Sunday, November 29, 2015

SANG BIDADARI SURGA

TUTI ANGGRAINI

Kehidupan itu akan terus berjalan dan meninggalkan peristiwa masa lalu yang ditinggalkan. Kehidupan itu akan terus berubah sesuai dengan perubahan yang kita inginkan. Satu-satunya yang tetap adalah perubahan itu sendiri.
Aku, merasa perubahanku yang mengubah segala sikap berontakku dimulai tahun 2009. Perubahan yang bercabang menjadi dua sisi, hitam dan putih. Sisi hitam yang kini ingin kuputihkan lagi adalah berhentinya aku menulis. Sedangkan sisi putihnya adalah aku mencoba meniti kehidupan yang harus baru, meniti jalan untuk menikah.
Aku mengenalnya sebagai wanita kota yang sederhana, seorang yang hidup di kota tapi ternyata berasal dari tetangga desa dimana saya tinggal.
“Miracle..” ya, sebuah keajaiban karena pertemuan kami, karena meski berharap bertemu, tapi jarak yang membuatku ragu akan pertemuan itu. Dia di Jakarta dan rumahnya di Palembang, sementara saya di ujung timur Jawa Tengah.
Tapi keajaiban itu terwujud di bulan September 2009 menjelang Hari Raya Idul Adha, saat orang-orang membuat kabar saya ditingggal menikah kekasih. Haha, saya tertawa mengingat kabar burung itu, saya tahu Desa saya, dan saya tak peduli kabar tak benar itu.
Maka saya tetap melangkah menuju tempat pertemuan dengan perempuan sederhana yang telah dijanjikan di rumah neneknya tepat di sebelah timur desa saya. Dia ditemani pamannya yang sedang bekerja diteras rumah neneknya.
Pertama melihat, jauh dari apa yang saya bayangkan sebagai perempuan kota, jauh bagaikan lagit dan bumi. Selama ini gadis-gadis kota yang saya lihat adalah seperti dalam televisi dengan pakaian ketat dan polesan make up di sekujur tubuhnya. Tapi ini jauh sekali dari itu, dia sangat sederhana, dengan rambut panjang yang diikat sederhana, dengan rok panjang mendekat telapak kaki. Wow, amazing...
Ada pertemuan pertama, ada juga pertemuan kedua. Sehari setelahnya dia datang ke rumahku diantar pamannya yang ternyata telah berteman lama dengan bapakku. Dan kalau diurutkan ke atas, dia ternyata masih ada hubungan keluarga dengan nenek buyutku. Pertemuan di senja itu adalah juga perpisahan, setidaknya untuk sementara waktu, karena esoknya setelah sholat idul adha, dia kembali ke Jakarta, tempatnya bekerja.
Harapan untuk bertemu lagi tentu saja sangat sulit, sampai kakak babpkku mengenalkan aku pada seorang gadis yang berprofesi sebagai guru di Jawa Timur. Sayapun tak menolak untuk dikenalkan, apa salahnya berkenalan?
Beberapa kali pertemuan, yang membuat saya ada di dua pilihan, wanita sederhana itu atau wanita yang sebagai guru?
Tapi memang pertanyaan ada jawabnya. Guru itu menentukan pilihan pada anggota TNI yang bertugas di Jawa Barat. Maka telah terjawablah pertanyaanku. Kemudian akhir tahun 2009, gadis yang kukenal sebagai Tuti Anggraini itu berkunjung kembali ke rumah neneknya bersama seluruh keluarganya di palembang, lengkap dengan ayah dan ibunya. Sayapun memberanikan diri untuk bertemu, berkenalan dengan keluarga besarnya.
Gugup, keringat dingin, deg-degan campur aduk yang saya rasakan, apalagi saya duduk tepat di samping ayahnya. Obrolan-obrolan kecil muncul. Dalam pertemuan itu setidaknya mereka tahu bahwa saya berani untuk bertatap muka dengan mereka.
Lagi-lagi tanpa diduga, awal Januari 2010 orang tua saya memberitahu saya bahwa mereka akan melamar gadis Palembang itu untuk menikah dengan saya. Lamaran itu dilakukan melalui budhe saya yang tinggal di Palembang.
Tak bisa saya jawab. Saat itu saya antara yakin dan tidak dengan pernikahan saya. Segala bimbang muncul bertubi-tubi sehingga membuat saya nampak seperti remaja yang teramat labil.
Benar saja, budhe saya mengabarkan telah melamar dan diterima. Pernikahan dilaksanakan lima bulan lagi, itu berarti Mei 2010.
Kelabilan saya yang membuat calon istri saya sering menangis karena saya. Saya masih ragu dengan pernikahan, dengan calon saya, dengan jarak yang teramat jauh, dengan kehidupan setelah nikah, dengan semuanya.
Sayapun sempat terjerumus dalam jalan yang salah, minuman keras. Dunia terasa hitam semuanya, menghibur diri dengan berbagai kesenangan asal bisa tertawa..
Sampai akhirnya saya membaca sebuah hadits kalau mengkonsumsi minuman keras, maka empat puluh hari sholatnya tidak diterima. Saya sempat berfikir, bagaimana dalam jarak empat puluh hari itu saya mati? Mati dalam keadaan sholat yang tidak diterma...
Mencoba sadar, mengucap istighfar. Tapi saya tetap sholat, biarlah tidak diterima, tapi saya mencoba meminta maaf pada-Nya. Mungkin setelah empat puluh hari saya terbangun dari tidur di malam hari, saya melakukan sholat tahajud, kemudian sholat hajat dilanjutkan sholat istikharoh. Agar saya dikuatkan hati saya, kalau memang dia adalah jodoh yang telah ditakdirkan untuk menikah dengan saya, saya mohon dihilangkan keraguan saya, diyakinkan lebih pada hati saya.
