Friday, April 22, 2016

BISA MAKA BISALAH


Cerpen : Danang Febriansyah

Dimuat di MERAH PUTIH POS, Minggu, 10 April 2016

            Mandhasia tidak peduli pada lingkungan yang baru dimasukinya. Dia meyakini bahwa apa pun keadaannya, sesungguhnya semua orang mampu berbuat lebih baik.  Meski begitu dia sadar bahwa apa yang akan dilakukan mempunyai dua akibat, tetap tunduk pada kebiasaan selama ini atau mereka akan mau berubah, setidaknya bersedia belajar dan menjalani kebiasaan baru.
            “Justru bisa jadi kamulah yang akan hanyut pada kebiasaan di sini.” Jiet Gwee menambahkan satu kemungkinan lagi yang mungkin tak tepikirkan Mandhasia.
            “Tapi harapanku, mereka ikut kebiasaanku, membaca,” sahut Mandhasia tetap yakin pada pendiriannya.
            “Kalau begitu, kamu salah tempat berjualan. Ini bukan jiwa mereka. Di pasar ini, mereka hanya membeli kebutuhan sandang dan pangan. Dan kamu yang akan kalah,” kata Jiet Gwee merendahkan keyakinan Mandhasia.
            Tapi Mandhasia bergeming. Dia terpaku pada pendiriannya, tidak mempedulikan kawannya yang berkulit kuning itu. Dan kini ingatannya mundur beberapa waktu, saat pertama dia memasuki lingkungan yang tak ramah dengan Buku, barang yang dijualnya.
            “Kau melamun?” Jiet Gwee, lelaki setengah baya itu membuyarkan ingatannya. Mandhasia sedikit tersentak lalu menatap mata sipit kawannya yang seperti ingin selalu menyelidik apa yang sedang dipikikannya.
            “Melihatmu, tiba-tiba aku ingat apa yang disabdakan nabiku, ‘tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China. Negeri leluhurmu itu.” Mandhasia tersenyum.
            “Kau bisa belajar padaku saja, tak perlu sampa ke sana.” Jiet Gwee terdengar sombong, namun bisa dipahami Mandhasia, “Jangan mimpi terlalu tinggi, bukumu tak akan laku di pasar tradisional ini,” imbuhnya.
            “Tapi aku sudah di sini berikut daganganku.” Mandhasia bersikukuh sembari menunjuk buku-buku dagangannya.
            “Apa yang kau dapat, kawan?” tanya Jiet Gwee. "Hingga jam sembilan ini, kulihat buku-bukumu belum laku juga,” sambungnya.
            “Tunggu saja nanti,” sahut Mandhasia menghibur diri. Pada kenyataannya dari jam enam pagi hingga sekarang memang belum ada satu pun orang yang membeli bukunya.
            “Sampai pasar ini bubar? Di sini tempatnya urusan perut. Kau tahu, kenapa kiosku itu selalu ramai?” tanya Jiet Gwee memberi jeda. “Karena aku tahu apa yang mereka mau,” kata Jiet Gwee seperti meniru slogan sebuah iklan.
            Kios Jiet Gwee yang dijaga istri dan anaknya memang selalu penuh pembeli. Sedangkan buku-bukunya masih berjajar rapi tak tersentuh pembeli. Ucapan Jiet Gwee sedikit menggoyahkan keyakinannya. Lalu dia teringat istrinya di rumah. Ia berjualanitu untuk istrinya. Untuk meyakinkan mertuanya kalau dia bekerja. Nyata benar-benar bekerja.
            Lima bulan yang lalu, Mandhasia melamar Shinta, anak gadis Marakeh, tokoh desa seberang, Pada awalnya Marakeh menanyakan pekerjaan Mandhasia. Saat pemuda itu menjawab apa pekerjaannya, Shinta yang justru terkesima, matanya membelalak dan hatinya makin berdegup bangga. Pekerjaan yang tidak biasa bagi seorang pemuda desa. Tapi tidak bagi Marakeh. Lelaki yang rambut dan jenggotnya sudah memutih itu tidak paham pekerjaan Mandhasia. Tidak masuk akal jika hanya di rumah saja lalu dapat uang.
            “Kamu piara tuyul?” tanya Marakeh menusuk.
            “Tidak,” jawab Mandhasia cepat. “Memang begitulah pekerjaan saya, hasilnya ditransfer melalui Bank.”
            “Tidak mungkin. Kamu pasti ngalap berkah. Bisa jadi istri dan anakmu kelak kamu jadikan tumbal.”
            “Saya tidak pernah punya pikiran seperti itu. Saya masih waras, Pak. Saya ini pemikir, bukan pengkhayal.” Mandhasia sedikit tersinggung dengan tuduhan calon mertuanya. “Saya akan nafkahi keluarga dengan hasil yang halal.”
            “Saya tetap tidak terima. Saya tidak mau jika anak saya diberi nafkah dari hasil yang tidak jelas!” kata Marakeh seperti sebuah keputusan.
            Shinta yang semula membumbung akan dinikahi Mandhasia langsung jatuh mendengar keputusan bapaknya. Melihat kekecewaan Shinta, Mandhasia tertantang untuk terus meyakinkan Marakeh.
            “Baiklah, jika Bapak belum paham pekerjaan saya ini, tapi akan saya buktikan dalam waktu tiga bulan, saya akan bekerja yang nyata, yang terlihat oleh bapak,” ucap Mandhasia berapi-api.
            “Aku tunggu janjimu. Dalam tiga bulan kamu tidak bekerja dan masih menganggur seperti ini ...”
            “Pak, saya bukan pengangguran.” Mandhasia memotong.
            “Berdiam diri di rumah saja, itu nganggur.” Marakeh tidak suka kalimatnya dipotong.
            Mandhasia mengangguk. Tidak ada gunanya membantah atau Shinta akan selamanya lepas.
            “Kamu mau bekerja apa?” Suara Marakeh melunak.
            “Jual buku di pasar,” jawab Mandhasia, lepas begitu saja. Tidak terpikirkan sebelumnya.
            Jawaban itu membuat Marakeh tersenyum sinis. “Siapa yang mau beli? Buat apa buku? Buat bungkus tempe?” Marakeh kemudian tergelak.
            Mendidih darah muda Mandhasia, tapi ditahan demi Shinta. “Pak, ini janjiku. Setelah aku bekerja, tolong restuilah aku menikahi Shinta.” Mandhasia terdengar memohon.
            “Silakan.” Marakeh berlalu. Mungkin orang tua itu sebenarnya suka dengan janji Mandhasia yang terlihat sungguh-sungguh. Dan karena itulah dia memberi kesempatan pada Mandhasia untuk membuktikan janjinya.
            “Maafkan bapakku. Dia tidak tahu kalau kau mendapatkan penghasilan dari pekerjaanmu itu.” Shinta merasa bersalah dengan sikap bapaknya.
            “Aku tahu. Maka aku tidak lagi membantah. Aku yakin suatu saat beliau akan paham. Dan aku akan membuktikan janjiku. Berjualan buku di pasar.” Mandhasia meyakinkan calon istrinya.
            “Aku percaya kamu.”
            Sekarang adalah lima bulan dari peristiwa perdebatan itu. Akhirnya sejak dua bulan yang lalu Mandhasia benar-benar memenuhi janjinya, berdagang buku-buku di pasar ini. Dan telah sebulan yang lalu ia berhasil  menikahi Shinta.
            Di depannya berdiri Jiet Gwee, lelaki Tionghoa, pedagang sembako yang memiliki kios di seberang kios buku Mandhasia. Lalu lalang pengunjung pasar seperti tidak memperhatikan dagangannya. Riuh orang-orang saling tawar dengan penjual. Mandhasia melihat mereka dalam diam. Jiet Gwee berbalik dan kembali menuju kiosnya untuk membantu istri dan anaknya melayani pembeli.
            Meski sudah dua bulan berdagang buku dan hanya segelintir orang yang datang membelinya, namun Shinta tetap bersyukur atas penghasilan Mandhasia. Setidaknya itu telah membuktikan pada bapaknya bahwa pekerjaan suaminya nyata.
            Mandhasia melihat judul salah satu buku, “Bisa! Maka Bisalah!” Buku yang tadi sempat ditunjuk oleh Jiet Gwee.
            Optimis sekali. Modal awal untuk melangkah. Yakin bisa!” kata Jiet Gwee saat mengambil salah satu buku dagangan itu. Entah maksud Jiet Gwee tadi, tapi buku ini termasuk salah satu buku yang di jual di toko buku besar. Tapi di pasar ini tidak mendapat respon dalam pasar tradisional ini. Buku itu, buku yang ditulisnya.
            Mandhasia kembali membaca judul buku itu. Lalu teringat senyum sinis Jiet Gwee yang meremehkannya. Saat membaca judul buku itu Mandhasia kembali yakin bahwa dia akan berhasil dengan usaha itu sembari memasyarakatkan buku.
            Tak lama berselang, sekelompok anak muda yang masih berseragam sekolah berhenti di depan kiosnya. Melihat-lihat buku. Ada yang bertanya buku-buku pelajaran sekolah. Namun sayang, Mandhasia kebetulan belum mendapat stok buku-buku yang dimaksud.
            Seorang dari mereka mengambil sebuah buku “Bisa! Maka Bisalah!” Membaca punggung buku dan membukanya kemudian membacanya. Dia kini dia sudah di halaman pertama, halaman kedua.
            Anak muda itu bergumam, “wow! Buku bagus. Berapa harganya?” tanyanya pada Mandhasia.
            “75 ribu,” jawab Mandhasia. “Kalau di toko buku.”
            “Mahal banget.”
            “Kalau di sini saya diskon 15 ribu, jadi 60 ribu.”
            Masih mahal. Pikir anak muda itu, uang sakunya tidak cukup. Teman-temannya kemudian ikut melihat buku itu. Membuka halaman terakhir lalu bergantian menatap Mandhasia dan kembali ke halaman terakhir buku itu.
            “Kau, penulis?” tanya salah seorang di antara mereka terdengar ragu-ragu.
            Belum sempat Mandhasia menjawab, seorang yang lain menyela. “Tak bisa dipercaya. Kios ini dimiliki penulis hebat.”
            Mandhasia tersenyum kaku.
Di seberang kiosnya, Jiet Gwee melihat kerumunan anak muda di depan kios buku Mandhasia heran.
“Nasehatku langsung dijalankan Mandhasia.” Jiet Gwee bicara pada istrinya. Baru kali ini kiosnya dikerumuni pembeli.”
Di dalam kiosnya, Mandhasia melayani anak-anak muda itu meminta tanda tangannya, di buku tulis, tas dan ujung baju seragam sekolah mereka.
            “Terima kasih tanda tangannya.” Mereka menjabat tangan Mandhasia sebelum berpamitan pergi dari sana.
            “Bukunya nggak dibeli?”
            Mereka tersenyum. Senyum yang membuat getir hati Mandhasia.

Wonogiri, 30 Juli 2015            18.31 WIB

DANANG FEBRIANSYAH, belajar di Komunitas Sastra ALIT Solo, anggota FLP Solo Raya. Tinggal di Wonogiri

No comments: