Cerpen : Danang Febriansyah
Dimuat di MERAH PUTIH POS, Minggu, 10 April 2016
Mandhasia tidak
peduli pada lingkungan yang baru dimasukinya. Dia meyakini bahwa apa pun
keadaannya, sesungguhnya semua orang mampu berbuat lebih baik. Meski begitu dia sadar bahwa apa yang akan
dilakukan mempunyai dua akibat, tetap tunduk pada kebiasaan selama ini atau
mereka akan mau berubah, setidaknya bersedia belajar dan menjalani kebiasaan
baru.
“Justru bisa jadi
kamulah yang akan hanyut pada kebiasaan di sini.” Jiet Gwee menambahkan satu
kemungkinan lagi yang mungkin tak tepikirkan Mandhasia.
“Tapi harapanku,
mereka ikut kebiasaanku, membaca,” sahut Mandhasia tetap yakin pada
pendiriannya.
“Kalau begitu,
kamu salah tempat berjualan. Ini bukan jiwa mereka. Di pasar ini, mereka hanya
membeli kebutuhan sandang dan pangan. Dan kamu yang akan kalah,” kata Jiet Gwee
merendahkan keyakinan Mandhasia.
Tapi Mandhasia
bergeming. Dia terpaku pada pendiriannya, tidak mempedulikan kawannya yang
berkulit kuning itu. Dan kini ingatannya mundur beberapa waktu, saat pertama
dia memasuki lingkungan yang tak ramah dengan Buku, barang yang dijualnya.
“Kau melamun?”
Jiet Gwee, lelaki setengah baya itu membuyarkan ingatannya. Mandhasia sedikit
tersentak lalu menatap mata sipit kawannya yang seperti ingin selalu menyelidik
apa yang sedang dipikikannya.
“Melihatmu,
tiba-tiba aku ingat apa yang disabdakan nabiku, ‘tuntutlah ilmu walau sampai ke
negeri China. Negeri leluhurmu itu.” Mandhasia tersenyum.
“Kau bisa belajar
padaku saja, tak perlu sampa ke sana.” Jiet Gwee terdengar sombong, namun bisa
dipahami Mandhasia, “Jangan mimpi terlalu tinggi, bukumu tak akan laku di pasar
tradisional ini,” imbuhnya.
“Tapi aku sudah
di sini berikut daganganku.” Mandhasia bersikukuh sembari menunjuk buku-buku
dagangannya.
“Apa yang kau
dapat, kawan?” tanya Jiet Gwee. "Hingga jam sembilan ini, kulihat
buku-bukumu belum laku juga,” sambungnya.
“Tunggu saja
nanti,” sahut Mandhasia menghibur diri. Pada kenyataannya dari jam enam pagi
hingga sekarang memang belum ada satu pun orang yang membeli bukunya.
“Sampai pasar ini
bubar? Di sini tempatnya urusan perut. Kau tahu, kenapa kiosku itu selalu ramai?”
tanya Jiet Gwee memberi jeda. “Karena aku tahu apa yang mereka mau,” kata Jiet
Gwee seperti meniru slogan sebuah iklan.
Kios Jiet Gwee
yang dijaga istri dan anaknya memang selalu penuh pembeli. Sedangkan
buku-bukunya masih berjajar rapi tak tersentuh pembeli. Ucapan Jiet Gwee
sedikit menggoyahkan keyakinannya. Lalu dia teringat istrinya di rumah. Ia
berjualanitu untuk istrinya. Untuk meyakinkan mertuanya kalau dia bekerja.
Nyata benar-benar bekerja.
Lima bulan yang
lalu, Mandhasia melamar Shinta, anak gadis Marakeh, tokoh desa seberang, Pada
awalnya Marakeh menanyakan pekerjaan Mandhasia. Saat pemuda itu menjawab apa
pekerjaannya, Shinta yang justru terkesima, matanya membelalak dan hatinya
makin berdegup bangga. Pekerjaan yang tidak biasa bagi seorang pemuda desa.
Tapi tidak bagi Marakeh. Lelaki yang rambut dan jenggotnya sudah memutih itu
tidak paham pekerjaan Mandhasia. Tidak masuk akal jika hanya di rumah saja lalu
dapat uang.
“Kamu piara
tuyul?” tanya Marakeh menusuk.
“Tidak,” jawab
Mandhasia cepat. “Memang begitulah pekerjaan saya, hasilnya ditransfer melalui
Bank.”
“Tidak mungkin.
Kamu pasti ngalap berkah. Bisa jadi istri dan anakmu kelak kamu jadikan
tumbal.”
“Saya tidak
pernah punya pikiran seperti itu. Saya masih waras, Pak. Saya ini pemikir,
bukan pengkhayal.” Mandhasia sedikit tersinggung dengan tuduhan calon
mertuanya. “Saya akan nafkahi keluarga dengan hasil yang halal.”
“Saya tetap tidak
terima. Saya tidak mau jika anak saya diberi nafkah dari hasil yang tidak
jelas!” kata Marakeh seperti sebuah keputusan.
Shinta yang
semula membumbung akan dinikahi Mandhasia langsung jatuh mendengar keputusan
bapaknya. Melihat kekecewaan Shinta, Mandhasia tertantang untuk terus
meyakinkan Marakeh.
“Baiklah, jika
Bapak belum paham pekerjaan saya ini, tapi akan saya buktikan dalam waktu tiga
bulan, saya akan bekerja yang nyata, yang terlihat oleh bapak,” ucap Mandhasia
berapi-api.
“Aku tunggu
janjimu. Dalam tiga bulan kamu tidak bekerja dan masih menganggur seperti ini
...”
“Pak, saya bukan
pengangguran.” Mandhasia memotong.
“Berdiam diri di
rumah saja, itu nganggur.” Marakeh tidak suka kalimatnya dipotong.
Mandhasia
mengangguk. Tidak ada gunanya membantah atau Shinta akan selamanya lepas.
“Kamu mau bekerja
apa?” Suara Marakeh melunak.
“Jual buku di
pasar,” jawab Mandhasia, lepas begitu saja. Tidak terpikirkan sebelumnya.
Jawaban itu
membuat Marakeh tersenyum sinis. “Siapa yang mau beli? Buat apa buku? Buat
bungkus tempe?” Marakeh kemudian tergelak.
Mendidih darah
muda Mandhasia, tapi ditahan demi Shinta. “Pak, ini janjiku. Setelah aku
bekerja, tolong restuilah aku menikahi Shinta.” Mandhasia terdengar memohon.
“Silakan.”
Marakeh berlalu. Mungkin orang tua itu sebenarnya suka dengan janji Mandhasia
yang terlihat sungguh-sungguh. Dan karena itulah dia memberi kesempatan pada
Mandhasia untuk membuktikan janjinya.
“Maafkan bapakku.
Dia tidak tahu kalau kau mendapatkan penghasilan dari pekerjaanmu itu.” Shinta
merasa bersalah dengan sikap bapaknya.
“Aku tahu. Maka
aku tidak lagi membantah. Aku yakin suatu saat beliau akan paham. Dan aku akan
membuktikan janjiku. Berjualan buku di pasar.” Mandhasia meyakinkan calon
istrinya.
“Aku percaya
kamu.”
Sekarang adalah
lima bulan dari peristiwa perdebatan itu. Akhirnya sejak dua bulan yang lalu
Mandhasia benar-benar memenuhi janjinya, berdagang buku-buku di pasar ini. Dan
telah sebulan yang lalu ia berhasil
menikahi Shinta.
Di depannya
berdiri Jiet Gwee, lelaki Tionghoa, pedagang sembako yang memiliki kios di
seberang kios buku Mandhasia. Lalu lalang pengunjung pasar seperti tidak
memperhatikan dagangannya. Riuh orang-orang saling tawar dengan penjual.
Mandhasia melihat mereka dalam diam. Jiet Gwee berbalik dan kembali menuju
kiosnya untuk membantu istri dan anaknya melayani pembeli.
Meski sudah dua
bulan berdagang buku dan hanya segelintir orang yang datang membelinya, namun
Shinta tetap bersyukur atas penghasilan Mandhasia. Setidaknya itu telah
membuktikan pada bapaknya bahwa pekerjaan suaminya nyata.
Mandhasia melihat
judul salah satu buku, “Bisa! Maka Bisalah!” Buku yang tadi sempat ditunjuk
oleh Jiet Gwee.
“Optimis
sekali. Modal awal untuk melangkah. Yakin bisa!” kata Jiet Gwee saat mengambil
salah satu buku dagangan itu. Entah maksud Jiet Gwee tadi, tapi buku ini
termasuk salah satu buku yang di jual di toko buku besar. Tapi di pasar ini
tidak mendapat respon dalam pasar tradisional ini. Buku itu, buku yang
ditulisnya.
Mandhasia kembali
membaca judul buku itu. Lalu teringat senyum sinis Jiet Gwee yang
meremehkannya. Saat membaca judul buku itu Mandhasia kembali yakin bahwa dia
akan berhasil dengan usaha itu sembari memasyarakatkan buku.
Tak lama
berselang, sekelompok anak muda yang masih berseragam sekolah berhenti di depan
kiosnya. Melihat-lihat buku. Ada yang bertanya buku-buku pelajaran sekolah. Namun
sayang, Mandhasia kebetulan belum mendapat stok buku-buku yang dimaksud.
Seorang dari
mereka mengambil sebuah buku “Bisa! Maka Bisalah!” Membaca punggung buku dan
membukanya kemudian membacanya. Dia kini dia sudah di halaman pertama, halaman
kedua.
Anak muda itu
bergumam, “wow! Buku bagus. Berapa harganya?” tanyanya pada Mandhasia.
“75 ribu,” jawab
Mandhasia. “Kalau di toko buku.”
“Mahal banget.”
“Kalau di sini
saya diskon 15 ribu, jadi 60 ribu.”
Masih mahal.
Pikir anak muda itu, uang sakunya tidak cukup. Teman-temannya kemudian ikut
melihat buku itu. Membuka halaman terakhir lalu bergantian menatap Mandhasia
dan kembali ke halaman terakhir buku itu.
“Kau, penulis?”
tanya salah seorang di antara mereka terdengar ragu-ragu.
Belum sempat
Mandhasia menjawab, seorang yang lain menyela. “Tak bisa dipercaya. Kios ini
dimiliki penulis hebat.”
Mandhasia
tersenyum kaku.
Di seberang kiosnya, Jiet Gwee melihat kerumunan anak muda di
depan kios buku Mandhasia heran.
“Nasehatku langsung dijalankan Mandhasia.” Jiet Gwee
bicara pada istrinya. Baru kali ini kiosnya dikerumuni pembeli.”
Di dalam kiosnya, Mandhasia melayani anak-anak muda itu meminta
tanda tangannya, di buku tulis, tas dan ujung baju seragam sekolah mereka.
“Terima kasih
tanda tangannya.” Mereka menjabat tangan Mandhasia sebelum berpamitan pergi
dari sana.
“Bukunya nggak
dibeli?”
Mereka tersenyum.
Senyum yang membuat getir hati Mandhasia.
Wonogiri, 30 Juli 2015 18.31
WIB
DANANG
FEBRIANSYAH, belajar di Komunitas Sastra ALIT Solo, anggota FLP Solo Raya.
Tinggal di Wonogiri
No comments:
Post a Comment