Pagi harinya saya menonton TV, acara yang diperlihatkan liputan tentang Palembang. Biasa saja, yang menjadi tidak biasa adalah dalam sehari itu tiap kali melihat TV acaranya selalu berhubungan dengan Palembang, entah jembatan Ampera, entah sejarah Palembang, entang kuliner Palembang, selalu ada.
Hari berikutnya, meski tak sesering kemarin, berita tentang palembang tetap ada. Kemudian saya berfikir, apakah ini jawaban dari istikharoh saya kalau jodoh saya adalah gadis Palembang itu? Mungkinkah jawabannya melalui televisi, tak adakah jawaban yang lebih dalam lagi?
Saya tetap bimbang, tetap membuat calon istri saya menangis, tetap membuat sakit hati calon istri saya, sikap yang kini kusesali. Tapi saya ingat, tiap kali saya menghadapi masalah saya selalu ingin bercerita melalui telepon pada calon istri saya, selalu. Antara Januari sampai Mei 2010. Mungkin itu sebuah jawaban dari istikharoh saya lagi.
Sampai akhirnya bulanpun memasuki bulan Mei. Tanggal 23 Mei, saya harus menuju Palembang, untuk menikah pada 28 Mei 2010.
Bersama nenek dan paman calon istri saya, bersama budhe saya yang tinggal di Ponorogo, saya naik bis dan menyeberangi selat Sunda menuju Palembang. Ada kejadian yang bagi sebagian orang dianggap berhubungan dengan mistis.
Kejadiannya dalah mogoknya bis yang saya tumpangi berkali-kali padahal kata sopirnya bis itu bis yang baru, mogok pertama di Salatiga, karena kabel AC putus, mogok kedua di Semarang, kemudian mogok ketiga di Jawa Barat, mungkin Ciamis atau daerah lain, saya lupa. Tiap mogok waktu yang dibutuhkan untuk kembali jalan cukup lama. Sayapun sampai bosan makan bekal saya, keripik tahu. Kemudian masuk ke kapal, di dalam kapal kembali bis bermasalah dengan AC, setelah menyeberang, bis mogok lagi di Lampung. Di sini rumor beredar, ternyata di dalam bis selain saya yang akan menikah, ternyata ada tiga calon mempelai lagi yang akan menikah menumpang bis itu. Inilah yang menjadi mitos, bis tidak kuat dengan aura calon pengantin. Senyum kecil saya mendengarnya. Rumor yang berdar yang lain adalah kenek bis membawa jimat berupa keris. Percaya?
Sampaidi pull bis di Lampung, kami penumpang oper bis. Akhirnya sampai di Palembang Molor satu hari, rencana sampai Palembang tanggal 25 pagi, harus ditempuh sampai tanggal 26 Sore. Padahal besoknya saya harus akad nikah. Saya dan budhe saya menginap di rumah budhe Palembang. Masalah selesai? Tidak, ternyata setelah saya cek perlengkapan saya, baju yang akan saya kenakan untuk akad nikah ketinggalan di rumah, di Wonogiri, sementara saya hanya membawa satu baju ganti yang sangat tidak pantas untuk dikenakan melaksanakan akad nikah. Akhirnya saya minta tolong pada kakak sepupu saya untuk membelikan baju berwarna hijau muda sesuai dengan baju yang ketinggalan.
Selesai? Masih belum, saya tidak membawa peci atau kopiah. Tepatnya tidak punya dan tidak memiliki niat untuk beli untuk akad nikah, saya berniat akad nikah tidak memakai peci, biar beda. Ternyata salah, karena kebiasaan di Palembang, akad nikah adatnya memakai kopiah. Untungnya suami budhe saya memiliki banyak koleksi kopiah, padahal keluarga budhe saya bukan muslim, salut saya. Pluralisme Indonesia harus terus dijaga. Sayapun diberi satu yang pas saya kenakan.          
Setelah itu saya dikasih tahu cara mengucap akad nikah. Paginya jam sembilan saya berangkat ke tempat akad nikah di rumah calon istri saya. Antara lupa dan ingat dengan wajah calon saya, rasa bimbang masih ada meski sedikit demi sedikit mulai terhapus. Harus dijalani, harus, mantapkan hati.
28 Mei 2010, jam 08.00 WIB di Bukit Sangkal, Kalidoni, Palembang

“Saya terima nikahnya Tuti Anggraini binti Slamet dengan maskawin tersebut dibayar tunai.”
Setelah sempat molor satu jam, dengan mahar uang tunai sebesar duaratus delapanpuluh ribu lima ratus sepuluh rupiah, akad nikah berjalan lancar, saya tidak mengulangi kalimat akad nikah. Sebuah prestasi, karena kata penghulunya tidak semua orang yang pernah dinikahkannya lancar mengucap akad nikah, meski Cuma sedikit, meski dengan membaca.
Istri saya keluar dari kamar untuk menandatangi buku nikah, saya pegang tangannya untuk memasukkan cincin kawin yang terukir nama saya, sayapun memiliki cincin kawin yang terukir namanya.
Pernikahan hari Jum’at, 28 Mei 2010 itu hari dimana saya sudah benar-beran yakin bahwa dia adalah istri saya, pendamping hidup saya, sahabat sejati saya, dan bidadari surga saya.
“Demi Allah, saya mencintaimu, istriku.” Kata yang terucap dalam hati saya..
Dan saya sholat jum’at bersama ayah mertua saya.

No comments: