Waktu terus berlalu
meninggalkan aroma gudeg di Stasiun Tugu. Aku telah duduk di pesantren/boarding
school/ma’had #KampusFiksi menikmati sedapnya cita rasa nasi goreng dengan
porsi mblenger
bersama peserta lain.
Saat itu telah
hadir lebih dulu, Maulida Azizah dari Kalimantan, Khusnul Khotimah dari Lombok,
NTB, Ginanjar Teguh Iman, Shasmita yang datang diantar ayahnya yang supel dari
Malang, juga Iken Widya dari Salatiga yang seorang bankir dan Hidayatur Riyana
(mungkin Rihana penyanyi internasional itu nama panjangnya juga Hidayatur
Rihana. #Dipaspasin). Mereka, beberapa diantaranya adalah seorang penulis yang
telah memiliki karya.
Lalu seiring waktu
berjalan, satu persatu peserta lain menyusul hadir, dari Madura Aswari dan si
mungil Nur 1 / Mila, serta dari beberapa daerah lain yang masih kuliah di Jogja
seperti Patrio dari Toraja (kelak kami tahu budaya Toraja yang wow dan
misterius darinya). Juga Bening Ika (aku sudah kenal sebelumnya karena
sama-sama anggota FLP Solo) dan Amin Sahri seorang pedagang buku online
(makanya dia wawasannya luas) dari Cilacap. Riza Chanifa yang datang bersama
suaminya dari Mojokerto, ibu guru Rialita dari Jombang. Serta Munawir, Devy,
Farihatun Nafiah, Nur 2 dan Nur 3 (ternyata dia –anggaplah tetangga desaku –
berasal dari Sampung Ponorogo. Perbatasan desanya adalah desaku). Sampai
genaplah 25 peserta (sebenarnya 24, peserta dari Tangerang mengundurkan diri).
Mereka datang tepat sebelum batas waktu yang ditentukan.
Lalu betapa riuhnya
25 orang disatukan dalam sebuah gedung yang tidak terlalu besar namun bersih
dan nyaman ditambah beberapa panitia (dan sehari setelahnya datanglah puluhan
alumni #KampusFiksi yang telah sukses). Saling bercerita tentang daerahnya atau
sekedar sharing tentang kepenulisan, atau hanya ngerumpi tentang K-Pop atau
artis.
Tentang Keangkeran Old Trafford di #Kampus Fiksi
Nah, sampai di
sinilah aku makin tahun bahwa Rektor #KampusFiksi adalah seorang Manchunian
akut. Seperti halnya aku (tapi aku biasa aja, tidak parah-parah banget
menggilai Manchester United). Pak Edi, sang rektor itu membuat gedung #KampusFiksi
bak stadion Old Trafford, kandang MU yang angker bagi tim lawan, khususnya
Liverpool. Keangkeran “Old Trafford” ini terbukti bagi Liverpool saat salah
seorang peserta penggemar Liverpool tidak berani mengenakan jersey
kesayangannya di gedung ini, hanya berani mengeluarkan handuknya yang bergambar
logo Liverpool. Handuk yang dijemur itu berkali-kali jatuh dari jemuran Stadion
ini.
Kedua, saat H-1
pelaksanaan #KampusFiksi ini terjadi pertandingan MU vs Swansea dan MU kalah
1-2, fans Liverpool dan Chelsea yang akan bertanding kemudian akan berteriak,
“Sukurin!” Maka karma akan segera terjadi tidak lama lagi, dari gedung ini doa
Manchunian terkabul. Chelsea kalah 1-2 melawan Crystal Palace dan Liverpool
lebih telak lagi, dihajar Westham 0-3.
Nah, betapa
angkernya Old Trafford van Bantul ini? Ini tempat yang mustajab (?)
Budaya Indonesia yang Luar Biasa
Salah satu yang
menarik di #KampusFiksi adalah cerita-cerita lokalitas pesertanya. Salah
satunya tentang adat di Toraja dalam upacara kematian/pemakaman. Memang, sering
diberitakan di TV akan kekayaan adat di Toraja, tapi feel-nya baru terasa ketika yang bercerita adalah penduduk Toraja
asli, yaitu kawan kami, Patrio Tandiangga. Untuk melakukan upacara pemakaman,
warga Toraja asli (belum tersentuh peradaban modern) akan menghabiskan dana
lebih dari 100 juta. Kenapa? Karena harus menggunakan kerbau belang + 100
kerbau lain. Harga 1 kerbau belang adalah 100 juta, belum kerbau yang lain.
Fantastis!
Toraja makin
misterius dengan hidupnya moyang mereka yang telah meninggal dunia.
Jenazah-jenazah yang telah dimakamkan dalam goa-goa di gunung (seperti yang
diinformasikan di TV) sewaktu-waktu bisa berjalan dengan sendirinya dengan
rambut dan kuku yang masih terus tumbuh. (Ah nggak berani nerusin cerita ini.
Ngeri).
Pindah pulau ke
Lombok, ini yang ringan-ringan saja. Setiap bertemu dengan orang, penduduk di
sana memiliki sapaan yang khas, “Mari makan.” Lha bukannya menyapa apa kabar
atau yang lain, malah ngajakin makan. Itulah budaya, itulah adat, nggak perlu
diperdebatkan. Kita itu kaya, jangan merasa lebih baik dari yang lain. (Halah,
ngomong apa ini?).
Oh ya, tentang Lombok ini, selama ini aku telah disesatkan dan penuh bid'ah dari pemikiranku sendiri. Bahwa kata Lombok itu berasal dari cabe yang pedas itu, ternyata bukan. Lomok berasal dari lombo yang berarti lurus. Nah, so pesan moralnya, jangan suka menafsirkan seenakmu sendiri, apapun itu.
Terbang ke Madura
(berlayar aja ding), Sumenep tepatnya. Sapaan yang sama juga terjadi di Madura,
namun di Madura lebih tragis lagi, setiap tamu yang datang dan, misalnya
bilang, “buah kelapamu banyak ya?” Maka sang pemilik rumah akan segera memetik
kelapa buat tamunya. Padahal tamu itu tidak minta, hanya karena kekaguman akan
tanaman yang banyak buahnya itu. Orang Madura yang senang menjamu tamu, mereka
akan menghidangkan makanan, mereka akan mencari makanan demi menyenangkan si
tamu. Lalu ketika tawaran makan ditolak si tamu, hati mereka akan sedih, mereka
berpikir makanan yang mereka hidangkan tidak enak. Pesan moralnya adalah :
Seperti halnya mereka telah menghormatimu, maka hargailah juga orang lain.
Demikian juga
tentang Banjar, Kalimantan yang memiliki adat gelang perdamaian/persahabatan.
Ah yang ini aku kurang begitu jelas mendengarnya. Lain kali tanya lagi kalau
ada waktu ketemu Maulida Azizah.
Kaya ya Indonesia
itu?
2 comments:
Ihh... Mas Danang... Handuk Liverpool itu punyakuu... 😭😭
Tapi, keren nih, tulisannya. 👍
Iya? Hehe... entahlah, mitos itu... :-)
Post a Comment