Friday, April 22, 2016

KISAH GETIR PEREMPUAN





Judul Buku                  : Makan Malam Bersama Dewi Gandari
Penulis                         : Indah Darmastuti
Penerbit                       : BukuKatta
Tahun Terbit                : Januari 2016
Jumlah Halaman          : i-ix + 127 Halaman
Cover                          : Soft Cover
ISBN                           : 978-602-0947-29-7

            Begitu banyak kisah-kisah kegetiran perempuan dan kemanusiaan yang berawal dari sebuah pertemuan. Sebuah pertemuan bisa saja menggurita menguak masa lalu dan mungkin saja memutus masa depan. Pertemuan-pertemuan seperti itu dapat dirasakan dalam Makan Malam Bersama Dewi Gandari, buku kumpulan cerita yang ditulis Indah Darmastuti.
            Kisah pertemuan dibuka oleh Laki-laki dari Langit (hal. 1) yang mengisahkan pertemuan perempuan yang bekerja dengan mencium daun teh – sebuah profesi unik dengan gaji yang besar – dengan laki-laki yang sering melihat bintang. Dari pertemuan itu terkuak bahwa laki-laki tersebut pernah menikah dan memiliki seorang anak. Pertemuan di kebun teh itu membawa akhir yang cukup membuat geregetan pembaca. Kisah ini merupakan awal yang bagus untuk kisah-kisah yang lain dari buku ini.
            Kisah cinta juga dikemas oleh Indah Darmastuti dalam Di Jantung Batavia (hal. 9). Kisah penantian yang terbuang dengan setting di jaman penjajahan ini terjadi antara perempuan yang disebut Putri Solo dengan lelaki Eropa, Karel. Lelaki Eropa meninggalkan Putri Solo untuk menyelesaikan studinya, namun tanpa kabar sehingga membuat sang putri tidak tahan untuk bertahan. Putri Solo telah memilih lelaki lain. Kembalinya Karel ke Batavia, meskipun masih menyisakan getar di hati Putri Solo, namun kehidupan harus terus berlanjut.
            Kegetiran yang menguras emosi kemanusiaan dan perempuan sepertinya memuncak pada Getir Pesisir (hal. 19). Pertemuan dengan sahabat tidak selamanya indah. Seorang sahabat telah menjerumuskan Gita dalam dunia pelacuran di pesisir. Kisah Gita sama halnya dengan Nia, keinginan untuk keluar dari tempat itu dihadang oleh penjaga mereka. Kisah perdagangan manusia ini diceritakan oleh “Aku” yang juga korban dan karena ia tidak pandai melayani tamu, ia dijadikan tukang sapu dan tukang cuci.
            Dunia pelacuran tersebut berkebalikan dengan Di Pusat Lampu Merah (hal. 26). Dengan sukarela seorang perempuan menjadi pelacur, meski kekasihnya tahu dan bersabar menunggu sang perempuan melayani tamunya, bahkan lelaki tersebut sampai meninggal dunia demi menanti kekasihnya untuk sekedar bersama. Meski sang lelaki setia dengan cintanya, tapi dia dianggap mati sebagai gelandangan.
            Kembali Sang Penulis mengeksplor kisah getir kemanusiaan dan perempuan, itu terurai dalam Raisha dan Sekotak Tanah (hal. 34). Dimana pertemuan seorang gadis kecil dengan perempuan dewasa. Gadis kecil Raisha yang kehilangan ibunya itu hidup bersama nenek dan ayahnya yang seorang pekerja. Sedangkan perempuan itu juga kehilangan anak. Sama-sama kehilangan itu rupanya mendekatkan keduanya, sehingga sang perempuan ingin menjadi tanah sebagai ibarat tanah adalah ibu. Kata-kata perempuan tentang tanah dimasukkan dalam hati oleh Raisha yang membawa tanah dalam kotak mainannya.
            Sebuah kritik juga dilontarkan Indah Darmastuti pada adat Jawa dalam cerpen Pelangkah (hal. 43). Sebagaimana banyak yang kita tahu bahwa seorang adik yang ingin menikah harus menjalani ritual pelangkah dengan memberikan sesuatu pada kakaknya yang masih lajang. Namun Sang Penulis juga menjelaskan bahwa pelangkah bukan sebuah barang sebagai penanda untuk mendapat ijin mendahului kakaknya untuk menikah. Tetapi hanya ungkapan permohonan restu dari kakak (hal. 49).
            Kisah kegetiran masih berlanjut dalam Perahu Rongsok (hal.51). Perahu Rongsok adalah pengecualian dari kisah lain dari karya penulis asal Solo ini. Kisah ini melihat dari sudut pandang mercusuar. Mercusuar mampu melihat banyak hal di lautan, kapal-kapal dan perahu-perahu juga kisah tim penyelamat. Semuanya terasa getir. Kemanusiaan rupanya juga tercermin dalam cerpen ini, meski tidak menokohkan manusia.
            Pertemuan dua perempuan yang seakan berlomba mana yang lebih dalam berduka terdapat dalam Makan Malam Bersama Dewi Gandari (hal. 57). Kisah berlatar Mahabharata ini merupakan dialog saat makan malam yang diadakan Gandari dengan mengundang Kunti. Dua orang ibu dari anak-anak yang bertikai. Gandari membincangkan anak-anaknya yang tumpas di perang Baratayudha yang menganggap itu adalah puncak kesedihan seorang ibu. Ia rupanya mengabaikan duka-duka Kunti yang diakibatkan oleh 100 anak Gandari. Dimana anak-anaknya harus dibuang dalam pengasingan juga saat menantunya dipermalukan di istana.
            Kumpulan cerita ini ditutup sebuah novellet Ashima, Titip Rindu untuk Calcutta (hal. 64). Kisah ini berlatar tiga negara, Indonesia, Inggris dan India, lengkap dengan kulinernya yang menjadi bumbu penyedap dalam konflik yang berjalan pelan ini. Kisah ini rupanya Sang Penulis seakan memberi pelajaran untuk memahami wanita. Menghadapi perempuan tak perlu dikekang-kekang, tak perlu dilawan. Cukup diberi ruang dan pilihan, niscaya ia akan bermurah hati karena memang pada dasarnya perempuan itu pemurah (hal. 71). Menggapai puncak konflik ini cukup lama sebab ini bukan cerpen. Puncak konflik bisa dikatakan saat Ashima hilang diculik akibat kegiatannya sebagai aktivis perempuan. Seperti kisah cinta yang diungkap dalam kisah lain di buku ini, Penulis seperti mengajak pembaca untuk mengolah emosinya.
            Sebagaimana cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu yang juga berkutat pada perempuan, kegetiran dan kemanusiaan, Indah Darmastuti pun juga mengolah hal itu yang menjadi benang merah dari tulisan-tulisan mereka. Meski apa yang ditulis Indah Darmastuti dikupas dengan lebih lembut.

No comments: