Friday, January 9, 2015

SEBUAH IRONI (Cerpen : Danang Febriansyah)

Dimuat di Solopos Minggu Agustus 2006 dengan Judul “ Sebuah Ironi” 

Senin pagi itu Kepala Sekolah mengumumkan bahwa siswa terbaik mereka terpilih untuk mengikuti olimpiade fisika tingkat nasional. 
“Kebanggaan bagi sekolah kita, satu dari kalian akan dikirim ke Jakarta untuk mengikuti olimpiade fisika tingkat nasional,” suara Kepala Sekolah menggema, “Setelah memenangkan lomba fisika di tingkat propinsi, Ririn, siswi Kelas tiga IPA kembali membuat sekolah kita bangga.” 
Ririn, siswa perempuan kelas tiga IPA itu terkejut. Dia tak pernah menyangka hasil belajar selama di SMA dan selalu mendapatkan ranking tertinggi setiap ulangan umum menuai hasil lain yang membanggakan dan dia sendiri tak pernah membayangkan. Sebab dia tak pernah tahu bahwa lomba fisika di tingkat propinsi itu dimenangkannya, pengumuman simpang siur, hadiahpun sampai sekarang tak pernah dia pegang. Hingga dia mengikis harapannya pada lomba tiga bulan lalu itu. 
Namun pengumuman Kepala Sekolah pagi ini benar-benar mengejutkan keberadaannya sebagai seorang siswa yang mendapatkan kompensasi karena keluarganya tergolong keluarga yang kurang mampu. 
Pengumuman sehabis upacara itu benar-benar membuat keringat dingin keluar. Suara gemuruh tepuk tangan dari seluruh peserta upacarapun membahana di halaman sekolah. 
Mereka bangga, mereka gembira. Ririn menangis … 


* * * 


Pengumuman enam bulan lalu itu bukanlah sebuah kenangan manis bagi seorang Ririn. Semua itu adalah kenangan pahit yang harus ditelannya. 
Ujian kelulusan tahun ini dia tak mendapat keberuntungan untuk lulus. Ririn tidak lulus, karena nilai fisikanya kurang dari setengah poin dari standar pemerintah. 
Ririn menangis ketika menatap piagam penghargaan-penghargaan saat dia menjuarai lomba-lomba sains yang terpampang di dinding kamarnya. Ingin rasanya dia membakar seluruh piagam dan tropi-tropi yang menjadi miliknya. 
Ririn menangis ketika mengingat dia juga menjuarai olimpiade fisika tingkat propinsi, lalu dikirim ke Jakarta untuk mengkitu lomba tingkat nasional dan mewakili negara untuk mengikuti olimpiade fisika tingkat internasional, dan saat itu dia menjadi juara harapan satu. 
Sekolah tiga tahun tanpa pernah tidak masuk tanpa ijin itupun hanya seperti neraka yang membunuhnya berkali-kali. 
Dia menangis sendiri di dalam kamar. Ditatapnya ijasah yang dikeluarkan pemerintah dengan tulisan TIDAK LULUS yang mengiris jiwanya. 
Dilihatnya cairan anti nyamuk di sudut ruangan …. 



* * * 


Sehari sebelum ujian nasional, kejadian yang mendadak merusak segala konsentrasinya. Kejadian tragis yang memupus segala harapannya. 
“Rin, cepat ganti pakaian, kita ke rumah sakit,” kata ibu Ririn ketika Ririn baru pulang dari sekolah dengan mata yang sembab. 
“Ada apa bu?” 
“Bapak kecelakaan,” ibu menangis. 
Ririn menatap ibu seakan tidak percaya. Ingin rasanya menanyakan sekali lagi, tapi isyarat air mata dari ibu cukup menjawab pertanyaan Ririn yang masih mengendap di hati dengan tuntas. 
Merekapun pergi ke rumah sakit dengan hati yang hancur lebur. 
“Maaf bu, luka bapak teramat parah. Kami tak bisa berbuat banyak. Tuhan telah mengambilnya,” dokter rumah sakit tampak begitu pasrah. 
Ibu dan anak itupun tak mampu membendung air matanya. Mereka segera menghambur pada tubuh yang telah tertutup kain putih di ranjang rumah sakit. 
“Mandor itu terlalu jahat. Dia mendorong bapak dari lantai tiga belas tanpa mau mendengar keterangan bapak,” kata ibu dalam tangisnya. 
Bapak yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga dengan bekerja serabutan itu harus menebus nyawanya dengan harga yang sangat tidak pantas. 
Ririn terus menangis. Terlintas-lintas berbagai kenangan yang begitu rapi tersimpan di hatinya. Tak pernah terbayangkan orang yang dihormati itu begitu cepat meninggalkannya. 



