Cover Buku "Balada Bidadari" |
(Dimuat di "Radar Mojokerto", Minggu, 29 Januari 2017)
Judul : BALADA BIDADARI
Jenis
Buku : Fiksi
Penulis : Yuditeha
ISBN : 978-602-412-161-7
Tahun
terbit : November 2016
Tebal : x + 134 hal
Penerbit : Penerbit
Buku Kompas
Jika cinta hanya berkutat pada hubungan kasih antar lawan
jenis itu sudah biasa. Namun jika cinta tersebut dijalani dalam berbagai
peristiwa bersamaan dengan kisah-kisah yang mendalamkan perasaan cinta itu
sendiri, akan berkembang menjadi sebuah hal yang tentu menjadi pisau bermata
dua. Di satu sisi kejadian-kejadian tersebut akan mengekalkan hubungan, di sisi
lain, jika merasa terbebani dengan masalah, cinta akan bertindak bodoh dan
menimbulkan kematian yang konyol.
Di sinilah pembaca karya sastra di samping mengetahui
“hitam-putih”, juga selayaknya mengenal “warna lain” selain itu. Pembaca tidak
hanya dicerahkan oleh sebuah kisah, namun juga bisa dicerdaskan melalui karya
tersebut.
Seperti banyak kita tahu bahwa kisah cinta tidak akan
lekang oleh waktu. Dan kepiawaian Yuditeha dalam meramu berbagai kisah cinta
dalam berbagai sudut pandang akan mercerdaskan pembaca dalam meluaskan
penafsiran tentang cinta. 20 cerita cinta dalam Balada Bidadari ini buktinya.
Jika cinta mampu membuat orang bersepakat menjadi gila,
tentu itu memungkinkan demi melancarkan kisah cinta yang tidak direstui. Dalam
Kesepakatan Gila (hal. 1) dan Kesepakatan Gila 2 (hal. 123) menggambarkan hal
tersebut ketika sepasang kekasih harus bersepakat berbuat gila demi mendapat
restu dari orang tua.
Screen Shot Harian Radar Mojokerto |
Dalam beberapa kisah, penulis yang juga merupakan pecinta
musang ini menggubah beberapa dongeng menjadi sebuah kisah metafora yang
mungkin terjadi pada masa sekarang. Ialah Balada Bidadari (hal. 46) yang jika
kita boleh menafsirkan kisah ini digubah dari dongeng Jaka Tarub. Ini sah saja
sebab jalan cerita tentu saja berbeda dengan versi aslinya. Atau juga dalam
kisah Lelaki Sampan (hal. 7) yang jika dibaca, pembaca akan merujuk pada kisah
Sangkuriang.
Buku ini tentu saja memiliki keunggulan. Dari sisi cover
saja, ilustrasi didesain langsung oleh sang penulis, sebab Yuditeha juga
memiliki keahlian dalam seni lukis wajah.
Dalam “buku cinta” ini selain pembaca diajak untuk
menikmati jalinan cinta, juga diajak untuk bertualang di danau Ranu Kumbolo,
Gunung Semeru. Danau yang terkenal dengan keindahannya ini menjadi setting dari
kasih tak sampai pada Ranu (hal. 34). Lokasi yang digambarkan dengan indah ini
diuraikan secara cantik, sebab Yuditeha tercatat sudah empat kali berkunjung ke
sana. Sebagai pecinta alam yang sering mendaki gunung, tentu saja Yuditeha
menguasai setiap setting dalam cerita yang ditulisnya.
Kisah cinta berbalut isu politik tak luput dari
pengamatan sang penulis. Dalam Mata-mata (hal. 14) dan Mutsyama (hal. 20)
cerita cinta berlatar dunia politik. Jika Mata-mata berlatar isu gerakan di Aceh
beberapa tahun lalu, sedang Mutsyama berlatar hubungan Indonesia dan malaysia
tentang Undang-undang Bahari yang diterapkan Indonesia pada masa pemerintahan
Jokowi. Khusus Mutsyama ini, berawal dari ketertarikan Yuditeha pada nama
sahabatnya yang bernama Mutsyama, yang kebetulan juga pernah berkunjung ke
Malaysia. Cerita yang bersetting Malaysia dan Salatiga, Indonesia ini tentu
memiliki kelebihan, sebab tokoh yang bernama Mutsyama benar-benar ada.
Jika kita perhatikan lebih dalam, buku kumpulan cerpen ini
memiliki sebuah keunikan dalam penerbitnya. Seperti yang banyak kita tahuu,
Penerbit Kompas merupakan penerbit yang kebanyakan buku terbitannya bertema
politik. Namun buku Balada Bidadari bertemakan cinta. Tentu ini sudah melalui
pertimbangan matang kenapa Balada Bidadari layak diterbitkan oleh Penerbit
Kompas.
Penulis
Resensi :
Danang
Febriansyah (tergabung dalam
FLP Solo, Sastra Alit dan #KampusFiksi). Kini bergerilya untuk Membudayakan
Membaca dan Memasyarakatkan buku di sebuah desa.