Friday, January 9, 2015

DILEMA AHZAN (Cerpen : Danang Febriansyah)

Dimuat Di Harian Solopos, Jum'at, 9 Januari 2015


“Ibu,berhentilah …”
Namun suara itu hanya berkutat di dalam hati Ahzan. Mata bening miliknya mulai berkaca-kaca. Gunjingan tetangga itu benar adanya. Ibu mengakuinya di depan cermin.
* * *

“Ibu pulang …” riang hati penuh kerinduan menyeruak di hatiAhzan, lelaki sepuluh tahun ketika pagi-pagi matahari masih sedikit memendarkan cahayanya, matanya terbuka mendapatkan sebuah pemandangan yang setahun ini hilang. Sosok ibu yang selalu dirindukannya.
Tapi Ahzan nampak begitu ragu, apakah dia ibunya yang dulu ataubukan. Pakaiannya benar-benar beda. Ibunya tampak begitu cantik.Akhirnya dia meyakini setelah neneknya membuatnya percaya. Ahzan bangga bahwa ibunya adalah perempuan yang cantik.
Seorang wanita, yang telah berbeda sejak setahun ini, membawa dua kardus miinstan dan sebuah tas yang berisi pakaian dan oleh-oleh dari kota.
Kegembiraan pagi itu hanya milik Ahzan seorang. Bukan milik para tetangga-tetangganya, yang menganggap kepulangan Manis,ibu Ahzan adalah kepulangan sebuah aib.
Sejak kepergian Manis, tetangga-tetangga sering menggunjingkan bahwa pekerjaannya di kota adalah sebagai pelacur.
“Benar,”kata Darsi, seorang ibu yang suka ngerumpi.
“Jangan suka menuduh, itu nggak baik,” sambung Marni, istri pak RT.
Mereka hanya berdua, namun perbincangan mereka nampak seperti sebuah diskusi massa. Marni duduk di depan Darsi dengan rambut panjangnya yang terurai. Sementara Darsi duduk di belakangnya sambil mencari kutu dirambut Marni. Setiap kutu yang didapat selalu digigit olehnya.
“Siapa yang nuduh, ini kenyataan. Coba fikir, seorang janda pergi ke kota, lalu tiap bulan ngirim uang yang nggak sedikit. Apa coba kerjaannya kalau bukan jadi perek,” katanya Darsi sewot.
“Kok kamu yang sebel sih.”
“Jelas sebel dong bu RT, ini kan aib buat desa kita.”
“Kalau belum tahu kepastiannya, jangan berprasangka buruk dulu.”
“Suami saya tahu kok, dia kan juga merantau ke kota.”
“Jangan-jangan suamimu pernah memakai dia ya?” bu RT sedikit becanda.
“Ih,bu RT ini apa-apaan sih?!”
Dan mereka pun makin tenggelam dalam rumpiannya sambil mencari kutu rambut. Obrolan mereka sebenarnya disadap oleh perempuan tua, mbah Legi yang merupakan nenek Ahzan dari balik pagar bambu yang membatasi pekarangan dengan rumah Darsi, saat dia memetik daun melinjo yang masih muda.
Gunjingan-gunjinganpun makin jelas terdengar ketika Manis pulang, sehingga mbah Legipun ingin menanyakannya langsung pada anaknya, Manis. Karena terganggu dengan suara-suara tetangga yang makin memerahkan telinga.
Kemarin,sehari sebelum Manis pulang, burung-burung berkicau dalam keriangannya. Burung prenjak yang bertengger di pohon cengkeh depan rumah Ahzan kemarin berkicau cukup lama.
“Akanada yang datang Zan,” kata neneknya.
“Siapaya mbah?” tanya Ahzan yang berada di pangkuan nenek.
“Entahlah.”
Dan pertanda alam itu dipercayai Ahzan ketika pagi ini ibunya pulang,bukan hanya kiriman uang seperti biasanya, tapi juga wujudnya, wujud ibunya.
“Ini buat kamu,” kata ibunya dengan memberikan tiga potong pakaian baru,sebuah tas dekolah, sepatu dan beberapa buku tulis serta beberapa buah mainan. Ahzan sangat senang apalagi ibunya langsung memeluk dan menciumnya dengan penuh sayang.
“Ini buat ibu,” lalu Manis memberikan tiga potong kebaya dan kain batik kepada mbah Legi.
Mbah Legi menerimanya dengan senyum, senyum yang tersimpan sebuah pertanyaan yang mengganggu. Namun pertanyaan itu tak ingin diutarakan sekarang.
“Kamu tampak begitu lelah, sebaiknya kamu istirahat dulu,” kata mbah Legi pada Manis.
“Iyabu, perjalanan selama sehari semalam memang membuatku lelah. Mbah Sariyem masih jadi dukun pijat tidak bu?”
“Masih,nanti biar kujemput dia.”
“Terimakasih bu,” Manispun bangkit dari duduknya menuju kamar untuk beristirahat. Sementara Ahzan sedang asyik dengan mainan barunya.

