* Dibukukan dalam Anotologi Cerpen Joglo 15 : Botol-botol Berisi Senja, TBJT Juni 2014)
Pohon-pohon
waru mulai berbunga. Bunga berwarna ungu dan kecil-kecil menyebar di setiap
ranting itu merupakan sebuah pertanda alam yang diyakini oleh orang-orang Desa
itu sebagai sebuah kabar gembira karena hampir setahun lamanya kemarau menyiksa padi-padi di sawah.
Sebuah
tanda-tanda yang diberikan alam akan datangnya musim penghujan. Itu berarti
mereka bisa memanen hasil tanaman mereka musim ini, juga berarti bahwa tanaman
mereka terutama padi yang mulai menguning itu tak jadi mati.
Meskipun
bisa dipastikan musim ini panen, tapi bagi sebuah keluarga kecil di tengah
pedukuhan di sebuah Desa terpencil itu juga merupakan awal dari petaka
dikeluarganya.
Tangis
juga menggerimis seiring hujan mulai menjatuhkan titik-titik airnya dengan
begitu deras diiringi petir yang menyambar saling bersahutan bertubi-tubi.
Tangis yang histeris memilukan hati para pelayat yang hadir di rumah itu.
Tangis dari seorang ibu yang kemudian pingsan akibat tak kuasa menahan hati
yang berdetak dan seakan meledak akibat ditinggal mati anaknya yang masih
berusia dua belas belas tahun.
“Ini
gara-gara pak Margono!” geram pak Widi, ayah anak itu. Anak laki-laki yang kini
telah membujur berselimut kain kafan di tengah ruangan. Sementara para pelayat
mengitarinya sambil membacakan surat Yasiin yang terdengar perlahan. Dua orang
ibu membantu ibu anak itu dengan mengoleskan balsem agar sadar dari pingsannya.
Di
depan rumah, terdengar sebuah truk datang menderu-deru. Lalu turun seorang
laki-laki gempal dan berjalan menuju rumah yang tengah berduka. Pak Widi
melihatnya, menatap lelaki gempal itu dengan pandangan mata yang begitu tajam.
“Itu
dia!” ucapnya sambil berdiri lalu mengambil golok yang terselip di dinding
bambu rumahnya. Segera dia keluar rumah menghampiri lelaki gempal itu.
“Margono!!
Ngapain kamu datang ke sini?! Mau menambah duka kami?!” Teriaknya dengan
mencengkeram kerah baju lelaki gempal yang bernama Margono itu sambil
mengacungkan goloknya.
“Ada
apa ini?” Margono tampak begitu pucat melihat sambutan macam apa yang
didapatnya.
“Nyawa
dibalas nyawa!”
Margono
tak sempat bicara. Para pelayat terkejut setengah mati.
* * *
“Sekarangkan
musim hujan No, lebih baik hentikan dulu pekerjaanmu menggali pasir, sungai
bisa tiba-tiba banjir besar. Bukit-bukit cadas bisa saja runtuh,” ibu Tino
menasehati anaknya ketika Tino baru berganti pakaian setelah pulang sekolah.
“Iya
bu, tapi Tino pingin sekolah, paling tidak sampai lulus SMP. Tino nggak pingin
menyusahkan ibu dan bapak.”
“Ibu
ngerti Ton, tapi akhir-akhir ini hujan sudah mulai deras. Sekarang mendung di
luar sudah gelap. Sebentar lagi pasti hujan. Hari ini kamu di rumah saja dulu.
Lebih baik kamu membantu bapak kamu dulu menggarap sawah.”
Sebuah
truk menggeram di depan rumah Tino.
“Pak
Margono sudah datang bu, aku harus menggali pasir untuk diantar ke Kecamatan.
Tino berangkat bu,” Tino menyalami ibunya dan berlari menghampiri truk pak
Margono.
Seperti
sudah tahu apa yang terjadi, ibu Tino melepas kepergian anaknya dengan air mata
yang perlahan mengalir. Teringat cita-cita Tino untuk menyelesaikan sekolahnya.
Ketika Tino tahu orang tuanya tak mampu lagi membiayai sekolahnya saat surat
peringatan sekolah datang kepada ayahnya, Tino nampak begitu sedih. Ingin
rasanya membantu meringankan beban orang tuanya dengan bekerja. Maka diputuskan
untuk menggali pasir di bukit-bukit cadas di pinggir sungai dengan bersemangat.
Pak Margono yang tahu semangat yang menyala pada diri Tino, segera mengajak
Tino untuk menaikkan dan menurunkan pasir ke dalam bak truknya untuk diantar
pada pemesan dengan imbalan sepuluh ribu rupiah setiap kali mengangkut.
Awalnya
Tino tak meminta ijin pada orang tuanya, sampai akhirnya orang tua Tino tahu
sendiri kegiatan anaknya itu sepulang sekolah. Meski setiap kali Tino
berangkat, ibu Tino selalu was-was. Gua-gua di dinding bukit galian dari para
penggali pasir untuk mencari pasir yang lebih lembut itu bisa saja tiba-tiba
runtuh. Apalagi para penggali pasir tak dilengkapi peralatan keamanan.
Hingga
siang yang mendung itu datang ibu Tino melepas kepergian anaknya juga dengan
perasaan khawatir. Truk itu segera berlalu meninggalkan rumah Tino.
Di
bukit cadas di tepi sungai yang lebar itu Tino bersama beberapa orang tua yang
juga penggali pasir dengan bersemangat mengayunkan cangkulnya ke bukit cadas hingga
membentuk lubang yang mereka harapkan di dalamnya akan ditemukan pasir yang
lebih lembut daripada pasir-pasir yang sudah tersedia di tepi sungai. Tino
masuk ke dalam lubang itu dan mendapatkan pasir yang diharapkan. Lubang yang
dalam itu begitu gelap. Gemuruh suara petir tak mereka hiraukan. Seperti musim
penghujan yang lalu-lalu, hujan deras disertai petirpun tak mereka hiraukan
demi mendapat rupiah sebagai imbalan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Tapi
bagi Tino, rupiah yang masuk ke sakunya adalah untuk membiayai sekolahnya.
Sebentar
kemudian sungai itu banjir. Banjir yang tak seperti biasanya, banjir yang
besar. Gemuruh suara air sungai yang banjir itu membuat orang-orang di luar
galian pasir itu segera berteriak memanggil teman-temannya yang masih di dalam
lubang galian pasir untuk segera keluar. Dari beberapa lubang galian pasir
satu-persatu penggali pasir keluar dan segera menyelamatkan diri. Tapi Tino
karena semangat yang tetap menyala dan karena pendengaran Tino yang agak
terganggu, ditambah gemuruh hujan yang mengguyur dan banjir yang membesar, Tino
benar-benar tak mendengar teriakan orang-orang.
Kemudian
gemuruh bertambah, orang-orang panik, gemuruh itu bukan dari hujan ataupun
banjir, tapi dari bukit cadas yang kemudian perlahan longsor, karena
dinding-dindingnya banyak berlubang, sehingga tak kuat lagi menyangga bukit
yang tampak kuat itu.
Tino
yang masih di dalam panik, segera dia berusaha keluar dari gua itu tapi
ternyata lebih cepat longsor yang menutup pintu gua. Tino terpejam pasrah…
* * *
“Ini
gara-gara pak Margono!” geram pak Widi, ayah Tino di depan mayat anaknya yang
telah terbungkus kain kafan.
Lalu
terdengar sebuah truk datang menderu-deru di depan rumahnya. seorang laki-laki
gempal dan berjalan menuju rumah yang tengah berduka. Pak Widi melihatnya,
menatap lelaki gempal itu dengan pandangan mata yang begitu tajam.
“Itu
dia!” ucapnya sambil berdiri lalu mengambil golok yang terselip di dinding
bambu rumahnya. Segera dia keluar rumah menghampiri lelaki gempal itu.
“Margono!!
Ngapain kamu datang ke sini?! Mau menambah duka kami?!” Teriaknya dengan
mencengkeram kerah baju lelaki gempal yang bernama Margono itu sambil
mengacungkan goloknya.
“Ada
apa ini?” Margono tampak begitu pucat melihat sambutan macam apa yang didapatnya.
“Nyawa
dibalas nyawa!”
Margono
tak sempat bicara. Para pelayat terkejut setengah mati.
Golok
yang diayunkan pak Widi ke tubuh pak Margono meleset karena pak Margono dengan
gesit menghindar dan membalikkan arah golok itu ke tubuh pak Widi.
Semua
tersentak. Pak Margono sendiri juga tersentak.
Sabtu, 28
April 2007
No comments:
Post a Comment