“Bagaimanapun juga, kita tidak bisa bertahan lagi di tempat ini.” Hening
dan muram berbalut make up tebal diantara mereka. “Meski peluh kita bercucuran
mempertahankannya, tapi mereka lebih punya kuasa!” Perempuan muda memberi
wacana dalam kelompok masyarakat di bangunan yang berdiri di tepi sungai.
Bangunan-bangunan yang rapat dihiasi kerlap kerlip lampu itu, kini menjadi
riuh oleh kabar yang semakin kencang beredar. Lampu-lampu yang beragam warna,
malam ini seakan tak mampu memeriahkan kampung di tengah kota ini seperti
malam-malam sebelumnya.
“Ini malam terakhir kita di sini. Nikmatilah. Dan besok kita akan
berjuang!” Make up perempuan muda itu belum sepenuhnya luntur saat sia undur
diri setelah menerima pesan singkat di telepon genggamnya.
***
Meski kampung itu dirundung gelisah, namun aktivitas malam – yang disebut
sebagai malam terakhir – itu tidaklah berhenti – belum benar-benar
berhenti.
“Kau tahu, sudah berkali-kali kau menemuiku dan berakhir di ruang ini,”
Kurantil, perempuan muda itu duduk di sisi ranjang. “Dan kau tidak melakukan
apapun atas diriku.”
“Ya. Seperti yang sering kubilang, aku merasa nyaman bicara denganmu.”
Lelaki tegap dihadapannya itu menjawab. “ Dan aku juga membayarmu seperti yang
lain.”
“Aku tidak peduli seberapa nyaman dirimu, denganku atau yang lain. Karena
cemburu itu bukan wilayahku.”
“Ada atau tidak tempat ini, aku harap kamu tetap ada saat aku
membutuhkanmu.”
“Lupakan. Mungkin ini terakhir kita bertemu.” Kurantil menahan amarah.
Lelaki di depannya ini bagaimanapun juga terlibat akan kelangsungan hidupnya.
“Tidak! Mengertilah. Kau akan ada di tempat yang jauh lebih layak dari
tempat ini. Seperti yang kumau, kita pergi dari sini.”
“Sudahlah. Ini terakhir kita bertemu. Selesaikan seperti lelaki lain
segera. Kau tak pernah melakukannya.”
Lelaki itu hanya diam tak melakukan yang disarankan Kurantil. Ia mengusap
wajahnya dengan tangan. Lalu menatap wanita itu dengan tatapan memohon.
Tapi Kurantil sadar bagaimana posisinya saat ini – seperi dalam buku
‘Perempuan di Titik Nol’ yang pernah dibacanya – polesan wajah, pakaian dan
aksesoris yang dikenakannya berada di kalangan atas. Bahkan ia merawat wajah
dan tubuhnya di tempat dimana para kalangan atas – di dalamnya termasuk
pejabat, pengusaha dan beberapa artis – juga merawat wajah dan tubuh
mereka.
Namun bila ia melihat dimana dia mengakhiri pendidikannya, tidak bisa
dibilang Kurantil berpendidikan tinggi, meski tidak setinggi pendidikan lelaki
berkumis di hadapannya ini, namun tak juga berpendidikan rendah. Hanya
ijasahnya saja yang menandakan bahwa ia berada di kalangan menengah.
Tapi, semua orang mengakui, tempatnya kini dan apa yang dilakukannya demi
hidup yang dilaluinya, Kurantil sadar berada di kalangan rendah yang
terpinggirkan. Meskipun begitu, semua kalangan termasuk Tambir, lelaki itu
selalu mencarinya hanya untuk beberapa jam saja. Meskipun Tambir mencarinya
dengan maksud yang berbeda.
“Aku tidak bisa mencegah penggusuran besok. Tapi aku bisa membawamu,
meninggalkan tempat ini. Malam ini.” Tambir menunduk.
Kurantil menitikkan air mata dan disekanya dengan cepat sebelum Tambir
melihatnya. Ia teringat kawan-kawannya yang berkumpul tadi. Kawan-kawan yang
memilih kampung ini sebagai muara nasibnya. Yang sedia dianggap kaum rendah dan
sampah masyarakat. Demi hidup yang akan terus berlangsung.
Ia tatap Tambir, seketika ia terseret pada sebuah perasaan yang sulit
dicegah. Tambir yang sejak awal menemuinya beberapa bulan yang lalu, tak
sekalipun melakukan yang seharusnya dilakukan saat wanita seperti dia membuka
harga dirinya.
“Sejak mengenalmu. Aku berjanji akan berhenti melakukan itu. Kau berperan
mengubahku,” kata Tambir kemudian.
Sejak pertemuan pertama dengan Tambir dan dilanjutkan hingga pertemuan yang
berkali-kali, lelaki itu hanya mengajaknya bicara seakan untuk meluapkan segala
beban hidup dan pekerjaannya. Hingga Kurantil tidak merasa bahwa beban hidupnya
jauh lebih berat daripada Tambir. Dari Tambir jugalah, ia merasa diperlakukan
sebagaimana layaknya manusia biasa, bukan perempuan yang dianggap menjijikkan.
Sekian lama bertemu, Tambir kemudian mengungkapkan sesuatu yang tidak
pernah ia impikan saat ia terjun dalam dunia yang digeluti ini, “Menikahlah
denganku.”
Mengingat itu, Kurantil merasa melayang, harapan yang tak pernah
diimpikannya membuatnya melambung. Namun ia sadar perempuan macam apa ia dan
tidak memberi jawaban pasti atas keinginan Tambir. Hingga malam sebelum penggusuran
ini, harapan itu masih saja membumbung.
Ia lihat ketulusan di mata Tambir, sebab ia sudah terbiasa menatap mata
banyak lelaki dari dekat, ia hapal mana mata yang jujur dan dusta. Kejernihan
mata Tambir mengatakan sebuah kejujuran dan ketulusan. Namun ia kemudian
kembali menginjak bumi, ia tidak mungkin meninggalkan kawan-kawannya yang
tertindas. Apalagi ia tadi sempat mengatakan akan berjuang meski kemungkinan
berhasil itu kecil. Ia akan berada di garis depan demi membela kepentingan kaum
marjinal seperti mereka.
Kurantil meremas rambutnya. Dilema ini sungguh sulit dijawab. Suasana
hening sejenak, meski dentuman musik-musik terdengar dari luar. Kurantil
menatap tajam mata Tambir. Ia menghela napas panjang.
“Sejak kau memberiku impian indah itu, aku belum menolak atau menyetujui.
Kau mestinya tahu kenapa. Tapi ...” Kurantil menunduk, “Hanya kau yang tak
pernah menganggapku sebagai kupu kupu malam,” lanjutnya seperti bisikan.
Keduanya terdiam, suara tawa orang-orang di luar terdengar dari dalam ruang
bersekat triplek ini. Selebihnya di ruang yang remang ini, hanya sunyi yang
ada.
Kalimat terakhir di depan kawan-kawannya tadi sebelum menerima pesan
singkat dari Tambir seakan butuh pertanggungjawaban. Besok ia akan kembali
mengobarkan semangat mempertahankan kampung yang telah ditinggalinya selama
bertahun-tahun.
“Aku tetap menunggu jawabanmu, dan harapanku tidak pernah padam. Tapi
besok, tugas mesti dijalankan.” Tambir berdiri dan pelan berjalan lalu menutup
pintu dengan perlahan.
Kurantil yang masih duduk di sisi ranjang, kini melepaskan tangisnya.
***
Kerumuman orang, baik laki-laki maupun perempuan – termasuk Kurantil
sudah menghadang kedatangan Satpol PP sejak pagi. Mereka terus meneriakkan
penolakan penggusuran yang dilakukan pemerintah kota atas kampung mereka.
Peluh mereka bagai hujan yang teramat deras saat apa yang ditunggu tiba.
Rombongan Satpol PP disertai beberapa ekskavator dan dikawal ratusan polisi
telah mendekat di kampung mereka. Mereka merangsek maju menghadang aparat
tersebut.
Kurantil berlari maju dan mengobarkan semangat pada penghuni kampung itu,
bahwa mereka tidak bisa digusur seenaknya saja. Ia menatap tajam lelaki-lelaki
berseragam yang membawa pentungan dengan posisi siaga menyerang itu. Juga tak
luput dari pandangannya kendaraan-kendaraan berat yang siap menghancurkan
kampungnya.
Matanya kemudian tertuju pada sosok di belakang kemudi ekskavator. Ia
merasa luluh menatap lelaki itu. Lelaki yang semalam bersamanya. Lelaki yang
siap mengangkatnya pada posisi yang lebih baik jauh sebelum keputusan
penggusuran ini dieksekusi. Lelaku yang dari matanya terpancar pesan ketulusan
tanpa merendahkan dirinya.
Dari mata lelaki itu pula, kini terbaca pesan permohonan maaf dan meminta
jawaban atas harapan Tambir. Kurantil terdiam saat itu hingga keakuannya
digedor-gedor kawan-kawan seperjuangannya setelah hatinya diketuk dengan begitu
lembut oleh Tambir.
Namun gedoran itu semakin kuat kala belalai ekskavator yang dikemudikan
Tambir menghantam bangunan yang semalam ia dan Tambir berada di dalamnya.
Sekilas ketika melakukan itu, mata Tambir penuh api. Dan gemuruh massa
melemparkan batu pada aparat yang bertugas. Kerusuhan tak dapat dihindari.
Kurantil juga terbakar emosinya, bersama warga kampung merangsek maju menyerang
petugas. Hingga sebuah pentungan tepat mengenai kepalanya dan ia terjatuh. Pandangannya
kabur saat dari sebuah ekskavator turunlah Tambir dan berlari menghampirinya,
dan membawanya ke tempat yang lebih sejuk.
Selebihnya, saat bibir Tambir hendak mengatakan sesuatu, pandangan Kurantil
menjadi gelap.
Tentang Penulis
Danang Febriansyah, Karyanya berupa cerpen dan resensi buku pernah
dipublikasikan di solopost, koran pantura, merah putih post, joglo semar dan
radar mojokerto juga terdapat dalam beberapa Antologi. Saat ini tergabung dalam
FLP Solo, pernah belajar bersama Sastra Alit Solo dan Alumni #KampusFiksi
Jogja. Sedang merintis taman baca di sebuah desa dan tergabung dalam Forum TBM
Wonogiri.