* * * 


Memusatkan konsentrasi bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan saat keadaan benar-benar membuatnya terpukul. 
Ujian kelulusan hari ini membuatnya tak bisa penuh dikerjakannya. Segalanya seakan habis dihempas badai kehidupan yang telah memporak-porandakannya. Baru kemarin. 
Selama satu minggu bergelut dengan ujian tak bisa membuat Ririn sepenuhnya mengerjakan soal-soal dengan tenang. Tapi dia tetap berusaha dengan sangat bersungguh-sungguh. Belajar tiap malam, mengulang pelajaran-pelajaran sejak dia duduk di kelas satu SMA hingga kini menginjak kelulusannya. 
Kematian bapak yang begitu tragis. Apalagi bapak tewas karena satu hal, bapak dipanggil ke sekolah untuk menyerahkan data keluarga tidak mampu. Saat itu memang bapak tidak masuk kerja, karena memenuhi panggilan sekolah. Tapi mandor tempat bapak kerja tak pernah mau mendengar keterangan dari bapak. Karena sebab itulah, nyawa harus menjadi upah akibat tidak masuk kerja. Benar-benar hukuman yang tidak adil. Ririn terpuruk. 
Saat pengumuman kelulusan sekolah di gelar. Ririn benar-benar terpukul tiada tara. Dia tidak lulus ujian. 
“Rin, yang tabah ya nak,” kata ibu sehabis mengambil ijasah sekolahnya. 
“Kenapa bu?” Ririn heran 
“Tuhan kembali menguji kamu. Kamu belum lulus,” ibu menghentikan ucapannya karena tangis segera menyeruak. 
Ririn memeluk ibunya dengan sedih yang terluapkan. Tapi ibu hanya berusaha menghibur Ririn, bukan menghibur hatinya. Jantung yang selama ini lemah, semakin melemah sampai akhirnya dia tersungkur menghempas di teras sekolah. Teriakan histeris Ririn memenuhi seluruh sudut sekolah. 



* * * 


Piagam dan tropi-tropi yang didapat Ririn karena prestasinya itu bukanlah sebuah kenangan manis bagi seorang Ririn. Semua itu adalah kenangan pahit yang harus ditelannya. 
Ririn menangis ketika menatap piagam penghargaan-penghargaan saat dia menjuarai lomba-lomba sains yang terpampang di dinding kamarnya. Ingin rasanya dia membakar seluruh piagam dan tropi-tropi yang menjadi miliknya. 
Ririn menangis ketika mengingat dia juga menjuarai olimpiade fisika tingkat propinsi, lalu dikirim ke Jakarta untuk mengkitu lomba tingkat nasional dan mewakili negara untuk mengikuti olimpiade fisika tingkat internasional, dan saat itu dia menjadi juara harapan satu. 
Sekolah tiga tahun tanpa pernah tidak masuk tanpa ijin itupun hanya seperti neraka yang membunuhnya berkali-kali. Pemerintah telah membunuh jiwanya. Mereka tak pernah tahu. Mereka hanya melihat nilai, bukan prestasi. Mereka sombong, mereka jahat. Mereka tak pernah tahu. 
Dia menangis sendiri di dalam kamar. Ditatapnya ijasah yang dikeluarkan pemerintah, bukan dari sekolahnya dengan tulisan TIDAK LULUS yang mengiris jiwanya. 
Dilihatnya cairan anti nyamuk di sudut ruangan.

* * * 

WONOGIRI, Kamis, 20 Juli 2006 09.24 WIB 

No comments: