Judul Buku : Makan
Malam Bersama Dewi Gandari
Penulis : Indah Darmastuti
Penerbit : BukuKatta
Tahun Terbit : Januari 2016
Jumlah Halaman : i-ix + 127 Halaman
Cover : Soft Cover
ISBN : 978-602-0947-29-7
Begitu banyak
kisah-kisah kegetiran perempuan dan kemanusiaan yang berawal dari sebuah
pertemuan. Sebuah pertemuan bisa saja menggurita menguak masa lalu dan mungkin
saja memutus masa depan. Pertemuan-pertemuan seperti itu dapat dirasakan dalam
Makan Malam Bersama Dewi Gandari, buku kumpulan cerita yang ditulis Indah
Darmastuti.
Kisah pertemuan
dibuka oleh Laki-laki dari Langit (hal. 1) yang mengisahkan pertemuan perempuan
yang bekerja dengan mencium daun teh – sebuah profesi unik dengan gaji yang
besar – dengan laki-laki yang sering melihat bintang. Dari pertemuan itu
terkuak bahwa laki-laki tersebut pernah menikah dan memiliki seorang anak.
Pertemuan di kebun teh itu membawa akhir yang cukup membuat geregetan pembaca.
Kisah ini merupakan awal yang bagus untuk kisah-kisah yang lain dari buku ini.
Kisah cinta juga
dikemas oleh Indah Darmastuti dalam Di Jantung Batavia (hal. 9). Kisah
penantian yang terbuang dengan setting
di jaman penjajahan ini terjadi antara perempuan yang disebut Putri Solo dengan
lelaki Eropa, Karel. Lelaki Eropa meninggalkan Putri Solo untuk menyelesaikan
studinya, namun tanpa kabar sehingga membuat sang putri tidak tahan untuk
bertahan. Putri Solo telah memilih
lelaki lain. Kembalinya Karel ke Batavia, meskipun
masih menyisakan getar di hati Putri Solo, namun kehidupan harus terus
berlanjut.
Kegetiran yang
menguras emosi kemanusiaan dan perempuan sepertinya memuncak pada Getir Pesisir
(hal. 19). Pertemuan dengan sahabat tidak selamanya indah. Seorang sahabat
telah menjerumuskan Gita dalam dunia pelacuran di pesisir. Kisah Gita sama
halnya dengan Nia, keinginan untuk keluar dari tempat itu dihadang oleh penjaga
mereka. Kisah perdagangan manusia ini diceritakan oleh “Aku” yang juga korban
dan karena ia tidak pandai melayani tamu,
ia dijadikan tukang sapu dan tukang cuci.
Dunia pelacuran
tersebut berkebalikan dengan Di Pusat Lampu Merah (hal. 26). Dengan sukarela
seorang perempuan menjadi pelacur, meski kekasihnya tahu dan bersabar menunggu
sang perempuan melayani tamunya, bahkan lelaki tersebut sampai meninggal dunia
demi menanti kekasihnya untuk sekedar bersama. Meski sang lelaki setia dengan
cintanya, tapi dia dianggap mati sebagai gelandangan.
Kembali Sang
Penulis mengeksplor kisah getir kemanusiaan dan perempuan, itu terurai
dalam Raisha dan Sekotak Tanah (hal. 34). Dimana pertemuan seorang gadis kecil
dengan perempuan dewasa. Gadis kecil Raisha yang kehilangan ibunya itu hidup
bersama nenek dan ayahnya yang seorang pekerja. Sedangkan perempuan itu juga
kehilangan anak. Sama-sama kehilangan itu rupanya mendekatkan keduanya,
sehingga sang perempuan ingin menjadi tanah sebagai ibarat tanah adalah ibu.
Kata-kata perempuan tentang tanah dimasukkan
dalam hati oleh Raisha yang membawa tanah dalam kotak mainannya.
Sebuah kritik juga
dilontarkan Indah Darmastuti pada adat Jawa dalam cerpen Pelangkah (hal. 43).
Sebagaimana banyak yang kita tahu bahwa seorang adik yang ingin menikah harus
menjalani ritual pelangkah dengan memberikan sesuatu pada kakaknya yang masih
lajang. Namun Sang Penulis juga menjelaskan bahwa pelangkah bukan sebuah barang
sebagai penanda untuk mendapat ijin mendahului kakaknya untuk menikah. Tetapi
hanya ungkapan permohonan restu dari kakak (hal. 49).
Kisah kegetiran
masih berlanjut dalam Perahu Rongsok (hal.51). Perahu Rongsok adalah
pengecualian dari kisah lain dari karya penulis asal Solo ini. Kisah ini
melihat dari sudut pandang mercusuar. Mercusuar mampu melihat banyak hal di
lautan, kapal-kapal dan perahu-perahu juga kisah tim penyelamat. Semuanya
terasa getir. Kemanusiaan rupanya juga tercermin dalam cerpen ini, meski tidak
menokohkan manusia.
Pertemuan dua
perempuan yang seakan berlomba mana yang lebih dalam berduka terdapat dalam
Makan Malam Bersama Dewi Gandari (hal. 57). Kisah berlatar Mahabharata ini
merupakan dialog saat makan malam yang diadakan Gandari dengan mengundang
Kunti. Dua orang ibu dari anak-anak yang bertikai. Gandari membincangkan
anak-anaknya yang tumpas di perang Baratayudha yang menganggap itu adalah
puncak kesedihan seorang ibu. Ia rupanya mengabaikan duka-duka Kunti yang
diakibatkan oleh 100 anak Gandari. Dimana anak-anaknya harus dibuang dalam
pengasingan juga saat menantunya dipermalukan di istana.
Kumpulan cerita
ini ditutup sebuah novellet Ashima, Titip Rindu untuk Calcutta (hal. 64). Kisah
ini berlatar tiga negara, Indonesia, Inggris dan India, lengkap dengan
kulinernya yang menjadi bumbu penyedap dalam konflik yang berjalan pelan ini.
Kisah ini rupanya Sang Penulis seakan memberi pelajaran untuk memahami wanita.
Menghadapi perempuan tak perlu dikekang-kekang, tak perlu dilawan. Cukup diberi
ruang dan pilihan, niscaya ia akan bermurah hati karena memang pada dasarnya
perempuan itu pemurah (hal. 71). Menggapai puncak konflik ini cukup lama sebab
ini bukan cerpen. Puncak konflik bisa dikatakan saat Ashima hilang diculik
akibat kegiatannya sebagai aktivis perempuan. Seperti kisah cinta yang diungkap
dalam kisah lain di buku ini, Penulis seperti mengajak pembaca untuk mengolah
emosinya.
Sebagaimana
cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu yang juga berkutat pada perempuan, kegetiran dan
kemanusiaan, Indah Darmastuti pun juga mengolah hal itu yang menjadi benang
merah dari tulisan-tulisan mereka. Meski apa yang ditulis Indah Darmastuti
dikupas dengan lebih lembut.
No comments:
Post a Comment