Cerpen : Danang Febriansyah, dimuat di KORAN MURIA, Minggu, 22 November 2015
Kaca jendela kamar perlahan mengembun seiring dengan makin derasnya
hujan yang turun. Pada musim hujan, banyak orang yang lebih suka
menikmati minuman hangat di dalam kamar saat senja seperti ini.
Ketika sore datang tadi, Galit beranjak pulang dari sawah karena
langit sudah gelap tertutup mendung. Dan ketika rintik hujan mulai
turun, dia masih dalam perjalanan menuju rumahnya. Sesampainya di rumah,
dia langsung membersihkan diri dan seperti kebanyakan tetangganya, dia
juga menuju kamar untuk menyelimuti tubuhnya.
Istrinya, Wari terlihat duduk di depan meja rias sambil memegang
handphone dan jari jemarinya terlihat menuliskan sesuatu di sana saat
Galit masuk kamar. Wari tidak memperhatikan suaminya yang kini sudah
berselimut mengusir dingin.
“Tolong, buatkan aku susu cokelat panas,” kata Galit sambil membetulkan letak selimut agar sempurna menutupi tubuh.
Wari masih terlihat sibuk mengetik di handphone, seperti tidak
mendengar apa yang dikatakan Galit. Suara rintik hujan yang menerpa
genteng dan titik-titik hujan yang berleleran di kaca jendela kamar
mungkin membuat Wari tidak mendengar suara Galit.
Lelaki dalam selimut itu teringat padi-padi di sawah yang mulai
menguning, ada yang mengganjal di hati ketika menghubungkan dengan acara
televisi yang dilihatnya semalam.
“Apakah padi yang makin berisi makin menunduk itu ibarat yang tepat
untuk orang yang makin tua makin rendah hati?” Galit tersenyum,
ingatannya masih terlempar pada acara televisi yang dilihatnya semalam.
Lelaki itu melihat istrinya yang tersenyum, dia merasakan apa yang dikatakannya itu mendapat apresiasi dari Wari.
“Kamu ingat acara televisi semalam? Pembawa acara begitu yakin bahwa
ungkapan seperti itu salah kaprah. Dia mengatakan bahwa padi yang makin
berisi makin menunduk itu tidak tepat sebagai ibarat untuk orang yang
makin tua makin rendah hati. Dia tidak setuju karena setelah menunduk,
padi akan di babat habis.” Galit menjelaskan panjang lebar.
Wari mengangguk dan tersenyum sambil memandang layar handphone.
Kemudian charger dicolokkan pada stop kontak. Dia menengok sebentar pada
suaminya di tempat tidur.
“Kamu mau susu cokelat? Wari menawarkan minuman kegemaran suaminya.
“Aku tadi sudah minta tolong begitu,” jawab Galit pelan. Dia juga mengangguk pada Wari.
Suara handphone terdengar sekali, namun cukup membuat Wari yang
hendak berdiri kembali duduk dan melihat apa yang ada di handphone itu.
Pikiran Galit masih terganjal oleh ungkapan yang dikatakan tadi.
“Memang benar kata pembawa acara itu, padi yang menunduk akan segera
dibabat, itu artinya dipanen dan bermanfaat untuk banyak orang. Itu
tidak dapat mengartikan bahwa orang yang makin tua makin rendah hati
akan menjadi sia-sia. Sama sekali tidak.” Galit meneruskan kata-kata
dalam pikirannya.
Langit yang tertutup mendung kini gelap sempurna seiring malam yang
telah hadir sejak beberapa saat yang lalu, Angin yang berembus makin
terasa dinginnya. Kaca jendela yang basah juga akan terasa dingin jika
disentuh.
“Apa kamu pernah merasa sia-sia setelah kamu melakukan hal yang
bermanfaat?” Galit tersenyum. “Tidak ‘kan?” Dilihatnya Wari menggeleng.
Galit lalu mengambill kertas dan pensil dari meja di samping tempat
tidur. Dia menuliskan sesuatu di kertas itu. Selimutnya yang turun
ditarik agar kembali menutup sampai dadanya. Lelaki itu merasakan dingin
hingga dia menggigil, meski badan bagian luarnya jika disentuh terasa
panas.
“Mungkin karena kehujanan tadi sore,” batin Galit menduga.
Tapi sejenak kemudian Galit keluar dari selimut dan melangkah keluar
kamar. Dia berjalan menuju dapur untuk membuat secangkir susu cokelat
panas. Sesampainya di dapur, dia melihat pintu belakang belum terkunci.
Gali membuka pintu dan melihat suasana belakang rumahnya yang temaram
karena cahaya bohlam.
Kilat menyambar di sela hujan yang turun. Matanya kini terpaku pada
seekor kucing yang meringkuk di tepian rumahnya dengan tubuh yang basah.
Kucing belang hitam-putih itu menempel di dinding rumah untuk
menghindari air hujan, meski percikan air dari tanah tetap mengenai
bulu-bulunya.
Galit beradu pandang dengan kucing belang itu. Sorot mata kucing
seakan bicara padanya minta tempat berteduh. Galit ingat, itu kucing
yang selalu dia usir karena selalu masuk rumah dan naik ke meja makan
untuk mencuri makanan.
Melihat keadaan kucing yang basah kuyup itu, Galit merasa kasihan.
Seperti merasakan kesendirian yang sama di malam itu. Dia mengambil
kucing belang dan di bawa masuk rumah, lalu diletakkan di keset dekat
pintu belakang. Galit mengambil sedikit nasi dan ikan asin di meja makan
untuk diberikan pada kucing belang yang kedinginan itu.
Kucing belang itu langsung menyantap hidangan pemberian Galit dan
membuat Galit merasa lapar juga, Galit mengambil menu serupa dan duduk
di lantai lalu makan di depan kucing itu.
“Oh ya, kamu pasti mau susu hangat? Biar aku buatkan.” Galit berdiri
sesaat setelah kucing mengeong dan menatapnya, seakan menjawab
pertanyaannya.
Dia lalu membuat susu cokelat hangat. Semangkok dihidangkan untuk
kucing belang yang kedinginan, secangkir buatnya sendiri yang juga
merasa kedinginan. Kucing belang kemudian meminum semangkok susu cokelat
dengan lahap.
“Kamu merasa hangat sekarang?”
Kucing belang mengeong, membuat Galit tersenyum merasa pertanyaan sederhananya diperhatikan.
Galit meneruskan makan malamnya, sementara kucing belang yang sudah
habis makanannya kini menjilat-jilat bulu-bulunya yang basah. Galit
masih merasa dingin, namuan dia seperti menemukan kembali sesuatu yang
hilang.
“Katanya kamu punya Sembilan nyawa? Benarkah?” Galit mengelus kepala kucing belang setelah habis makanannya.
Kucing itu mengeong perlahan lalu matanya terpejam, menikmati belaian Galit di kepalanya.
“Tapi aku tidak percaya, kalau ini untuk mengatakan kamu punya daya
tahan tubuh yang kuat, bolehlah. Tapi kalau ini memang keadaan yang
sebenarnya tentang dirimu, itu hanya omong kosong saja.”
Galit sekali lagi mendengar kucing itu mengeong. Dia merasakan kucing itu menjawab pertanyaan dan pernyataannya.
“Mungkin karena itu pula, kamu disakralkan banyak orang, punya
Sembilan nyawa.” Galit tertawa, merasakan ada hal yang lucu. “Tapi kalau
saat ini nyawamu sudah hilang delapan, artinya kamu tinggal punya satu
nyawa, lalu mati,” tawa Galit makin riang, hanya dijawab suara kucing
belang yang mengeong.
“Ah susu cokelatmu sudah habis. Tidurlah kamu di sini. Malam ini aku
berbaik hati padamu.” Galit mengambil kain bekas dan menyelimuti tubuh
kucing belang. “Tapi besok kamu harus pergi. Kalau kamu masih mencuri
makanan di meja makanku lagi, seperti biasa, aku akan mengusirmu dengan
sapu. Seperti kemarin-kemarin,” lanjut Galit.
Dia lalu meninggalkan kucing belang di atas keset berselimut kain
bekas. Kucing belang kemudian meringkuk sambil menjilati tubuhnya
sendiri. Merasa kenyang dan cukup hangat.
Galit mencuci tangan dan membuat secangkir susu hangat lalu di bawa ke kamar untuk diberikan pada istrinya.
Sesampainya di kamar, Wari masih di depan meja rias dengan handphone di tangan, charger masih tersambung ke stop kontak.
Wari seakan mencintai handphone baru itu. Handphone yang diberikan
Galit padanya sebagai hadiah ulang tahun, sebagai tanda cinta dari
seorang suami pada istrinya. Galit senang pemberiannya dimanfaatkan
dengan baik oleh Wari. Meski Galit merasa ada yang tergerus semenjak
Wari sibuk dengan handphone baru itu.
Wari tidak memperhatikan Galit yang sudah masuk kamar lagi, bahkan mungkin tidak tahu kapan suaminya itu keluar kamar.
“Ada kucing kedinginan, tubuhnya basah oleh hujan,” kata Galit sabil
meletakkan secangkir susu cokelat di dekat Wari. “Tapi sudah kubawa
masuk, sekarang tidur di keset dekat pintu belakang.”
“Sukurlah,” kata Wari singkat tanpa memperhatikan secangkir susu cokelat di dekatnya.
Galit mengambil minyak kayu putih di laci meja. Mengoleskannya pada
kening, dada dan perutnya. Rasa dingin makin menggila, Galit makin
menggigil dan segera kembali berselimut di tempat tidur.
Dia membaca coretannya di kertas, dan teringat tentang ganjalan di hati yang dikatakan pada Wari tadi sebelum keluar kamar.
“Sekarang bagaimana? Tetap berdiri pongah dan tidak ada yang
memperhatikan atau berisi dan menunduk namun berguna bagi orang lain?”
Wari diam. Hujan mungkin mengurangi volume suara Galit yang membuat
Wari tidak mendengar, begitulah yang dipikirkan Galit. Dia lalu
menuliskan sesuatu di kertas lagi lalu menarik selimut hingga ke
lehernya.
“Bahagiamu adalah alasanku, Wari,” gumamnya sambil tersenyum melihat istrinya terlihat bahagia dengan handphone barunya.
“Waktuku telah tiba, hujan sebentar lagi reda.” Galit masih tersenyum
saat melihat cahaya memendar menghampirinya, yang membuat dia terpejam.
Malam menapak perlahan bersamaan dengan hujan yang telah reda.
Dilihatnya jam di dinding, telah lama dia duduk di depan meja rias.
Seakan dia tersadar bahwa dia tidak lagi mendengar celotehan suaminya.
“Apa yang kuperhatikan hingga perhatian yang nyata tak kuperhatikan?”
Wari melihat secangkir susu cokelat di dekatnya, menyesapnya sedikit
namun minuman itu telah dingin.
Dilihatnya Galit lelap di tempat tidur. Wari kemudian berdiri,
berniat menyiapkan makan malam di dapur. Namun ketika membuka tudung
saji, hanya ada satu porsi, itu artinya suaminya sudah makan malam,
entah kapan Wari tidak ingat.
Hanya ingat sekilas bahwa ada kucing belang yang meringkuk di dekat pintu belakang. Namun hanya keset yang dilihatnya.
Wari mengernyitkan dahinya, benarkah ada kucing belang yang diselamatkan Galit? Bukankah Galit selalu membenci kucing?
Pertanyaan itu kemudian dibawanya ke kamar untuk minta penjelasan
pada Galit. Dibangunkannya Galit dari tidur, digoyangkan tubuh Galit,
namun tak ada reaksi. Pertanyaan kembali muncul di hatinya. Tidak
biasanya suaminya itu tidur tanpa dengkur. Kemana hilangnya dengkuran
Galit?
Wari termenung menatap Galit dan menyadari bahwa Galit memang tidak
akan lagi berceloteh seperti celotehan yang tidak dia perhatikan tadi.
Sekejap dia memeluk tubuh suaminya sambil berteriak histeris.
“Tuhan, kembalikan celotehan Galit,” keluh Wari dan kembali berusaha membangunkan Galit, berharap suaminya itu hanya tertidur.
Matanya tertuju pada kertas dengan coretan di samping Galit dan Wari berusaha membaca tulisan yang tidak bagus itu.
“Seperti kamu mencintai hadiah ulang tahunmu, cintaku lebih dari sekedar itu.”
Hujan dari matanya kemudian turun begitu deras. Wari luruh.
http://www.koranmuria.com/2015/11/22/22967/lelaki-yang-berselimut.html