Thursday, December 11, 2014

PENGGALI PASIR (Cerpen : Danang Febriansyah)

* Dibukukan dalam Anotologi Cerpen Joglo 15 : Botol-botol Berisi Senja, TBJT Juni 2014)

Pohon-pohon waru mulai berbunga. Bunga berwarna ungu dan kecil-kecil menyebar di setiap ranting itu merupakan sebuah pertanda alam yang diyakini oleh orang-orang Desa itu sebagai sebuah kabar gembira karena hampir setahun lamanya  kemarau menyiksa padi-padi di sawah.
            Sebuah tanda-tanda yang diberikan alam akan datangnya musim penghujan. Itu berarti mereka bisa memanen hasil tanaman mereka musim ini, juga berarti bahwa tanaman mereka terutama padi yang mulai menguning itu tak jadi mati.
            Meskipun bisa dipastikan musim ini panen, tapi bagi sebuah keluarga kecil di tengah pedukuhan di sebuah Desa terpencil itu juga merupakan awal dari petaka dikeluarganya.
            Tangis juga menggerimis seiring hujan mulai menjatuhkan titik-titik airnya dengan begitu deras diiringi petir yang menyambar saling bersahutan bertubi-tubi. Tangis yang histeris memilukan hati para pelayat yang hadir di rumah itu. Tangis dari seorang ibu yang kemudian pingsan akibat tak kuasa menahan hati yang berdetak dan seakan meledak akibat ditinggal mati anaknya yang masih berusia dua belas belas tahun.
            “Ini gara-gara pak Margono!” geram pak Widi, ayah anak itu. Anak laki-laki yang kini telah membujur berselimut kain kafan di tengah ruangan. Sementara para pelayat mengitarinya sambil membacakan surat Yasiin yang terdengar perlahan. Dua orang ibu membantu ibu anak itu dengan mengoleskan balsem agar sadar dari pingsannya.
            Di depan rumah, terdengar sebuah truk datang menderu-deru. Lalu turun seorang laki-laki gempal dan berjalan menuju rumah yang tengah berduka. Pak Widi melihatnya, menatap lelaki gempal itu dengan pandangan mata yang begitu tajam.
            “Itu dia!” ucapnya sambil berdiri lalu mengambil golok yang terselip di dinding bambu rumahnya. Segera dia keluar rumah menghampiri lelaki gempal itu.
            “Margono!! Ngapain kamu datang ke sini?! Mau menambah duka kami?!” Teriaknya dengan mencengkeram kerah baju lelaki gempal yang bernama Margono itu sambil mengacungkan goloknya.
            “Ada apa ini?” Margono tampak begitu pucat melihat sambutan macam apa yang didapatnya.
            “Nyawa dibalas nyawa!”
            Margono tak sempat bicara. Para pelayat terkejut setengah mati.

*          *          *

            “Sekarangkan musim hujan No, lebih baik hentikan dulu pekerjaanmu menggali pasir, sungai bisa tiba-tiba banjir besar. Bukit-bukit cadas bisa saja runtuh,” ibu Tino menasehati anaknya ketika Tino baru berganti pakaian setelah pulang sekolah.
            “Iya bu, tapi Tino pingin sekolah, paling tidak sampai lulus SMP. Tino nggak pingin menyusahkan ibu dan bapak.”
            “Ibu ngerti Ton, tapi akhir-akhir ini hujan sudah mulai deras. Sekarang mendung di luar sudah gelap. Sebentar lagi pasti hujan. Hari ini kamu di rumah saja dulu. Lebih baik kamu membantu bapak kamu dulu menggarap sawah.”
            Sebuah truk menggeram di depan rumah Tino.
            “Pak Margono sudah datang bu, aku harus menggali pasir untuk diantar ke Kecamatan. Tino berangkat bu,” Tino menyalami ibunya dan berlari menghampiri truk pak Margono.
            Seperti sudah tahu apa yang terjadi, ibu Tino melepas kepergian anaknya dengan air mata yang perlahan mengalir. Teringat cita-cita Tino untuk menyelesaikan sekolahnya. Ketika Tino tahu orang tuanya tak mampu lagi membiayai sekolahnya saat surat peringatan sekolah datang kepada ayahnya, Tino nampak begitu sedih. Ingin rasanya membantu meringankan beban orang tuanya dengan bekerja. Maka diputuskan untuk menggali pasir di bukit-bukit cadas di pinggir sungai dengan bersemangat. Pak Margono yang tahu semangat yang menyala pada diri Tino, segera mengajak Tino untuk menaikkan dan menurunkan pasir ke dalam bak truknya untuk diantar pada pemesan dengan imbalan sepuluh ribu rupiah setiap kali mengangkut.
            Awalnya Tino tak meminta ijin pada orang tuanya, sampai akhirnya orang tua Tino tahu sendiri kegiatan anaknya itu sepulang sekolah. Meski setiap kali Tino berangkat, ibu Tino selalu was-was. Gua-gua di dinding bukit galian dari para penggali pasir untuk mencari pasir yang lebih lembut itu bisa saja tiba-tiba runtuh. Apalagi para penggali pasir tak dilengkapi peralatan keamanan.
            Hingga siang yang mendung itu datang ibu Tino melepas kepergian anaknya juga dengan perasaan khawatir. Truk itu segera berlalu meninggalkan rumah Tino.
            Di bukit cadas di tepi sungai yang lebar itu Tino bersama beberapa orang tua yang juga penggali pasir dengan bersemangat mengayunkan cangkulnya ke bukit cadas hingga membentuk lubang yang mereka harapkan di dalamnya akan ditemukan pasir yang lebih lembut daripada pasir-pasir yang sudah tersedia di tepi sungai. Tino masuk ke dalam lubang itu dan mendapatkan pasir yang diharapkan. Lubang yang dalam itu begitu gelap. Gemuruh suara petir tak mereka hiraukan. Seperti musim penghujan yang lalu-lalu, hujan deras disertai petirpun tak mereka hiraukan demi mendapat rupiah sebagai imbalan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Tapi bagi Tino, rupiah yang masuk ke sakunya adalah untuk membiayai sekolahnya.
            Sebentar kemudian sungai itu banjir. Banjir yang tak seperti biasanya, banjir yang besar. Gemuruh suara air sungai yang banjir itu membuat orang-orang di luar galian pasir itu segera berteriak memanggil teman-temannya yang masih di dalam lubang galian pasir untuk segera keluar. Dari beberapa lubang galian pasir satu-persatu penggali pasir keluar dan segera menyelamatkan diri. Tapi Tino karena semangat yang tetap menyala dan karena pendengaran Tino yang agak terganggu, ditambah gemuruh hujan yang mengguyur dan banjir yang membesar, Tino benar-benar tak mendengar teriakan orang-orang.
            Kemudian gemuruh bertambah, orang-orang panik, gemuruh itu bukan dari hujan ataupun banjir, tapi dari bukit cadas yang kemudian perlahan longsor, karena dinding-dindingnya banyak berlubang, sehingga tak kuat lagi menyangga bukit yang tampak kuat itu.
            Tino yang masih di dalam panik, segera dia berusaha keluar dari gua itu tapi ternyata lebih cepat longsor yang menutup pintu gua. Tino terpejam pasrah…

*          *          *

            “Ini gara-gara pak Margono!” geram pak Widi, ayah Tino di depan mayat anaknya yang telah terbungkus kain kafan.
            Lalu terdengar sebuah truk datang menderu-deru di depan rumahnya. seorang laki-laki gempal dan berjalan menuju rumah yang tengah berduka. Pak Widi melihatnya, menatap lelaki gempal itu dengan pandangan mata yang begitu tajam.
            “Itu dia!” ucapnya sambil berdiri lalu mengambil golok yang terselip di dinding bambu rumahnya. Segera dia keluar rumah menghampiri lelaki gempal itu.
            “Margono!! Ngapain kamu datang ke sini?! Mau menambah duka kami?!” Teriaknya dengan mencengkeram kerah baju lelaki gempal yang bernama Margono itu sambil mengacungkan goloknya.
            “Ada apa ini?” Margono tampak begitu pucat melihat sambutan macam apa yang didapatnya.
            “Nyawa dibalas nyawa!”
            Margono tak sempat bicara. Para pelayat terkejut setengah mati.
            Golok yang diayunkan pak Widi ke tubuh pak Margono meleset karena pak Margono dengan gesit menghindar dan membalikkan arah golok itu ke tubuh pak Widi.
            Semua tersentak. Pak Margono sendiri juga tersentak.

Sabtu, 28 April 2007



No comments: