Hidup di desa itu antara enak
dan tidak. Di banyak film, menggambarkan kehidupan di desa yang damai, sejuk
dan hijau. Hingga banyak orang yang bercita-cita suatu saat ingin hidup di desa
dengan beternak dan bercocok tanam. Saya cuma tersenyum mencibir, dikiranya
beternak dan bercocok tanam semudah dia meludah.
Saya pernah hidup di kota dan
banyak hidup di desa. Sebagai anak desa, saya ditakdirkan untuk mencintai buku,
menyukai membaca dan menggemari menulis. Dimana teman-teman saya di desa tak
satupun yang sehaluan. Tapi kegemaran saya itu tidak pernah hilang, malah makin
menjadi.
Seingat saya, sejak tahun
2000-an buku-buku mulai mengisi kamar. Stelah di tahun 1997-an aku mulai
menulis. Sejak ada buku maka kegemaran menulis pun kembali perlahan mengiringi
rutinitas membaca. Dan di tahun 2006, hampir tiap minggu selama 4 bulan bolak
balik desa-kota, saya mampu membeli buku. Itu terjadi sejak saya masuk di
sebuah komunitas menulis, Forum Lingkar Pena. Dari sana saya mengenal beberapa
penulis seperti Donatus A. Nugroho dan (Alm) Joko Sumantri. Melalui nama yang
terakhir ini saya mengenal Komunitas Pawon, saat cerpenku masuk dalam Antologi Joglo
4 : Cerpenis Terpilih Jawa Tengah pada tahun 2007.
Dari situ saya mendirikan sebuah
perpustakaan pribadi yang saya beri branding “Pustaka Dan” dengan tagline “Bila
Ilmu Lebih Berharga”. Beberapa teman-teman saya mulai meminjam buku koleksi
saya, novel, motivasi, cerpen dan puisi sampai relijius dan non fiksi adalah
buku-buku yang dipinjam teman-teman setelah sedikit saya promosi. Beberapa
diantaranya saya mengantar dan mengambil
jika sudah selesai dibaca. Entah namanya, mungkin saya saat itu ingin
memasyarakatkan buku. Dan antara rela dan tidak, beberapa buku saya hilang
sebab saya lupa siapa yang meminjam.
Akan tetapi sejak tahun 2007 itu
saya kembali “naik gunung”, hidup pasrah dengan fasilitas desa. Saya seperti
kehilangan pegangan dan motivator sebuah komunitas sastra. Efek terburuknya,
saya berhenti menulis, berhenti membeli buku, bahkan kegemaran membaca kian
jarang. Buku-buku yang mulai ratusan memenuhi rak buku terasa sunyi.
Meski tahun 2010 saya kembali ke
kota, namun naluri menulis itu masih belum tumbuh. Terakhir tahun 2013, ada
keinginan kembali menulis setelah bertemu komunitas lama di sebuah media
sosial. Dari FLP ini juga saya mengenal Komunitas Sastra Alit yang kecil namun
luar biasa itu. Gairah menulis saya kembali menjadi-jadi, buku-buku kembali
terbeli. Dan tulisan-tulisan saya kembali dimuat di media – meski belum
seberapa. Bahkan dua tahun setelah itu saya juga menerbitkan buku, meski itu
antologi dan dua diantaranya telah beredar di toko-toko buku besar di seluruh
Indonesia. Bersama tim menulis D’Purple, saya memenangai sayembara menulis. Di
tahun-tahun itu pula saya mendapat kontrak menulis sebuah ensiklopedia, dan
beberapa kali menjadi Ghost Writer. Bagiku itu sebuah pencapaian luar biasa
bagi saya seorang anak desa di ujung timur Wonogiri.
Sayang, di tahun 2015 saya harus
kembali ke desa dan menata kehidupan di desa. Karena disinilah kelak saya menikmati
hidup. Namun saya sudah tidak segalau dulu saat kehilangan komunitas. Saat ini
saya juga jauh dari komunitas sastra, FLP, Sastra Alit, acara-acara yang
diadakan oleh Pawon Sastra yang selalu seru di Balai Soedjatmoko. Namun saya akan
mengelola kelemahan ini sebagai sebuah keindahan.
Misi membudayakan membaca dan
memasyarakatkan buku mulai saya perdalam. Merintis sebuah taman baca juga
dimulai. Meski kadang rindu akan komunitas-komunitas itu terus mengiris, namun
dengan kesendirian, saya berusaha terus menulis.
Acara bedah buku pun aku buat
meski berdiskusi dengan hatiku sendiri. Gemas dengan ending yang membuat
geregetan pun aku rasakan sendiri. Menikmati acara itu juga sendiri. Belanja
buku bulanan juga sendiri, tak lagi ditemani Sang Sahabat ketika berkunjung ke
Gramedia, Togamas seperti saat di kota dulu. Kini belanja buku tetap saya
lakukan secara online. Saat sahabat terpercayaku belum terbuka hatinya untuk
mencintai buku. Hal ini mengingatkan saya pada Shiroh Nabawiyah, kisah hidup
Muhammad yang tidak sukses meng-islam-kan pamannya sendiri Abu Tholib. Meskipun
begitu sang paman tetap mendukung, menjaga dan membela Muhammad dengan cara
apapun. Seperti Sahabatku itu.
Inilah salah satu kesedihan
hidup di desa. Benar, desa itu hijau, sejuk dan jujur. Tapi jauh dari
teman-teman yang senyawa meneriakkan karya sastra itu sunyi. Berjuang sendiri
membuka mata desa akan buku ....
...
Dan kesendirian itu tetap keren, kata motivasi seorang penulis di Pawon Sastra
dalam komentarnya di status Facebookku. Soe Hok Gie, Nietsche dan Tan Malaka
juga sendiri.
Bukankah
Muhammad juga sendiri?
No comments:
Post a Comment