Monday, February 22, 2016

RINDU KOMUNITAS




                Hidup di desa itu antara enak dan tidak. Di banyak film, menggambarkan kehidupan di desa yang damai, sejuk dan hijau. Hingga banyak orang yang bercita-cita suatu saat ingin hidup di desa dengan beternak dan bercocok tanam. Saya cuma tersenyum mencibir, dikiranya beternak dan bercocok tanam semudah dia meludah.
                Saya pernah hidup di kota dan banyak hidup di desa. Sebagai anak desa, saya ditakdirkan untuk mencintai buku, menyukai membaca dan menggemari menulis. Dimana teman-teman saya di desa tak satupun yang sehaluan. Tapi kegemaran saya itu tidak pernah hilang, malah makin menjadi.
                Seingat saya, sejak tahun 2000-an buku-buku mulai mengisi kamar. Stelah di tahun 1997-an aku mulai menulis. Sejak ada buku maka kegemaran menulis pun kembali perlahan mengiringi rutinitas membaca. Dan di tahun 2006, hampir tiap minggu selama 4 bulan bolak balik desa-kota, saya mampu membeli buku. Itu terjadi sejak saya masuk di sebuah komunitas menulis, Forum Lingkar Pena. Dari sana saya mengenal beberapa penulis seperti Donatus A. Nugroho dan (Alm) Joko Sumantri. Melalui nama yang terakhir ini saya mengenal Komunitas Pawon, saat cerpenku masuk dalam Antologi Joglo 4 : Cerpenis Terpilih Jawa Tengah pada tahun 2007.
                Dari situ saya mendirikan sebuah perpustakaan pribadi yang saya beri branding “Pustaka Dan” dengan tagline “Bila Ilmu Lebih Berharga”. Beberapa teman-teman saya mulai meminjam buku koleksi saya, novel, motivasi, cerpen dan puisi sampai relijius dan non fiksi adalah buku-buku yang dipinjam teman-teman setelah sedikit saya promosi. Beberapa diantaranya saya mengantar dan  mengambil jika sudah selesai dibaca. Entah namanya, mungkin saya saat itu ingin memasyarakatkan buku. Dan antara rela dan tidak, beberapa buku saya hilang sebab saya lupa siapa yang meminjam.
                Akan tetapi sejak tahun 2007 itu saya kembali “naik gunung”, hidup pasrah dengan fasilitas desa. Saya seperti kehilangan pegangan dan motivator sebuah komunitas sastra. Efek terburuknya, saya berhenti menulis, berhenti membeli buku, bahkan kegemaran membaca kian jarang. Buku-buku yang mulai ratusan memenuhi rak buku terasa sunyi.
                Meski tahun 2010 saya kembali ke kota, namun naluri menulis itu masih belum tumbuh. Terakhir tahun 2013, ada keinginan kembali menulis setelah bertemu komunitas lama di sebuah media sosial. Dari FLP ini juga saya mengenal Komunitas Sastra Alit yang kecil namun luar biasa itu. Gairah menulis saya kembali menjadi-jadi, buku-buku kembali terbeli. Dan tulisan-tulisan saya kembali dimuat di media – meski belum seberapa. Bahkan dua tahun setelah itu saya juga menerbitkan buku, meski itu antologi dan dua diantaranya telah beredar di toko-toko buku besar di seluruh Indonesia. Bersama tim menulis D’Purple, saya memenangai sayembara menulis. Di tahun-tahun itu pula saya mendapat kontrak menulis sebuah ensiklopedia, dan beberapa kali menjadi Ghost Writer. Bagiku itu sebuah pencapaian luar biasa bagi saya seorang anak desa di ujung timur Wonogiri.
                Sayang, di tahun 2015 saya harus kembali ke desa dan menata kehidupan di desa. Karena disinilah kelak saya menikmati hidup. Namun saya sudah tidak segalau dulu saat kehilangan komunitas. Saat ini saya juga jauh dari komunitas sastra, FLP, Sastra Alit, acara-acara yang diadakan oleh Pawon Sastra yang selalu seru di Balai Soedjatmoko. Namun saya akan mengelola kelemahan ini sebagai sebuah keindahan.
                Misi membudayakan membaca dan memasyarakatkan buku mulai saya perdalam. Merintis sebuah taman baca juga dimulai. Meski kadang rindu akan komunitas-komunitas itu terus mengiris, namun dengan kesendirian, saya berusaha terus menulis.
                Acara bedah buku pun aku buat meski berdiskusi dengan hatiku sendiri. Gemas dengan ending yang membuat geregetan pun aku rasakan sendiri. Menikmati acara itu juga sendiri. Belanja buku bulanan juga sendiri, tak lagi ditemani Sang Sahabat ketika berkunjung ke Gramedia, Togamas seperti saat di kota dulu. Kini belanja buku tetap saya lakukan secara online. Saat sahabat terpercayaku belum terbuka hatinya untuk mencintai buku. Hal ini mengingatkan saya pada Shiroh Nabawiyah, kisah hidup Muhammad yang tidak sukses meng-islam-kan pamannya sendiri Abu Tholib. Meskipun begitu sang paman tetap mendukung, menjaga dan membela Muhammad dengan cara apapun. Seperti Sahabatku itu.
                Inilah salah satu kesedihan hidup di desa. Benar, desa itu hijau, sejuk dan jujur. Tapi jauh dari teman-teman yang senyawa meneriakkan karya sastra itu sunyi. Berjuang sendiri membuka mata desa akan buku ....
... Dan kesendirian itu tetap keren, kata motivasi seorang penulis di Pawon Sastra dalam komentarnya di status Facebookku. Soe Hok Gie, Nietsche dan Tan Malaka juga sendiri.

Bukankah Muhammad juga sendiri?

No comments: