Friday, January 9, 2015

PEMABUK (Cerpen : Danang Febriansyah)


Dimuat dalam Buku Antologi 10 Cerpenis Terpiih Jawa tengah "JOGLO 4" Taman Budaya Jawa Tengah, April 2007.

__________

Hari ini …

“Ya harus bagaimana lagi, semuakan telah berjalan, saya sudah demikian lekat dengan ini. Jadi kasih saja saya upah yang saya minta ini. Bukan duit!” 
“Aku jadi tak mengerti, permintaanmu itu nggak biasa.”
“Sudahlah! Aku sudah mengerjakan semua yang kamu minta, jadi cepat kasih apa yang kuminta!” Han seakan telah habis kesabarannya
“Kamu yakin?”
“Kamu meledek?!” Han mencengkeram kerah baju majikannya itu
“Aneh saja apa yang kamu minta. Jadi uang ini tak kamu terima?”
“Cepat belikan saja uang ini dengan vodka, bir, arak, ciu, atau apalah. Sebelum saya naik darah!”
“…” majikannya menjadi ciut nyali, tak dapat berkata apapun.
“Cepat!!!”



* * *



Esoknya …
“Dia mati.”
“Masa’ sih?”
“Bener, tadi tergeletak di posko partai.”
“Sukurin.”
“Desa kita jadi aman.”
Kabar itu menggemparkan penduduk, mereka saling membicarakan tentang kematian yang mendadak itu. Han, biasa akrab disapa ditemukan tak bernyawa di posko partai di samping botol-botol minuman keras kegemarannya.



* * *



Tadi malam …
“Bagaimanapun juga, kita happy malam ini, lupakan kesedihan, minum sampai pagi. Kita pesta, tenang saja. Ini semua hasil kerja kerasku,” ucap Han dalam mabuknya.
Edi, Maman, Koko pun dengan gembira ikut merayakan hari bahagia Han itu di posko partai pinggir jalan di desanya. Suara jangkrik malam itupun seakan lenyap ditelan tawa terbahak-bahak mereka. Malam yang berselimut dingin itu menjadi hangat oleh aroma ciu yang mereka tenggak bergiliran.
“Han, benar ini hasil usahamu?”
“Hei, kamu nggak percaya?”
“Habis ngerampok apa kamu?”
“Ini halal, tahu?!”
“Gak ada cerita ciu halal. Ciu itu hangat, baru aku percaya.”
“Sudahlah! Nikmati saja!”
Merekapun bergiliran menenggak minuman keras itu, aroma khasnya segera menyembur menyelimuti posko. Kulit kacang berserakan menemani pesta minuman keras mereka. Penduduk tak ada yang berani mencegah perbuatan mereka. Mereka takut. Kapok menasehati. Seperti ketika pak Wadi mencoba menghentikan perbuatan mereka, penduduk takut hal itu terulang kembali.
“Ini posko partai, yang membuat juga warga masyarakat, kenapa kalian mengotorinya dengan minuman keras seperti ini?” begitu kata pak Wadi beberapa bulan lalu ketika menasehati geng Han.
“Hei pak, kami tak mengganggu kamu, kenapa kamu repot-repot mengganggu kami?!” Han menyeringai.
Pak Wadi tersinggung, “Han, kami diam bukan berarti kami menyukai perbuatan kalian ini. Kalian telah mengotori Desa dengan minum minuman keras seperti ini. Aku tidak melarang perbuatan kalian ini jika kalian tidak di sini melakukannya!”
“Kamu mengusir?! Terus mau kamu apa?!” Han berdiri dan mendekati pak Wadi, seperti biasanya ketika Han marah, kerah baju pak Wadi dicengkeramnya.
Pak Wadi menatap Han, aroma ciu menyambut hidung pak Wadi, mata Han melotot merah. Ciut juga hati pak Wadi. Dia diam tak bisa bicara. Seketika itu pukulan Han telak menghantam muka pak Wadi, hidungnya berdarah. Pak Wadi terjengkang.
“Pergilah kau pak Wadi! Jangan ganggu kami jika kamu tak mau diganggu,” kata Han sedikit berteriak. “Cepat pergi!!” teriaknya sekali lagi.
Pak Wadi berusaha berdiri tertatih-tatih, seketika itu teman-teman Han ikut menghajarnya, sekali lagi, pak Wadi terjengkang. Dan babak belur! Dini hari, ketika pesta telah berakhir, mereka pulang terhuyung-huyung dan tertawa terbahak-bahak. Ketika melewati depan rumah pak Wadi, mereka meneriakkan sumpah serapah dan mengumpat tak karuan. Segera batu-batu di pinggir jalan dilemparkannya ke rumah pak Wadi. Jendela kaca, genting rumahpun pecah berantakan.
Mereka makin larut dalam tawa mereka. Maka setelah itu tak ada warga masyarakat yang berani menasehati Han dan teman-temannya. Bukan berarti mereka telah menyukai kegiatan Han itu, mereka tetap membencinya. Hanya kemarahan dalam hati saja yang bisa mereka lakukan. Tak jarang teman-teman Han menghentikan kendaraan yang lewat di jalan depan posko yang telah dijadikan markas Han untuk meminta uang dengan paksa. Tentu saja mereka selalu berhasil mendapatkannya.



* * *



Pagi ini desa geger.
Han ditemukan mati di markasnya. Di samping kulit kacang yang berserakan, botol-botol minuman keras yang berserakan pula.
“Dia mati,” kata salah seorang penduduk.
“Masa’ sih?” tanya pak Wadi seperti tak percaya
“Bener, tadi tergeletak di posko partai.”
“Sukurin!”
“Desa kita jadi aman,” dan seorang penduduk itu berlari mengabari orang-orang seperti bahagia ketika lebaran tiba.
Merekapun berbondong-bondong ke posko partai untuk melihat mayat Han yang telah membujur kaku di dekat minuman keras kegemarannya. Mereka bukan warga yang pendendam, mereka juga bukan warga yang sombong. Mereka segera membawa mayat Han ke rumahnya di ujung Desa untuk memandikan dan mengkafaninya. Lalu menguburkannya.
Mantan istri dan anak Han telah dikabari, tapi hingga mayat Han akan dikebumikan, mereka tak juga datang. Han telah menceraikan istrinya yang tak kuasa melihat hobi Han, ketika istrinya menasehati Han, hanya tamparan dan penyiksaan yang didapatnya. Akhirnya istri Han minta cerai dan pergi dari Han membawa anaknya yang masih balita. Tanpa mantan istri dan anak Han yang mungkin masih membenci penyiksaan Han terhadap dirinya, penduduk segera berangkat menguburkan mayat Han. Upacara pemakaman berlangsung tanpa tetes air mata sedikitpun, hanya senyum-senyum bahagia yang tak tampak, tapi terpancar dari para penduduk yang melayat. Hanya segelintir orang saja yang ikut ke kuburan. 
Diantara mereka ada Edi, Maman dan Koko yang ikut dalam penguburan itu, hanya mereka yang tampak sedih. Penduduk tak mempedulikannya. Setelah penguburan di rasa cukup, orang yang ikut mengubur segera meninggalkan kuburan, tinggal teman-teman Han saja.
“Sudah, nggak usah lama-lama bersedih,” kata Maman, dengan mata yang memerah.
“Setelah ini siapa yang menraktir kita?” Koko tampak masih sedih.
“Tak usah fikirkan, cepat siramkan ciu itu,” balas Edi tak sabar.
“Sayang sebenarnya, ciu tiga botol harus disiramkan ke kuburan Han,” kata Koko yang membawa tiga botol minuman keras
“Nggak apa-apa, biar Han tetap mendapat kehangatan.”
Dan tiga botol minuman keras itu segera membasahi kuburan Han setelah sebagian minuman itu mereka minum bergiliran. Sebagai ganti taburan bunga di atas kubur.
Na’udzubillah!!! Batinku ketika mendengar cerita dari penduduk yang tinggal di Desa Han.


Senin, 29 Januari 2007 09.35 WIB
Based on true story

No comments: