Monday, February 22, 2016

HAKIMILAH BUKU DARI SAMPULNYA


Sumber gambar : harianjogja.com
“Don’t judge a book by a cover” – Jangan hakimi buku dari covernya.
                Itu tentang buku.
                Bagaimana kalau manusia? “Jangan hakimi orang dari penampilannya (please translate!). Nah, benarkah ungkapan “Kesan pertama begitu menggoda... ?”
                Bisa jadi, bisa jadi...
                Ini tentang salah satu profesi yang kontroversial. Profesi yang membantu sekaligus mencekik yang berdampak pada kerusakan dalam rumah tangga. Wow...     Profesi seorang bankir. Bagaimana bisa? Bank yang dikenal dengan Bank Plecit, istilah lain rentenir a.k.a lintah darat.
                Kita banyak yang sudah tahu seperti apa bank swasta yang satu ini. Untuk mendapat pinjaman dari bank yang satu ini, memang sangat-sangat mudah, cukup fotokopi KTP tanpa agunan atau slip gaji. Semua serba mudah yang membuat banyak orang – kebanyakan ibu-ibu rumah tangga – banyak menggunakan jasa ini, sebagian tanpa sepengetahuan suami.
                Kini, kita bicara tentang bank swasta ini di tempatku saja, khususnya di tempatku dagang buku, di sebuah pasar tradisional. Lebih dari setengah tahun aku berjualan buku sambil mengamati sikap, penampilan dan perilaku banyak orang. Satu yang menurutku paling mencolok adalah bank berjalan ini.
                Nyaris hampir semua penduduk dalam pasar tradisional : bersandal, pakaian “seadanya”, sebagian besar tanpa make up dan polesan apapun bahkan banyak juga yang belum mandi. Namun dari semua yang berseliweran dalam pasar itu ada kelompok yang selalu bersepatu mengkilap, kemeja berseterika licin, beberapa mengenakan batik dan semuanya juga mengenakan jaket kulit warna hitam. Di tangannya tergenggam buku kecil yang berisi catatan-catatan dan kartu-kartu para peminjam uang. Tas selempang atau ransel tak lupa mereka bawa.
                Mereka terlihat sebagai high class di dalam pasar. Mereka adalah bankir! Jangan lupa itu!
                Namun mengapa selalu berpenampilan seperti itu? Bukankah mereka jika berpenampilan sederhana dan biasa saja, juga bisa memikat hati banyak orang dengan pinjaman tanpa agunan? Bukankah lidah mereka manis? Ataukah mereka berprinsip “hakimi buku dari sampulnya?”
                Tentang profesi ini, beberapa kali aku mendengar kisah konflik antara kreditur dan debitur. Sang Bank Plecit mendatangi rumah seorang ibu rumah tangga yang memiliki hutang padanya. Dicarinya sang ibu di rumah tidak ada. Ia akhirnya menemukan ibu itu di rumah tetangga. Dipaksanya ibu itu untuk membayar hutang. Ibu itu sampai berteriak-teriak bahwa ia belum punya uang. Terus dipaksa, dan ibu itu melakukan sesuatu yang membuktikan dia tak punya uang saat itu. Ibu itu nekat membuka roknya demi meyakinkan Bank Plecit.
                Kisah lain tentang pernak pernik Bank yang satu ini saat, bank plecit mendatangi rumah “korban”nya yang juga seorang istri. Sang suami kebetulan pergi bekerja sebagai kuli bangunan di desa lain. Biasanya sang suami tidak pulang saat jam makan siang. Namun hari itu entah dia ingin pulang saat makan malam. Naluri seorang suami menemui hasil saat di depan rumahnya terparkir sebuah sepeda motor. Namun pintu depan rumahnya tertutup. Ia berinisiatif masuk melalui pintu belakang. Setelah masuk ia menuju kamarnya. Dan di sanalah ia menemukan Bank Plecit sedang melakukan yang seharusnya hanya dia yang melakukan dengan istrinya.
                Setelah diusut ternyata istrinya memiliki hutang pada bank plecit dan tidak bisa membayar. Si Bankir meminta istrinya hari itu sebagai ganti utangnya.

                Terlepas dari semua itu, mereka masih dicari karena syarat pencairan uang yang sangat mudah. Membuat profesi ini masih banyak yang menjalani. Mereka seakan menjadi bumbu penyedap dalam kehidupan.

No comments: