Cerpen
: Danang Febriansyah
Dimuat di JOGLOSEMAR, Minggu, 30 Oktober 2016
http://epaper.joglosemar.co/folder/2016/10/301016/#p=6
Jalan setapak yang di sisi kanan dan
kirinya merupakan sawah-sawah itu terus terasa semakin licin. Selain menanjak,
jalan kecil itu hanya berupa tanah. Menir harus membungkukkan badan tuanya agar
sampai di atas. Tempat harapannya bersemi.
Kakinya mencengkeram tanah yang
basah dan jari-jari tangannya memegang erat rerumputan yang tumbuh di jalan
setapak itu. Sesekali ia terpeleset namun dengan cepat, kakinya kembali
menemukan pijakan.
Saat sampai pada sebuah tanah yang
agak datar, ia berdiri untuk sekedar mengelap keringat di wajahnya dengan kain
jarik yang digunakan untuk menggendong beban di punggungnya.
Menir
menghela napas melepaskan letihnya. Ia melihat tumpukan pasir di atas, 50 meter
dari tempatnya berdiri kini. Di tepi jalan beraspal itu, pasir yang
dikumpulkannya selama 3 hari ini hampir mencapai 1 rit. Menir kemudian menengok
ke bawah. Terdapat sungai yang juga berjarak 50 meter dari dia berdiri saat
ini. Separuh jalan. Air sungai itu mulai deras dan warnanya semakin cokelat.
“Gareng
tak dapat lagi dipercaya,” keluhnya pada serangga yang bertengger di pohon dan
berbunyi nyaring itu. Gareng di tandai sebagai kemarau yang mulai hadir.
Dulu, pertanda alam yang berupa berbunyinya serangga itu bisa dipercaya oleh
warga desanya. Saat itu, musim kemarau dan penghujan masih bisa diprediksi
dengan tepat.
Berbeda
kini, seiring menuanya usia, Menir tak lagi percaya pada pertanda alam itu. Ia
teringat bapaknya dulu selalu bercerita tentang karya Ronggo Warsito.
“Pasar ilang kumandange, udan ilang mangsane.”
Baginya
itu semacam ramalan.
“Pasar
hilang gemanya, hujan hilang musimnya.”
Dahulu,
saat ia masih muda, pasar di kecamatan yang berjarak hampir 2 kilometer dari
rumahnya selalu terdengar gema riuhnya. Begitu juga deru kendaraan yang tak
pernah ia lihat wujudnya, ia dengar dari jarak hampir 8 kilometer.
Kata
bapaknya, itu deru suara bis, sejenis kendaraan yang besar, yang akan mengantar
penumpangnya jauh hingga ke kota besar. Namun tidak pernah melalui jalan di
desanya. Hingga ia dewasa, barulah wujud bis bisa ia lihat saat berjualan
gorengan di terminal.
Demikian
juga suara selepan padi milik KUD di kecamatan juga bisa ia dengar setiap sore.
Suaranya mirip pesawat terbang yang lewat jauh di atas desanya.
Kini
suara-suara itu musnah. Tak dapat lagi ia dengar meski pasar, bis dan selepan
padi masih beroperasi. Ketika mengingat ramalan Ronggo Warsito itu, ia
menautkan pada keadaan sekarang bahwa ramalan itu benar adanya.
“Hujan
hilang musimnya.”
Bahwa
ia tadi berangkat ke sungai dengan cuaca yang cerah, secerah harapannya untuk
mendapatkan upah dari pasir yang dikumpulkannya. Telah 3 kali ia naik turun
antara sungai dan jalan untuk menumpuk pasir. Tumpukan pasir itu dapat ia lihat
bagian atasnya dari tempatnya berdiri. Tempat dimana harapannya berkumpul.
Untuk
mengumpulkan 1 rit pasir setara dalam 1 bak truk, ia perlu waktu 2 hingga 3
hari. Dalam 1 hari ia mampu mendaki jalan setakak dari sungai ke jalan dengan
beban 1 keranjang pasir hinga bolak-balik 10 x. Kini di hari ke tiga, ia sudah
bolak-balik sebanyak 3 kali, dahn pasir yang dikumpulkannya hampir sesuai
target.
Air
sungai warnanya mulai semakin pekat kecoklatan dengan aliran perlahan semakin
deras. Itu menandakan daerah hulu sungai sudah turun hujan. Menir memandang
langit, gelap oleh mendung. Gareng, serangga pembawa kabar datangnya musim
kemarau tetap berbunyi nyaring meski prediksinya nyaris salah.
Tetapi
ia harus menyelesaikan pekerjaannya, sebelum banjir di sungai menjadi lebih
besar. Dalam hitungannya, di punggungnya ini pasir terakhir untuk 1 rit, pasir
yang dikumpulkannya telah cukup. Dan seperti biasa truk akan segera datang
mengambil pasir yang dikumpulkan dan membayar upah. Gundukan pasir dilihatnya
bak setumpuk uang hasil kerjanya. Itulah harapannya.
Ia
kembali menghela napas, bersiap melanjutkan jalan. Disingsingkannya kain jarik
hingga selutut. Kembali tangannya mencengkeram rumput di depannya dan mulai
melangkahkan kaki dengan tenaga yang semakin berkurang.
Menir
agak kecewa ketika titik-titik air mulai berjatuhan. Ini angkatan terakhir,
aku akan segera pulang membawa hasil. Pikirnya dengan terus berkonsentrasi
pada beban dan jalan setapak yang semakin licin. Pandangannya terus menunduk
menatap jalan agar tidak tergelincir.
Hingga
suara deru kendaraan yang berhenti di atas tidak dihiraukannya. Hanya didengar
dengan penuh harap. Sedikit lagi ia sampai di atas. Titik-titik air mulai
menderas. Suara Gareng telah berhenti, malu karena prediksinya
benar-benar tidak tepat.
Ia
abaikan kaos partai yang dipakainya telah basah kuyup. Kaos yang diingatnya
dulu diberikan oleh seseorang dengan membumbungkan harapan untuk hidup yang
lebih baik. Ingatan itu seketika lenyap sebab kini kenyataannya ia masih
bergelut dengan pasir. Ia rasakan segarnya air hujan membasuh gerahnya.
Semakin
licin jalan setapak, semakin gembur tanah yang diinjak. Namun ia telah banyak
belajar dalam meniti jalan yang tiap hari dilaluinya itu. Lalu dengan napas
yang terengah-engah, ia telah sampai di atas, di tepi jalan beraspal dimana
pasir-pasirnya terkumpul.
Dan
di hadapannya, bukan truk pasir yang berhenti, bukan sopir truk yang membawa
upahnya yang berdiri. Kendaraan yang berhenti saat ia berjalan tadi ternyata
bukan dari kendaraan yang akan mengangkut pasirnya.
Yang
di hadapannya, yang membuatnya terhenyak. Beban pasir di punggungnya jauh
semakin berat dari seharusnya saat melihat seorang lelaki muda berpenampilan
begitu rapi dan necis di bawah naungan payung.
Dulu,
ia bertemu pertama kali dengan lelaki muda itu seperti membawa embun penyejuk
di saat dahaga menyelimuti tenggorokannya. Beberapa bulan lalu. Dan atas saran
kawannya, ia pun menerima bantuan dari lelaki muda itu tanpa syarat yang
berbelit. Namun kini, embun yang dulu begitu segar itu seakan berubah menjadi batu
besar yang menindih hidupnya.
Lelaki
muda itu membuka sebuah buku kecil dan menyobek sebuah kertas berwarna kuning
yang terselip dalam buku.
“Mbah
Menir telah lama menunggak. Selalu banyak alasan untuk membayar. Bagaimanapun
juga sekarang harus dilunasi!” kata pemuda itu pelan namun berat untuk
didengarkan.
Tatapan
pemuda rapi itu tajam menusuk raga tuanya. Manis kata-kata saat pertama bertemu
kini tak lagi dirasakan manis. Begitu pedas kini.
“Maaf,
pasirku belum dibayar.” Menir lirih menjawab sambil mengusap air hujan di
wajahnya, tersamarkan dengan air mata.
“Selalu
begitu alasannya!” kata pemuda itu makin meninggi. “Bayar!” lanjutnya bersamaan
dengan petir yang menyambar.
Menir
menatap ke langit yang gelap. Berharap ada setitik cahaya di sana.
DANANG
FEBRIANSYAH, tergabung dalam #KampusFiksi, Sastra Alit dan FLP Solo. Tinggal di
Wonogiri