Cerpen
: Danang Febriansyah
Dimuat di Koran Pantura, Kamis, 12 Mei 2016
Tepat tiga hari suaminya pergi. Padahal
janji suaminya saat itu hari ini pulang. Namun sampai maghrib tiba seperti ini dan
disertai hujan, belum juga nampak kepulangan sang suami. Dami belum menutup
pintu rumah, berharap mendengar dengan jelas truk yang dikendarai suaminya
datang.
Tapi deru truk yang diharapkannya
belum terdengar. Hanya gemericik suara hujan yang masuk ke telinganya. Hawa
dingin masuk melalui pintu yang belum ditutup. Dami bangkit dan melongok
keluar. Masih belum tampak Kenci – suaminya – akan pulang. Pintu ditutup, angin
dingin rupanya membuat Dami menutup pintu dan menyalakan televisi.
Televisi itu, Dami mengingat benda
yang dibeli suaminya saat awal menikah lima tahun yang lalu. Itu dibeli karena
dirinya merasa kesepian jika ditinggal Kenci mengantar pasir sejak pagi hari.
Untuk menghibur Dami, Kenci selalu
pulang sebelum maghrib. Tapi saat siang datang Dami kembali diliputi kesepian.
Maka dari hasilnya menjadi sopir truk pengangkut pasir, Kenci membelikannya
televisi untuk Dami.
Meski televisi sudah dibeli, Kenci
terus berusaha pulang sebelum maghrib. Padahal sebelum menikahi Dami, Kenci
selalu pulang ke rumahnya paling tidak saat isya’ datang. Kadang lebih dari
itu.
Ah, mengingat usaha keras Kenci demi
dirinya, Dami menghargainya dengan selalu menyambut kepulangannya dengan
senyum. Dami juga ingat saat hasil yang didapatkan Kenci digunakan sebagai
modal usaha berdagang beras, yang kemudian dijalankan Dami. Meski sampai tiga
tahun pernikahan mereka belum dikaruniai seorang anak, namun Dami terus merasa
terhibur dengan kejutan-kejutan yang diberikan suaminya : televisi, pulang
sebelum maghrib, hingga modal usaha dan warung beras. Dami merasa dirinya
sangat dicintai Kenci.
Perlahan, usaha warung beras itu
makin lancar dan bisa dibilang sukses. Itu hiburan yang jauh lebih baik
daripada sekedar televisi. Dami keteteran menjalankan usaha itu. Dan saat
melihat Dami kewalahan menjalankan warung beras mereka, Kenci kembali membuat
kejutan untuk istrinya, berhenti menjadi sopir truk dan menemani Dami
menjalankan warung beras bersama.
Petir menyambar membuat lamunan Dami
buyar. Ia kembali membuka pintu berharap Kenci telah berdiri di teras dengan
basah kuyup, sehingga Dami dengan suka cita menghanduki suaminya, menyiapkan
pakaian ganti, menyediakan kopi panas dan sebungkus kretek serta sepiring mie
instan panas.
Namun harapan itu musnah seketika
saat pintu dibuka, hanya kilat yang sedetik membuat malam menjadi terang saja
yang ia lihat.
Ah, hujan di malam ini, dengan udara
yang membuat Dami menggigil. Ia berangan malam ini berdempetan dengan suaminya
di depan televisi dan lengan kekar Kenci menggamitnya.
Melamun tentang kemesraan itu,
melemparkan angan Dami pada berita-berita yang diembuskan tetangganya. Kenci
sedang dipinjam Sothil, janda satu RT dengannya, pemilik warung beras
juga.
Berita itu beredar bahwa Kenci
menjadi soblah Sothil. Ya, demi melancarkan usaha dagang berasnya, Sothil
mencari jalan pintas. Janda itu mencari penglaris yang tidak memakan tumbal
jiwa. Dia memilih soblah, sebuah jalan pesugihan dengan mengajak lelaki yang
dianggapnya berhasil dan punya uang lebih untuk bermain cinta, seperti Kenci.
Dengan begitu, harta kekayaan Kenci
bisa terserap secara misterius kepadanya melalui persetubuhan tanpa ikatan itu.
Bukankah itu menarik? Pikir para pembawa berita, Sothil tak punya anak
untuk dijadikan tumbal pesugihan, orang tuanya juga sudah meninggal. Hanya soblah
pilihannya.
Kabar itu sudah lama beredar dan
sampai di telinga Dami. Awalnya Dami tidak peduli, bukankah Kenci tidak pernah
meredupkan perhatian kepadanya? Kejutan-kejutan menyenangkan juga selalu
didapatnya?
Tapi
lama kelamaan kabar yang membuat panas telinga itu membuatnya jengah. Dan
kepada siapa lagi Dami mencari kebenaran dengan sejelas-jelasnya kalau tidak
dari mulut suaminya sendiri.
“Benar, Mas?” tanya Dami saat itu.
“Benar apanya?” Kenci santai
menyeruput kopi dan mengisap kreteknya.
“Itu ...” Dami masih ragu. “Kabar
tetangga-tetangga tentang Mas Kenci.”
“Soblahnya Sothil?”
Lega, itu yang mau dikatakan Dami.
“Iya. Jadi benar itu, Mas?”
“Kamu tahu, berbuat baik itu pangkal
kaya.”
“Maksudmu, Mas begituan dengan
Sothil itu berbuat baik?”
“Hanya sebentar.” Enteng saja Kenci
menjawab.
Padahal mendengar dengan jelas
pengakuan itu, Dami merasa diiris-iris pisau seperti mengiris bawang. Pedih.
“Jangan bilang itu berbuat baik,
Mas. Itu dosa besar.” Dami mencoba menahan agar air matanya tidak keluar.
“Sothil butuh. Dan membantu itu
tidak buruk, bukan?”
“Membantu?” Dami merasa mual
membayangkan Sothil dan Kenci. Seperti sedang mengiris bawang, air mata itu tak
dapat ditahan. Tumpah sudah. Dan Kenci merasa perlu menenangkan istrinya.
“Tenang saja, kamu yang tetap di
hatiku. Aku melakukan itu bukan dari hati. Aku tidak menikmatinya. Tenanglah,
aku tetap suamimu.”
Dikiranya kalimat itu membuat Dami
tenang. Padahal bagi Dami, itu telah merobek harga dirinya sebagai istri. Itu
sebuah bentuk pengkhianatan. Dami geram. Ia merasa darahnya menjadi bensin dan
pengakuan Kenci itulah apinya. Terbakar sudah harga dirinya sebagai istri.
Sebagai perempuan. Mukanya merah menahan marah. Kenci tidak lagi bisa menjaga
diri sebagai suami.
Pertanyaan dari Dami itu terjadi
saat warung berasnya makin sepi pembeli setelah warung beras milik Sothil
berdiri dan semakin hari semakin laris. Menyerap pelanggan Dami. Pada awalnya
Dami tidak begitu peduli dengan itu. Sebab dengan harga beras dan kualitas yang
sama, beras milik Dami lebih murah. Dami selalu berpikiran baik, mungkin
pelayanan Sothil lebih baik.
Akan tetapi pengakuan Kenci di sore
itu seakan telah membuka tabir yang dianggapnya tidak ada.
“Kamu tidak kehilangan apapun. Aku
masih dan tetap suamimu. Aku juga terus memperlakukanmu seperti dulu, sebagai
istri. Tidak berubah.” Kenci terus berusaha menenangkan istrinya dengan bicara
begitu ringan, seakan tidak ada beban sama sekali.
Sebagai perempuan, Dami hanya bisa
menangis mendengar pengakuan tersebut. Dami bertahan dengan sesak di dada. Dan
benar saja, semakin ramai warung beras Sothil, warung beras Dami bangkrut dan
tutup.
Hal itu tidak membuat Kenci berhenti
bertanggungjawab. Kenci tidak mengeluh kalau warung beras mereka tutup. Ia
kemudian kembali menjadi sopir truk pengangkut pasir. Ia masih tetap memberi
nafkah istrinya, lahir maupun batin. Namun nafkah yang terakhir, tidak bisa diterima
Dami dengan ketulusan. Hampa dan datar.
Lalu malam ini, tiga hari Kenci
belum pulang juga. Tiga hari yang lalu Kenci pamit pergi mengangkut pasir dari
Merapi. Berjarak 300 kilometer dari desanya. Ia bilang pada Dami tiga hari akan
pulang.
Jam
7 malam telah lewat, hujan sudah berhenti. Namun Kenci belum juga pulang. Dami
gelisah.
Pak RT lewat depan rumah Dami.
Melihat istri Kenci berdiri di depan pintu, Pak RT menyapanya.
“Sothil masih menginginkan suamimu.
Kiranya hasil dari Merapi diserapnya malam ini. Sothil belum puas meski warung
berasmu sudah habis. Kalau kau jemput sekarang Kenci di rumah Sothil, mungkin
belum terlambat.” Pak RT tidak lagi menutup-nutupi kelakuan suaminya dan
Sothil.
Dami termangu. Dada serasa penuh.
Seakan bukan suara Pak RT yang didengarnya, tapi suara pecahan harga dirinya
yang jatuh berkeping. Keakuannya sebagai istri seperti tak lagi ada.
Dia biarkan warungnya sepi dan
tutup. Dia biarkan Kenci kembali menjadi sopir truk. Namun membayangkan Sothil
mengambil suaminya, bisakah dia bersabar.
Wonogiri,
17 Desember 2015 19.10 WIB
Danang
Febriansyah, Komunitas Sastra Alit Solo