“Don’t
judge a book by a cover” – Jangan hakimi buku dari covernya.
Itu tentang buku.
Bagaimana kalau manusia? “Jangan
hakimi orang dari penampilannya (please translate!). Nah, benarkah ungkapan
“Kesan pertama begitu menggoda... ?”
Bisa jadi, bisa jadi...
Ini tentang salah satu profesi
yang kontroversial. Profesi yang membantu sekaligus mencekik yang berdampak
pada kerusakan dalam rumah tangga. Wow... Profesi
seorang bankir. Bagaimana bisa? Bank yang dikenal dengan Bank Plecit, istilah
lain rentenir a.k.a lintah darat.
Kita banyak yang sudah tahu
seperti apa bank swasta yang satu ini. Untuk mendapat pinjaman dari bank yang
satu ini, memang sangat-sangat mudah, cukup fotokopi KTP tanpa agunan atau slip
gaji. Semua serba mudah yang membuat banyak orang – kebanyakan ibu-ibu rumah
tangga – banyak menggunakan jasa ini, sebagian tanpa sepengetahuan suami.
Kini, kita bicara tentang bank
swasta ini di tempatku saja, khususnya di tempatku dagang buku, di sebuah pasar
tradisional. Lebih dari setengah tahun aku berjualan buku sambil mengamati
sikap, penampilan dan perilaku banyak orang. Satu yang menurutku paling
mencolok adalah bank berjalan ini.
Nyaris hampir semua penduduk
dalam pasar tradisional : bersandal, pakaian “seadanya”, sebagian besar tanpa
make up dan polesan apapun bahkan banyak juga yang belum mandi. Namun dari
semua yang berseliweran dalam pasar itu ada kelompok yang selalu bersepatu
mengkilap, kemeja berseterika licin, beberapa mengenakan batik dan semuanya
juga mengenakan jaket kulit warna hitam. Di tangannya tergenggam buku kecil
yang berisi catatan-catatan dan kartu-kartu para peminjam uang. Tas selempang
atau ransel tak lupa mereka bawa.
Mereka terlihat sebagai high
class di dalam pasar. Mereka adalah bankir! Jangan lupa itu!
Namun mengapa selalu
berpenampilan seperti itu? Bukankah mereka jika berpenampilan sederhana dan
biasa saja, juga bisa memikat hati banyak orang dengan pinjaman tanpa agunan?
Bukankah lidah mereka manis? Ataukah mereka berprinsip “hakimi buku dari
sampulnya?”
Tentang profesi ini, beberapa
kali aku mendengar kisah konflik antara kreditur dan debitur. Sang Bank Plecit
mendatangi rumah seorang ibu rumah tangga yang memiliki hutang padanya.
Dicarinya sang ibu di rumah tidak ada. Ia akhirnya menemukan ibu itu di rumah
tetangga. Dipaksanya ibu itu untuk membayar hutang. Ibu itu sampai
berteriak-teriak bahwa ia belum punya uang. Terus dipaksa, dan ibu itu
melakukan sesuatu yang membuktikan dia tak punya uang saat itu. Ibu itu nekat
membuka roknya demi meyakinkan Bank Plecit.
Kisah lain tentang pernak pernik
Bank yang satu ini saat, bank plecit mendatangi rumah “korban”nya yang juga
seorang istri. Sang suami kebetulan pergi bekerja sebagai kuli bangunan di desa
lain. Biasanya sang suami tidak pulang saat jam makan siang. Namun hari itu
entah dia ingin pulang saat makan malam. Naluri seorang suami menemui hasil
saat di depan rumahnya terparkir sebuah sepeda motor. Namun pintu depan
rumahnya tertutup. Ia berinisiatif masuk melalui pintu belakang. Setelah masuk
ia menuju kamarnya. Dan di sanalah ia menemukan Bank Plecit sedang melakukan
yang seharusnya hanya dia yang melakukan dengan istrinya.
Setelah diusut ternyata istrinya
memiliki hutang pada bank plecit dan tidak bisa membayar. Si Bankir meminta istrinya
hari itu sebagai ganti utangnya.
Terlepas dari semua itu, mereka
masih dicari karena syarat pencairan uang yang sangat mudah. Membuat profesi
ini masih banyak yang menjalani. Mereka seakan menjadi bumbu penyedap dalam
kehidupan.
No comments:
Post a Comment