* * *

Pertanyaan mbah Legi masih mengganjal di hati, namun tetap merasa sungkan untuk diutarakan. Dia hanya berusaha mempercayai apa yang diyakininya, bahwa anaknya berkerja dengan baik, bukan seperti yang dikatakan para tetangga.
Hingga  beberapa hari setelah kepulangan anaknya, mbah Legi tetap saja tak ingin menanyakannya, pertanyaan itu akhirnya sedikit demi sedikit terkikis.Gunjingan tetangga yang sering terdengarpun makin mengebalkan telinganya, dia hanya menganggap sebagai kontrol sosial saja. Tak ada masyarakat jika tak ada gunjingan. Apalagi selama di rumah,Manis berkelakuan baik, tak ada tanda-tanda kalau gunjingan tetangga itu benar adanya.
Tapi,suatu malam ketika mbah Legi masih belum bisa memejamkan mata, tiba-tiba terdengar derit dipan dari kamar anaknya. Derit itu tak seperti biasa, apalagi ada suara yang terdengar seperti dua orang. Dia mencoba mengintip dari dinding bambu yang membatasi kamarnya dengan kamar anaknya. Tapi keadaan kamar sebelahnya gelap. Meskipun begitu,keremangan telah membuat kepastian di hatinya.
Jantungnya bergetar cepat. Tidak.
Mbah Legi begitu murung pagi ini. Pemandangan semalam begitu merubah fikirannya selama ini. Dia membenci fikirannya yang berkata dusta. Dia membenci hatinya yang bicara bohong. Kemurungan nenek ini ternyata menjadi perhatian ibu.
“Ibu kenapa?”
Mbah Legi hanya diam. Diam dengan tatapan mata yang kosong.
“Ibu sakit? Jika sakit, nanti kita ke dokter.”
Nenek tua itu masih diam.
“Tadi malam aku mendengar dari seseorang. Ternyata saya selama ini menjadi gunjingan tetangga. Benar ya bu?” tanya Manis memancing diamnya sang ibu sambil menjemur handuk sehabis digunakannya untuk mandi, “jika ibu tahu, tak usah didengarkan, mereka hanya iri dengan keberhasilanku kerja dikota.”
“Jika hanya suara tetangga, aku takkan pernah memikirkan,” sahut mbah Legi datar, akhirnya nenek itu bicara juga, “semalam apa yang kamu lakukan?” suara nenek Ahzan sedikit meninggi.
“Dimana?”
“Kamu jangan pura-pura tidak tahu. Apa harus kujelaskan? Gunjingan tetangga itu ternyata benar adanya, semalam suami Darsi masuk ke kamarmu kan? Aku tahu dengan mata kepalaku sendiri …” air mata nenek meluncur membasahi pipinya yang keriput. Manis termangu.
“Sudahlah Bu,” Manis berusaha menenangkan diri dan ibunya.
“Sudah bagaimana? Ternyata uang yang kau kirimkan dari kota itu uang haram,jika ku tahu, aku tak sudi menerimanya. Rupanya kamu telah tergoda dengan harta!”
“Bu, saya kerja begitu bukan untuk diri sendiri. Itu buat sekolah Ahzan,buat ibu dan buat kita. Coba kita bisa makan apa jika aku tak kerja?Apa bisa Ahzan sekolah? Ini demi kita bu.”
“Harta itu tidak pernah abadi.”
“Tapi kita butuh itu.”
“Harta datang, tertahan dan pergi, itu sudah kodrat.”
“Kita tetap memerlukannya.”
“Bukan dengan cara sekotor itu.”
“Kita bukan orang bersih.”
“Tapi hati kita bisa bersih.”
“Terserah.Jika ibu tak mau menerimanya, bagiku tinggal buat Ahzan. Yang penting dia bisa sekolah sampai perguruan tinggi. Dia bisa jadi orang.Cukup.”
Lalu Manis terus mengurung diri di kamar, begitu juga ibunya, mbah Legi. Bahkan mbah Legi benar-benar tak mau makan dari uang yang dihasilkan Manis. Sampai berhari-hari.
Berkali-kali Manis membujuk ibunya,tapi mbah Legi punya pendirian yang begitu keras. Dia seakan jijik melihat anaknya.Sampai akhirnya nenek sakit, badannya semakin kurus. Dia tak pernahmau makan meski hanya sesuap.
Dan sang malampun hadir membawa akhir dari kehidupan mbah Legi.

* * *

Malam itu, Manis mematut diri di depan cermin, memoleskan lipstik di bibirnya. Sedang menunggu seseorang.
“Dunia memang aneh. Nenek mati begitu menyedihkan. Dia mati dibunuh pendiriannya. Ah … semoga kamu mendapatkan kehidupan yang lebih baik di sana,” Manis kemudian menyisir rambutnya, “Tapi bagiku aku bangga dengan pekerjaanku ini. Membuat orang senang adalah sebuah ibadah. Aku bangga disebut pelacur, perek atau apalah namanya. Aku suka melakukannya,” Manis bergumam sendiri di depan cermin. Senyumnya menyeringai.
Dia tak pernah tahu, di balik pintu kamar yang sedikit terbuka sepasang mata bening sedang berkaca-kaca mendengar ucapannya.
“Ibu, berhentilah…”
Namun suara itu itu hanya berkutat di dalam hati Ahzan. Keinginan untuk menghentikan gaya hidup ibunya itu hanya bisa diteriakkan dari dalam hatinya. Mata bening miliknya mulai berkaca-kaca.Gunjingan tetangga itu benar adanya. Ibu mengakuinya di depan cermin.
Suaranya tetap tersimpan di hati, sebab tanpa apa yang dilakukan ibunya, dia takkan pernah bisa membaca dan menulis.

* * *

No comments: