barangnya sudah saya
pilih, ini uangnya,” kata ibu pemulung itu sambil menyerahkan sejumlah uang
kepada bunda.
“Oh, nggak usah, itu buat ibu saja,
nggak usah bayar.”
“Terima kasih sekali bu, terima
kasih, semoga Tuhan yang membalas kebaikan ibu.”
“Amiin.”
* * *
Sepulang dari sekolah Reri langsung
mengambil air wudhu dan sholat, setelah itu dia istirahat, ingin sekali dia
membatalkan puasanya, apalagi panas matahari siang ini membuatnya sangat haus.
Tapi jika ingat si Marni, dia merasa malu sendiri, meski malam hari, dia ikut
membantu ibunya mencari uang, paginya dia tetap puasa. Makanya dia berusaha
untuk terus kuat puasa hingga sebulan penuh.
Direbahkan tubuhnya di kasur
kamarnya, dengan jendela yang terbuka dan angin masuk kekamarnya membuat Reri
perlahan tertidur.
Uang saku sekolahnya dia tabung, dia
nekat berjalan kaki, tidak naik becak langganannya, agar uangnya tetap utuh
untuk lebaran nanti. Meski harus menahan haus.
Meski puasa tidak jajan, tapi Reri
selalu mendapat uang saku dari bunda untuk membayar becak yang mengantarkan dia
ke sekolah dan menjemputnya ketika pulang sekolah. Tetapi ibu tidak tahu kalau
Reri tidak naik becak, tapi berjalan kaki sementara uang sakunya dia tabung.
Berhari-hari selama hampir sebulan
bulan puasa dia melakukan itu, tidak naik becak, tanpa sepengetahuan bunda.
Sampai hari-hari terakhir puasa, uang saku Reri dirasa sudah cukup, maka Reri
mencari becak langganannya untuk mengantarkan dia.
Sore itu, di hari terakhir puasa,
Reri dengan diantar becak, membawa hasil tabungan uang sakunya selama satu
bulan, dia menuju toko sepatu, Dicarinya sepatu yang seukuran dengan kakinya,
sepatu sekolah berwarna hitam itu akhirnya dia dapatkan. Setelah itu masih
diantar becak, dia menuju bantaran kali. Hampir setengah jam dia sampai di
bantaran kali, dicarinya anak kecil berambut merah yang sempat diajak bunda
mampir kerumahnya bersama ibunya. Setelah dengan keberaniannya bertanya,
akhirnya dia menemukan rumah Marni, anak itu.
Rumah papan yang hamper roboh itu
dengan pintu yang terlihat sekenanya menempel pada dinding, di depan rumah itu
teronggok barang-barang bekas.
“Assalamualaikum...”
Tak lama kemudian salam Reri terjawab
dari dalam.
“Waalaikum salam...” Lalu keluarlah ibu
Marni dengan menggendong bayi. “Oh, ini adik yang ibunya memberi kami barang
bekas itu ya?”
“Iya bu, saya Reri,” sahut Reri,
rupanya ibu Marni masih ingat dengannya. “Marni ada bu?”
“Ada, ada, masuk dik, maaf ya rumah
ibu berantakan. Sebentar ibu panggilkan dulu, Marni sedang bantu ibu mencuci
pakaian di kali.”
Tak lama kemudian Marni datang,
ibunya mengikuti dari belakang.
“Marni, ini sepatu buat kamu, semoga
cocok dan pas dengan kaki kamu. Tapi kamu harus sekolah lagi ya?” Kata Reri.
Marni masih terdiam, tidak menyangka
akan mendapat sepatu dari Reri.
“Ambil saja, ini buat kamu koq, biar
kamu bisa sekolah lagi.”
Akhirnya setelah Marni melihat
ibunya dan ibu Marni mengangguk, Marni menerima pemberian sepatu dari Reri.
“Terima kasih dik, kamu sama baiknya
dengan ibu kamu. Terima kasih, setelah lebaran pasti Marni mau sekolah lagi,”
kata ibu Marni, “Marni, ayo bilang terima kasih sama Reri,” tambah ibu.
“Terima kasih, Reri,” kata Marni.
“Iya sama-sama Marni, saya juga
berterima kasih sama kamu, karena memberiku semangat untuk berpuasa dan tak
membatalkan puasa,” kata Reri sambil tersenyum. “Reri pamit pulang dulu ya
Marni, Wassalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam,” jawab Marni dan
ibunya.
Reri kembali pulang dengan diantar
becak tadi, sesampainya di rumah tepat adzan maghrib, waktunya berbuka.
“Wah, tidak terasa ya hari ini tak
terasa haus kalau banyak kegiatan,” batin Reri.
“Reri, bunda bangga sama kamu,”
suara bunda tiba-tiba mengagetkan Reri yang baru dari cuci tangan kemudian akan
berbuka.
“Kenapa bunda?”
“Pak Tarno, tukang becak langganan
kamu kemarin bilang sama bunda,
kalau kamu nggak naik becak ketika berangkat ke sekolah, pak Tarno pernah Tanya
kan sama kamu, tapi kamu jawab, mau menabung dulu. Terus tadi sebenarnya ibu
mengikuti kamu, mulai dari toko sepatu, sampai ke bantaran kali, rumah Marni,
kamu memberinya sepatu dari hasil menabung kamu.”
“Jadi bunda tahu rencana Reri?” Tanya Reri
“Bunda tahu nak, kamu membuat bunda bahagia nak.” Kata bunda
sambil tersenyum.
“Kan bunda yang memberi contoh
ke Reri.” Reri ikut tersenyum
“Dan bunda bangga sama kamu,”
sebuah ciuman sayang dari bunda
ke kening Reri, Reri memeluk bundanya.
Kemudian terdengar kumandang takbir,
pertanda besok adalah hari idul fitri.
* * *
Solo, 6 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment